Ahli hukum tata negara, Muhammad Rullyandi menjadi saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak tergugat pada perkara yang diajukan oleh Evi Novida Ginting di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada sidang yang digelar Selasa (7/7), Rullyandi menerangkan bahwa Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No.317/2019 selaras dengan putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) No.83/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.514/2019. Pertimbangan hukum Putusan MK No.154/2019 menurutnya telah menyatakan bahwa perhitungan suara berjenjang berpengaruh terhadap perolehan akhir suara calon. Oleh karena itu, jika suara calon, dalam hal ini Hendri Makaluasc bertambah, maka suara Cok Hendri, pihak yang dituduh oleh Makaluasc di sidang MK, berkurang. Koreksi perolehan suara kedua calon tersebut semestinya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), meskipun dalam amar putusan MK tak menyebut perolehan suara akhir Cok Hendri.
“Saya memberikan keterangan ahli dalam rangka meluruskan penalaran KPU yang tidak sejalan dengan maksud dari pertimbangan hukum Putusan MK, karena amar Putusan MK itu adalah mengabulkan permohonan Hendri Makaluasc. Mengatakan yang benar adalah segini. MK dalam rasio pertimbangan hukumnya, sebagai mahkota putusan itu, sudah menggambarkan bahwa itu merupakan rujukan kepada putusan Bawaslu, sehingga mempengaruhi statistik hasil penghitungan suara secara rasional dan proporsional. Nah, itu tidak tertuang dalam Keputusan KPU, sehingga kepentingan Hendri Makaluasc yang seharusnya dia berhak ditetapkan sebagai calon terpilih tidak terpenuhi,” urai Rullyandi.
Ia kemudian melanjutkan, bahwa karena perolehan suara Makaluasc tak diperbaiki oleh KPU, maka Putusan Bawaslu hadir dalam rangka meluruskan salah nalar KPU. Namun KPU tak menjalankan Putusan Bawaslu sehingga DKPP kembali meluruskan.
“Di dalam Putusan DKPP dikatakan bahwa ini untuk meluruskan pemahaman hukum yang keliru kepada KPU, bahwa Putusan Bawaslu itu dalam rangka menyelaraskan Putusan MK, sehingga mestinya ditafsirkan, tidak ada pertentangan, bahwa Bawaslu memutus itu tidak melebihi apa yang ada di amar Putusan MK. Itu sudah diakui oleh dua lembaga, baik Bawaslu maupun DKPP,” tandas Rullyandi.
Tindakan KPU tak melaksanakan Putusan Bawaslu, yang dipandang Rullyandi semata untuk memberikan kepastian hukum atas hak kemenangan bagi Makaluasc, melanggar prinsip profesionalisme penyelenggara pemilu. KPU dinilai abai pada kekeliruan.
“Karena suara Cok Hendri (tetap) lebih tinggi, maka dia tetap menang. Inilah terjadi kekeliruan. Ini diabaikan oleh KPU, maka ini merupakan pelanggaran profesionalitas,” tegasnya.
Bawaslu berwenang mengadili perkara administrasi setelah putusan MK
Rullyandi berpandangan Bawaslu memiliki kewenangan absolut menangani sengketa pelanggaran administrasi pemilu, sekalipun telah keluar putusan MK. Merujuk Pasal 460 Undang-Undang Pemilu No.7/2017, sengketa pelanggaran administrasi pemilu dimungkinkan dilakukan di semua tahapan. Sengketa yang diajukan Makaluasc ke Bawaslu dilakukan di tahapan penetapan calon terpilih, belum ada pelantikan calon terpilih.
“Karena masih dimungkinkan dalam tahapan penetapan calon terpilih, maka Bawaslu berwenang mengadili. Karena itu wewenang absolut Bawaslu dalam memeriksa tata cara prosedur yang diatur oleh UU Pemilu,” jelasnya.
Evi layak diberhentikan DKPP
Didahului dengan menerangkan karakteristik persidangan DKPP dan sifat jabatan dalam perspektif hukum tata negara, Rullyandi menilai tepat pemberhentian Evi oleh DKPP dengan penilaian bahwa Evi bertanggung jawab lebih sebagai ketua divisi teknis penyelenggaraan dan logistik pemilu. Jabatan bersifat otonomi individu, sehingga sanksi pengadilan etik yang bersifat administratif diberikan kepada individu penyelenggara pemilu.
“Teradu VII sepatutnya menjadi leading sector dalam penyusunan norma standar yang pasti dan berlaku secara nasional dalam menetapkan perolehan suara dan calon terpilih menindaklanjuti putusan MK,” ujar Rullyandi.
Pasal 19 sesuai dengan norma hukum pengecualian
Ia juga menyinggung Pasal 19 Peraturan DKPP No.3/2017. Jika saksi ahli dari pihak penggugat, I Gede Gede Palguna menyampaikan di sidang yang sama ia tak dapat menemukan konstruksi hukum Pasal 19, Rullyandi mengaitkan Pasal 19 dengan norma hukum pengecualian. Norma pengecualian merupakan salah satu dari empat kategori norma dalam pendekatan teori perundang-undangan.
“Pendekatan teori peraturan perundang-undangan, norma hukum ada 4 kategorinya, berisi nilai larangan, suruhan atau keharusan, norma yang berisi kebolehan, dan pengecualian. Saya melihat Pasal 19 merupakan suatu norma berdasar asas pengecualian,” kata Rullyandi.
Pasal 19 berisi norma bahwa dalam hal pengaduan dan atau laporan yang telah dicatat dalam berita acara verifikasi material dicabut oleh pengadu, DKPP tidak terikat dengan pencabutan pengaduan.
“Seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan, ada ketentuan pasal berlakunya suatu undang-undang sejak diucapkan atau kecuali ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan,” lanjutnya.
Putusan DKPP tak dapat digugat di PTUN
Selain itu, Rullyandi menandaskan bahwa PTUN tak diberikan wewenang oleh UU Pemilu untuk mengadili gugatan yang mempersoalkan Putusan DKPP. PTUN hanya diberikan wewenang untuk mengadili sengketa proses, verifikasi peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap, dan penetapan calon terpilih.
“Tidak ada satu format pun di dalam undang-undang, yang memberikan kewenangan tambahan kepada PTUN. Karena itu, kewenangan PTUN yang dihadapkan dengan undang-undang yang bersifat lex spesialis, wajib ditentukan secara eksplisit,” terangnya.