Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan akar masalah politik Indonesia yang juga jadi faktor pencalonan Gibran Rakabuming Raka. Pada pemilu sebelumnya, kita ada dalam perpecahan masyarakat menjadi “cebong” dan “kampret”. Sengitnya seteru sampai ke keluarga. Antar kita bisa tidak saling bertegur sapa, bahkan sampai kasus kekerasan karena pilihan yang berbeda.
Ambang batas pencalonan presiden memang bukanlah persoalan yang bisa dianggap enteng. Keterbelahan masyarakat perlu dievaluasi para penegak hukum dan pelaksana konstitusi, baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, usaha tersebut tidak menjadi perhatian khusus para politisi partai dan lembaga negara. Puluhan kali akademisi, praktisi, dan pengamat demokrasi melakukan banding di MK tidak idahkan dengan alasan open legal policy. Hal ini tentu menjadikan proses demokrasi di Indonesia mengalami regresi yang sangat siginifikan, persoalan mengenai politik yang populis, pengaturan kebebasan berpendapat, perlindungan HAM, bahkan manipulasi pemerintahan dalam mempertahankan kekuasaan. Lebih lanjut hal ini dituliskan oleh Ilmuwan Politik yaitu Edward Aspinall dan Eve Waburton dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Struture, Agency, and Popular Opinion”.
Kemudian, ambang batas pencalonan presiden juga sesungguhnya membatasi putera dan puteri terbaik Indonesia. Tentunya dengan usulan peserta pemilu yaitu partai politik yang telah terverifikasi dan dinyatakan memenuhi syarat. Ambang batas pencalonan menyebabkan seluruh partai politik saling main mata, bertukar keinginan, agar mendapatkan tiket untuk mengajukan kadernya dalam berkontestasi di Pilpres 2024.
Banyak pengupayaan koalisi dari berbagai partai. Mulai dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Koalisi Perubahan untuk Persatuan, sampai Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Kemungkinan pencalonan sosok terbaik serta murni berdasar kesamaan platform atau ideologi menjadi dibatasi karena ada ambang batas pencalonan.
Yang Prosedural dan Substantial
Dalam beberapa literatur setidaknya ada beberapa cara dalam meneropong praktik demokrasi di Indonesia, antara lain yaitu praktik demokrasi prosedural dan substantial. Demokrasi prosedural merupakan alat dalam mencapai tujuan murni negara demokrasi itu sendiri, maka dari itu demokrasi dimaknai sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang melakukan praktik-praktik demokratisasi di negara tersebut. Ini juga terkait dengan pembagian kekuasaan yang jelas melalui lembaga negara yang sengaja dibentuk untuk melakukan check and balance dan proses pemilihan orang-orang dalam berbagai lembaga negara melalui pemilu.
Lembaga negara yang dianggap dapat merepresentasikan proses terbentuknya negara yang demokratis ini menghasilkan substansi demokrasi saat menjamin hak-hak individu warga negara untuk ikut serta mempengaruhi perjalanan sebuah negara. Dengan ini, prosedur yang dibuat negara harus dengan sengaja dapat melibatkan hak individu warga negara dalam mencapai tujuan pembangunan sebuah negara.
Setidaknya ada empat hal yang dapat menjadi perhatian pelaksanaan praktik demokrasi prosedural ini. Pertama, partisipasi masyarakat yang bersifat menyeluruh. Kedua, kesetaraan hak politik masyarakat. Ketiga, suara mayoritas dalam keterwakilan. Dan keempat, hubungan timbal balik wakil tersebut atas konstituennya setelah dipilih.
Demokrasi Elektoral
Demokrasi elektoral secara normatif ditafsirkan sebagai proses pemilihan calon yang akan mewakilkan masyarakat baik ditingkat legislatif dan eksekutif. Ciri khusus negara demokarasi adalah memilihan pemimpin melalui pemilihan umum tentunya. Rakyat diperlakukan setara dan tidak dibedakan dalam memberikan pilihannya untuk menentukan masa depannya dan masa depan negaranya.
Pemilu presiden langsung merupakan wujud demokrasi elektoral pada pemerintahan yang mengaku dirinya menganut sistem presidensil. Di sini, kekuasaan ditentukan dalam pemilihan oleh masyarakat dan adanya pembatasan kekuasaan dalam kepemimpinan tersebut. Termaktub dalam UUD NRI 1945, pasal 7 yang berbunyi bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Kalimat itu berarti, jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara eksplisit dibatasi dua periode kepemimpinan. Tentu sistem presidensil ini tidak sama dengan parlementer/monarki yang dipimpin perdana menteri atau raja, di mana kekuasaan tidak menghendaki pemilihan dan pembatasan kekuasaan.
Banyak ilmuwan politik dengan tegas mengatakan bahwa demokrasi masih menjadi sistem terbaik di dunia. Namun, pelbagai masalah sering ditemukan dalam praktik demokrasi di beberapa negara. Indonesia di antaranya, punya masalah presidensil dengan rasa parlementer. Pengaruh selera partai parlemen dalam menentukan calon presiden melalui ambang batas pencalonan juga jadi sistem politik di parlemen daerah. Dampaknya adalah praktik politik dinasti yang berkelindan dengan partai penguasa DPRD melalui ambang batas pencalonan kepala daerah. Ini terjadi di Banten, Klaten, Jambi, Sulsel, dan beberapa daerah lainnya.
Demokrasi elektoral di Indonesia terhitung sudah jauh dari definisi awalnya. Demokrasi elektoral dimaknai sepihak bagaimana merebut kekuasaan dengan mendapatkan dukungan secara pragmatis melalui ambang batas pencalonan.
Jika kita kembali secara spesifik membahas mengenai ambang batas pencalonan presiden, tentu ini mencederai demokrasi Indonesia. Seharusnya demokrasi Indonesia lebih menjamin substansi demokrasi yang sayangnya malah bergeser ke hal yang lebih pragmatis kepentingan elektoral saja. Yang dianggap penting adalah, berapa suara yang akan didapat, bukan pertarungan gagasan untuk memajukan Indonesia.
Karena ambang batas pencalonan presiden ini, banyak partai politik di Indonesia justru tidak mencalonkan kader terbaiknya untuk bertarung dalam pemilu. Sosok calon malah dipilih orang yang lebih popular atau memiliki hubungan keluarga dengan kekuatan tertentu sehingga dapat memenuhi aspek elektoral untuk memenangkan pemilu yang akan datang. []
ASYRAF AL FARUQI TUHULELE
Mahasiswa Pascasarjana Departeman Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (DPP UGM). Peneliti di Leader of Indonesia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)