August 8, 2024

Agar Pilpres Tak Bercalon Tunggal

Lima partai politik yang memiliki kursi di DPR sudah menyatakan dukungan kepada bakal calon presiden petahana Joko Widodo. Dukungan lima partai politik ini diikuti dengan wacana memasangkan Joko Widodo dengan Prabowo Subinato, kompetitornya pada Pemilu Presiden 2014. Jika ini terjadi, tentu saja tidak ada lagi lawan tanding yang mampu mendekati elektabilitas Joko Widodo. Karena, selama ini, satu-satunya sosok yang mampu mendekati tingkat keterpilihan Jokowi adalah Prabowo Subianto.

Kondisi ini memantik kekhawatiran serius. Jika wacana Joko Widodo berpasangan dengan Prabowo Subianto benar direalisasikan, mungkinkah pemilihan Presiden 2019 diikuti oleh pasangan calon tunggal? Apalagi dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat pada Sabtu (10/3), sebagai salah satu simpul yang dapat diharapkan mampu membentuk poros baru pencalonan presiden, partai yang dipimpin Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu membuka kemungkinan kuat akan menjadi bagian dari pendukung Presiden Jokowi. Jika memang Pemilu Presiden 2019 mengarah kepada kondisi dimana hanya ada satu pasangan calon saja, ini tentu menjadi sinyal bahaya besar bagi demokrasi Indonesia. Separah itukah kondisi partai politik Kita, hingga tak mampu menghadirkan pilihan bagi 260 juta rakyat Indonesia dalam sebuah pemilu Presiden?

Rekayasa Sistem Elektoral

Jika melihat pengaturan di dalam konstitusi UUD NRI 1945, sama sekali tidak diatur terkait dengan pemilihan presiden jika hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja. Basis hukum terbaru terkait dengan pemilihan dengan satu pasangan calon adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XIII/2015, yang memutuskan pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon adalah sesuatu yang konstitusional. Tetapi, tentu tidak bisa logika putusan MK terkait dengan pemilihan kepala daerah disejajarkan dengan pemilihan presiden.

Jika melihat ketentuan di dalam UU No. 7 Tahun 2017, sesungguhnya pembentuk undang-undang sudah mengantisipasi kemungkinan munculnya pasangan calon presiden tunggal. Salah satu penyebab kemungkinan munculnya pasangan calon presiden tunggal adalah, satu pasangan calon “memborong” semua dukunngan partai politik yang ada di parlemen. Kemungkinan ini sudah dilarang oleh Pasal 229 ayat (2) huruf a UU No. 7 Tahun 2017. Ketentuan ini menyebutkan, KPU wajib menolak pendaftaran pasangan calon presiden, jika pasangan calon presiden tersebut membawa dukungan dari seluruh partai politik yang memiliki kursi/suara parlamen.

Selain itu, di dalam Pasal 229 ayat (2) huruf b UU No. 7 Tahun 2017 juga sudah mewajibkan kepada KPU untuk menolak pendaftaran pasangan calon presiden, jika dukungan partai yang dibawa oleh pasangan calon presiden tersebut membuat partai politik lain tidak bisa mengusung pasangan calon presiden karena kekurangan dukungan kursi/suara.

Bahkan, antisipasi terhadap munculnya pasangan calon presiden tunggal, Pasal 235 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2017 memberikan ancaman sanksi kepada partai politik yang dengan sengaja tidak mengikutkan diri dalam dukungan pencalonan presiden. Sanksinya pun tidak main-main: partai politik tersebut dilarang ikut di pemilu berikutnya.

Namun, untuk menjawab dan merinci larangan bagi pasangan calon presiden untuk memborong semua dukungan partai, perlu pengaturan teknis di Peraturan KPU terkait dengan pencalonan presiden. Begitu juga ketentuan yang menyebutkan bahwa pencalonan presiden yang membuat partai lain tidak dapat mengajukan calon karena kekurangan kursi/suara, perlu dibuatkan formula yang lebih teknis, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.

Salah satu yang penting segera dirumuskan di dalam Peraturan KPU terkait pencalonan presiden adalah angka maksimal dari jumlah kursi/suara dari partai politik pendukung satu pasangan calon presiden. Angka ini penting, sebagai kepastian hukum dari rumusan norma yang melarang partai politik membuat gabungan partai politik yang menyebabkan partai politik lain tak bisa mencalonkan pasangan calon presiden. Kondisi ini bisa saja terjadi, jika jumlah kursi partai politik yang tersisa tak mencapai 20% kursi atau 20% suara sah nasional.

Oleh sebab itu, angka yang paling sejalan dengan pengaturan di dalam Pasal 229 ayat (2) huruf b UU No. 7 Tahun 2017 itu adalah 50% dari total kursi DPR atau 50% dari total suara sah pemilu yang dijadikan basis pencalonan presiden. Jadi, gabungan partai politik diberikan syarat maksimal jumlah kursi yang didaftarkan tidak boleh lebih dari 50% dari total kursi DPR yang ada, untuk mengusung satu pasangan calon presiden. Begitu juga untuk syarat gabungan partai politik yang memakai nominal suara hasil pemilu sebelumnya. Gabungan partai politik yang mengusung pasangan calon presiden, total suaranya tidak boleh lebih dari 50% dari total suara sah pemilu sebelumnya.

Alasan angka 50% sesungguhnya sangat sederhana. Dengan maksimal angka 50% dukungan, rasionalitasnya paling tidak akan muncul dua pasangan calon presiden. Sehingga potensi munculnya pasangan calon presiden tunggal karena tidak adanya batasan maksimal angka dukungan kursi/suara bisa dihindari. Sekali lagi, rumusan ini mesti menjadi kunci dalam Peraturan KPU terkait pencalonan presiden.

Kaderisasi Partai

Dari banyaknya jumlah partai politik yang ada di Indonesia, tentu sangat disayangkan, jumlah kader yang layak diajukan sebagai calon presiden sangat terbatas. Padahal, salah satu tugas partai adalah “memproduksi” kader, untuk menjadi pemimpin nasional dan pemimpin daerah.

Diskursus partai politik yang terasa sangat sempit, dimana hanya berkutat pada isu popularitas dan elektabilitas juga mengkonfirmasi ada masalah dalam fungsi agregasi partai politik dalam menangkap persoalan bangsa dan mencarikan solusi kongkrit dari masalah tersebut. Buktinya, tidak satupun nama-nama yang muncul sebagai calon presiden tak berbicara detail terkait dengan solusinya dari sekian banyak persoalan bangsa. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk mengikis kemungkinan pemilihan presiden dengan satu pasangan calon juga berarti mulai bertindak untuk melakukan perbaikan serius terhadap kaderisasi partai politik. []

FADLI RAMADHANIL

Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)