Para pegiat pemilu dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengapresiasi jalannya Pilkada Serentak 2018. Erik Kurniawan, Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) misalnya, menilai bahwa hasil Pilkada 2018 menunjukkan bahwa agenda demokrasi substansial mulai berkembang. Pilkada 2018 berjalan tanpa maraknya politik uang dan politisasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
“Kalau kita lihat hasil Pilkada 2018, ada modal penting untuk Indonesia keluar dari stagnasi demokrasi. Agenda demokrasi substansial seperti perang melawan politik uang dan politik SARA, itu mulai menemukan dampak nyatanya,” tandas Erik pada diskusi “Evaluasi Pilkada Serentak 2018” di Media Centre Bawaslu, Gondangdia, Jakarta Pusat (29/6).
Adanya dampak nyata, yakni berkurangnya kasus politik uang dan politisasi SARA di Pilkada 2018 disinyalir merupakan buah dari kinerja penyelenggara pemilu dan para stakeholder kepemiluan dalam memprioritaskan bahaya politik uang dan politisasi SARA. Kerjasama dengan berbagai pihak yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu menunjukkan hasil baik, dan membantah tuduhan sebagai sebuah agenda formalitas.
“Langkah-langkah pencegahan politik uang dan politik SARA yang dilakukan penyelenggara dengan menggandeng kekuatan berbagai pihak, ternyata ada keterkaitannya dengan minimnya politik uang di Pilkada 2018,” tukas pegiat pemilu senior, Wahidah Syuaib pada diskusi yang sama.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Kaka Suminta, menyatakan salut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah bersinergi bersama penyelenggara pemilu dalam mencegah praktek politik uang. Peringatan dini yang dilakukan kedua lembaga dinilai berpengaruh terhadap sikap partai politik dan kandidat yang tak berani memberikan uang pada hari pemungutan suara.
“Dari data dan temuan kami, memang berkurang. PPATK dan KPK memberi peringatan dini sehingga ini berakibat pada paslon tidak berani mengeluarkan uang di hari H. Ada efek jera yang dilakukan oleh KPK dan PPATK yang terus menyampaikan informasi mengenai rekening paslon dan dana kampanye,” ujar Kaka.
Selain dengan berkurangnya politik uang dan tak merebaknya politisasi SARA, perkembangan demokrasi substansial juga ditandai dengan pemilih yang lebih rasional. Pemilih, menurut Kaka, memilih figur-figur yang memiliki rekam jejak baik.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, juga Yusfitriadi, peneliti senior Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), mengapresiasi pemilih karena telah mematahkan dugaan banyak pengamat pemilu yang memprediksi bahwa Pilkada 2018 akan digaduhkan oleh maraknya politisasi SARA, ujaran kebencian, dan hoaks. Pilkada 2018 merupakan pilkada yang berjalan damai dan aman.
“Ini pilkada yang relatif rendah kegaduhannya. Relatif tidak muncul isu-isu sensitif yang mempengaruhi emosi masyarakat. Ini mematahkan prediski banyak pihak,” kata Yus.
Adapun ironi demokrasi substansial ditemukan di Pilkada Tulungagung. Kandidat yang tertangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) memenangkan Pilkada dengan kemenangan telak.
“Di Tulung Agung, kandidatnya sudah ditangkap KPK, tapi dia menang telak,” ucap Jerry Sumampouw, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI).