August 8, 2024

AIPI: Pemilihan Eksekutif Harus Dilaksanakan Secara Langsung

Selasa (10/12), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) menyelenggarakan Seminar Nasional Ke-28 dengan tema “Evaluasi Pemilu Serentak 2019 dan Tantangan Demokrasi Indonesia ke Depan”. Dalam seminar ini, hadir penyelenggara pemilu daerah, para ahli politik, juga pegiat pemilu yang memberikan catatannya atas evaluasi Pemilu Serentak 2019 dan isu-isu terkini terkait politik elektoral di Indonesia. Isu pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan masa jabatan presiden selama tiga periode maksimal menjadi bahan diskusi di Seminar.

“Tema ini kami ambil karena kami menganggap isu-isu inilah yang mesti kita sikapi, ditengah elit politik yang mulai phobia dengan pemilihan umum yang dilakukan secara langsung,” kata Ketua AIPI, Alfitra Salamm, pada Seminar di Hotel Grand Sahid Jaya, Tanah Abang, Jakarta Selatan.

AIPI menolak keras wacana pemilihan eksekutif lokal dan nasional secara tidak langsung. Menurut AIPI, pemilihan secraa tidak langsung bertentangan dengan semangat Reformasi 1998, dan merupakan bentuk pembajakan para elit oligarkis terhadap demokrasi. Dari wacana yang dilontarkan oleh para elit di media, menurut AIPI tak ada satu pun argumen yang masuk akal untuk membenarkan perubahan pemilihan langsung menjadi tidak langsung.

“Wacana presiden dipilih oleh MPR, kepala daerah dipilih oleh parlemen lokal, dan masa jabatan presiden tiga periode, bukan hanya anomali, tetapi juga pengkhianatan terhadap tujuan mulia Reformasi 1998,” tandas Alfitra.

Alasan yang dilontarkan oleh elit, yakni pilkada dan pemilihan presiden tidak langsung berguna untuk menghindari politik pecah belah, politik uang, dan politik berbiaya mahal, tidak pada tempatnya. Jika terjadi penyimpangan dalam pemilihan langsung, semestinya bukan pemilihan langsung yang diubah, melainkan pembenahan terhadap instrumen demokrasi dan para aktor yang terlibat dalam demokrasi elektoral. Sebagai upaya pembenahan, mestinya dilakukan penguatan terhadap institusi-institusi demokrasi, seperti parlemen, partai politik, media, dan kekuatan masyarakat sipil. Pendidikan karakter bagi para aktor demokrasi juga dinilai penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi.

“Jadi, bukan demokrasi lansungnya yang dimatikan, tetapi instrument-instrumen demokrasi itu yang harus dibenahi,” pungkas Alfitra.

Selain menyikapi wacana pemilihan tidak langsung, dalam Seminar ini AIPI juga menyatakan dukungannya terhadap desain pemilihan serentak nasional dan lokal. Model pemilu serentak lima kotak seperti yang diterapkan di Pemilu Serentak 2019 tidaklah memberikan insentif bagi penguatan sistem presidensialisme dan penyederhaan sistem kepartaian.

Secara detil, AIPI menyampaikan empat alasan desain keserentakkan pemilu perlu ditata ulang. Pertama, skema Pemilu Serentak 2019 hasilnya tidak jauh berbeda dengan skema pemilu terpisah antara Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Kedua, Pemilu Serentak 2019 menghasilkan format politik “anomali” akibat dipaksakannya syarat ambang batas pencalonan presiden (20 persen kursi DPR atau 25 persen suara secara nasional) sehingga menimbulkan polarisasi politik yang tajam di tingkat masyarakat sebagai karena masyarakat dihadapkan pada dua pilihan calon yang antagonis dan ekstrem. Ketiga, Pemilu Serentak 2019 gagal mendorong lahirnya koalisi politik permanen sebagai rule of the game dalam berdemokrasi, karena format koalisi terdistorsi oleh wacana elit bahwa pembentukan koalisi hanya untuk pencalonan presiden/wakil presiden, dan bukan sebagai sarana untuk membentuk pemerintahan. Keempat, Pemilu 5 kotak menyebabkan beban penyelenggara pemilu menumpuk sehingga berdampak pada kualitas demokrasi pemilu yang masih prosedural.

“Dari sisi prosedur elektoral pun Pemilu Serentak 2019 menimbulkan berbagai masalah, khususnya meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu di tingkat TPS (tempat pemungutan suara) dan kecamatan atau PPK (Penyelenggara Pemilu Kecamatan). Kualitas prosedur elektoral juga seperti yang kita lihat, menyebabkan munculnya perdebatan hasil pemilu yang sangat tajam dari kedua belah kubu paslon presiden-wakil presiden,” jelas anggota AIPI, Ferry Daud Liando pada Seminar tersebut.

Terkait desain pemilu serentak nasional yang terpisah dengan pemilu serentak lokal, AIPI mengusulkan pemilu serentak lokal dilaksanakan 30 bulan atau 2,5 tahun setelah pemilu serentak nasional. Dan, tak ada syarat ambang batas pencalonan presiden. Pemilu serentak lokal dilakukan untuk memilih gubernur, bupati/walikota, dan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Ada delapan alasan AIPI merekomendasikan desain ini. Satu, terbentuknya pemerintahan hasil pemilu yang lebih efektif karena presiden terpilih dan kekuatan mayoritas di DPR berasal dari parpol atau koalisi parpol yang sama. Dua, kinerja pemerintahan nasional akan menjadi evaluasi bagi pemilihan di tingkat lokal. Tiga, meminimalisir koalisi politik yang terbentuk atas dasar kepentingan politik jangka pendek dan transaksional. Empat, isu politik lokal yang selama ini tenggelam karena pemberitaan politik nasional dapat terangkat melalui pemilu lokal. Lima, mendorong politisi bekerja lebih baik karena ada evaluasi di tingkat lokal. Enam, memudahkan prosedur elektoral dan mengurangi beban penyelenggara pemilu dan partai politik sehingga memungkinkan penyelenggara dan peserta pemilu dapat meningkatkan kualitas pemilu. Tujuh, memunculkan figur-figur calon presiden-calon wakil presiden yang lebih banyak dari kalangan pemimpin lokal. Delapan, meningkatkan kualitas hasil pilihan pemilih, karena pemilih tak dihadapkan pada pilihan yang terlampau banyak.

“Kami melihat ada banyak manfaat dari desain keserentakkan pemilu yang terpisah antara nasional dan lokal. Pemilih akan lebih diuntungkan dengan desain ini, dan desain ini juga memberikan insentif bagi iklim politik kita yang lebih demokratis dan lebih sehat,” tutur Ferry.

Usulan AIPI didukung oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Sama seperti API, Perludem memandang bahwa pemilihan langsung yang akan dievaluasi menjadi pemilihan tidak langsung, serta perpanjangan pembatasan jabatan presiden merupakan bentuk korupsi terhadap capaian reformasi. Terkait desain keserentakkan pemilu, Perludem turut mendukung dipishakannya pemilu serentak nasional dengan lokal.

“Apa yang diusulkan oleh AIPI, sejalan dengan gagasan yang kami usulkan. Evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu, juga pilkada, tidak mesti dengan membuat pemilunya jadi tidak langsung. Itu penyelesaian dari logika yang melompat. Pemilihan langsung adalah bentuk demokrasi langsung yang harus dipertahankan,” tegas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, kepada Rumahpemilu.org melalui Whats App(13/12).