August 8, 2024

Agar Pilkada Tak Bercalon Tunggal (Lagi)

Meningkatnya jumlah daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan calon tunggal tentu saja mengejutkan. Dari  tiga edisi pilkada serentak, 2015, 2017, sampai yang terakhir tahun 2018, kecendrungan daerah yang melaksanakan pilkada dengan satu pasangan calon menunjukkan grafik naik.

Berawal dari Pilkada 2015, jumlah daerah yang melaksanakan pilkada dengan calon tunggal berjumlah tiga daerah. Kemudian pada Pilkada 2017, jumlahnya naik tiga kali lipat menjadi sembilan daerah. Terakhir, pada Pilkada 2018 yang dilaksanakan pada bulan Juni lalu, daerah yang melaksanakan pilkada dengan calon tunggal nyaris naik menjadi dua kali lipat dibandingkan 2017, yakni menjadi 16 daerah.

Dimanakah letak titik persoalan jika melihat fenomena ini? Apakah partai politik sudah sedemikian gagal dalam melakukan rerutmen dan kaderisasi politik, sehingga tak lagi ada tokoh politik atau kader yang bisa diusung menjadi calon kepala daerah? Atau ada yang salah dengan sistem pemilihan kepala daerah yang saat ini berlaku, sehingga menjadi penyumbang sebab meningkat drastisnya jumlah calon tunggal dari pilkada ke pilkada.

Sistem Pencalonan

Semenjak Pilkada 2015, angka ambang batas pencalonan pemilihan kepala daerah diatur cukup tinggi, yakni 20% kursi DPRD, atau 25% suara sah pemilu sebelumnya di DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota yang melaksanakan pilkada. Ambang batas pencalonan ini memang bukan “barang baru” di dalam sistem pencalonan pilkada. Semenjak pilkada langsung pertama dihelat pada tahun 2005, ketentuan ambang batas pencalonan sudah diatur, yakni 15% kursi DPRD atau 15% suara sah hasil pemilu terakhir di DPRD daerah yang melaksanakan pemilihan daerah.

Namun, semenjak Pilkada 2015, naiknya ambang batas pencalonan kepala daerah semakin membuat keterpaksaan partai politik untuk bergantung dengan partai politik lain di dalam proses pencalonan kepala daerah semakin menguat.  Setiap partai politik yang memiliki kader yang tangguh, memiliki kemampuan untuk dipilih menjadi calon kepala daerah, serta memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi tidak bisa “merdeka” untuk mengusung sendiri calonnya tersebut karena terganjal syarat ambang batas pencalonan yang 20% kursi atau 25%s suara DPRD.

Perkongsian dengan partai politik lain terpaksa untuk dilakukan, agar syarat ambang batas pencalonan  pilkada bisa dipenuhi. Sebaliknya, bagi partai politik yang tidak memiliki kader yang kuat, serta tidak memenuhi kriteria dan kecakapan untuk diusung menjadi calon kepala daerah, praktis hanya memainkan posisi tawarnya untuk “memperdagangkan” tiket pencalonan dari kursi atau suara yang dimiliki di DPRD.

Partai politik semakin dijauhkan dari percepatan upaya untuk menghasilkan kader yang bisa diusung untuk menjadi calon kepala daerah. Akhirnya, peran partai politik yang sejatinya adalah mesin untuk menghasilkan figur yang akan menjadi pemimpin daerah bahkan pemimpin nasional tak berfungsi maksimal.

Pragmatisme partai politik ternyata juga diikuti oleh pasangan calon kepala daerah. Dengan adanya angka minimal kursi dan suara partai politik untuk bisa mengusung calon, para calon kepala daerah memiliki kecendrungan untuk diusung oleh seluruh partai politik. Tidak adanya ambang batas maksimal kursi atau suara gabungan partai politik yang boleh mengusung satu pasangan calon, membuat persaingan sudah dimulai dari proses pencalonan.

Pasangan calon yang mampu memborong dukungan partai politik, akan berdampak pada gagalnya calon penantang atau calon lain bisa ikut mendaftar menjadi calon kepala daerah. Praktik ini semakin dipersubur dengan makin “menggilanya” angka mahar politik dalam proses pencalonan kepala daerah.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa arah dukungan partai politik kerap kali ditentukan oleh jumlah rupiah yang mampu diserahkan bakal calon kepada partai. Selain itu, dominannya keputusan elit partai politik di tingkat pusat dalam menentukan siapa calon yang akan diusung oleh partai, membuat pemilihan dengan calon tunggal makin meningkat.

Meihat bentangan fakta diatas, melakukan pembenahan terhadap sistem pencalonan pemilihan kepala daerah adalah sebuah keniscayaan. Untuk mencegah agar pilkada tidak lagi marak dengan calon tunggal, langkah menghapuskan ambang batas pencalonan adalah pilihan yang mesti diambil.

Dengan tidak adanya ambang batas pencalonan pemilihan kepala daerah, partai politik akan lebih memiliki kesempatan untuk mengusung kader atau tokoh yang dinilai mampu menjadi calon kepala daerah. Hal terpenting lainnya, partai politik tak akan lagi dipaksa untuk berkoalisi dengan kesepatakan transaksional jangka pendek saja, dimana membangun koalisi hanya untuk memenuhi syarat kursi atau suara dalam proses pencalonan.

Selain meniadakan ambang batas pencalonan, syarat pencalonan perlu dilengkapi dengan adanya ambang batas maksimal kursi atau suara bagi partai politik untuk membentuk koalisi dalam mengusung satu pasangan calon kepala daerah. Angka ambang batas maksimal ini jauh lebih penting dan berguna, untuk mencegah terjadinya praktik memborong dukungan partai politik, dibandingkan syarat ambang batas minimal yang justru menyuburkan praktik mahar politik. Terkait dengan berapa jumlah angka ambang batas maksimal koalisi partai politik yang boleh mengajukan pasangan calon, akan lebih baik ini dituntaskan dalam kompromi politik para pembentuk undang-undang.

Hanya satu hal yang pasti, angka ambang batas maksimal tersebut tentu tidak boleh lebih dari 50% kursi atau suara DPRD. Logika sederhanya, angka 50% menjadi pembatas yang jelas, bahwa ada kekuatan 50% lagi yang seimbang untuk bisa memunculkan pasangan calon lain. Tetapi, untuk menentukan berapa proporsinalitasnya, silahkan pemerintah dan DPR mengkompromikannya dalam proses perubahan UU.

Calon Perseroangan

Selain menata sistem pencalonan dengan meniadakan ambang batas minimal kursi atau suara partai politik, menurunkan syarat persentase dukungan bagi calon perseorangan adalah langkah strategis untuk menghilangkan calon tunggal di dalam pilkada. Tingginya angka persentase dukungan di dalam persyaratan calon perseorangann, telah membuat kesempatan hadirnya calon-calon alternative yang tak memiliki kesempatan diajukan partai semakin sempit.

Oleh sebab itu, perbaikan terhadap sistem pencalonan pemilihan kepala daerah tidak boleh parsial. Tiga edisi pilkada serentak dalam rangka transisi menuju pilkada serentak nasional telah memberikan banyak pembelajaran.

Demokrasi lokal di daerah tidak boleh dibajak oleh segelintir elit politik, apalagi yang menjadi komando dari semua itu adalah uang. Oleh sebab itu, penataan sistem pencalonan pemilihan kepala daerah mesti menjadi agenda prioritas, sebelum menyongsong pilkada serentak nasional nanti. []

FADLI RAMADHANIL

Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)