December 22, 2024

Aksesibilitas Pemilih Disabilitas Jelang Pemilu 2024

Pemilu 2024 rencananya akan dimulai pada Januari 2022 mendatang. Pemilu ini pun menjadi sebuah sejarah baru bagi ketatanegaraan Indonesia, sebab akan dilaksanakan pemilu dan pilkada pada tahun yang sama. Meskipun pilihan teknis pelaksanaan pemilu dan pilkada pada bulan yang berbeda, namun tetap pada desain tahun yang sama. Dalam konteks pemilih disabilitas, bagaimana gambaran aksesibilitas pemilih disabilitas pada pemilu 2019 dan apa pelajaran yang dapat dipetik agar hak pilih mereka tidak terabaikan dalam pemilu 2024 mendatang.

Pada Pemilu 2019 lalu, Komisi Pemilihan Umum mencatat jumlah pemilih penyandang disabilitas sebanyak 1.247.730 pemilih. Pemilih tunadaksa sebanyak 83.182 pemilih, tunanetra sebanyak 166.364 pemilih, dan tunarungu sebanyak 249.546 pemilih. Kemudian untuk pemilih dari tunagrahita ada 332.728 dan disabilitas yang masuk kategori lainnya sebanyak 415.910 pemilih.

Apa itu aksesibilitas dalam pemilu? M. Afifuddin dalam bukunya berjudul “Membumikan Pengawasan Pemilu” mengatakan aksesibilitas dalam pemilu adalah suatu kondisi tatkala setiap warga negara bisa menggunakan hak politiknya (memilih, dipilih, diangkat menjadi penyelenggara pemilu) secara langsung, umum, bebas, rahasia, serta mandiri tanpa hambatan apapun. Aksesibilitas dalam pemilu yang dimaksudkan di sini adalah fasilitas dan pelayanan yang bisa memudahkan penyandang disabilitas dalam memberikan hak politiknya dalam pemilu.

Secara spesifik jaminan tentang aksesibilitas dalam pemilu dapat dirujuk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), sebuah konvensi yang mengatur hak penyandang disabilitas. Di pasal 29 CRPD  yang mengatur tentang partisipasi dalam kehidupan politik dan public dijelaskan bahwa “Negara-negara pihak harus menjamin hak politik penyandang disabilitas dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang lain, dan harus melakukan tindakan-tindakan untuk: (a) menjamin penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan public secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih…”.

Dalam konstitusi kita juga diatur mengenai hak pilih yang wajib dilindungi dan diakui keberadaannya seperti termuat dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan ketentuan teknis yang diatur dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada, baik pada tingkat konstitusi dan undang-undang yang bersifat sectoral mengenai hak politik, tidak ada satupun ketentuan yang bersifat diskriminatif.

Perlindungan atas hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas terdapat pada Pasal 350 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengisyaratkan agar TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia.

Kemudian Pasal 356 ayat (1) undang-undang 7 Tahun 2017 menjelaskan bahwa Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan Pemilih. Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara wajib merahasiakan pilihannya.

Berdasarkan temuan Bawaslu masalah aksesibilitas penyandang disabilitas dalam pemilu kerap terjadi. Pertama, tidak terakomodirnya pemilih disabilitas dalam DPT. Bagi sebagian petugas pemilu, penyandang disabilitas masih dikategorikan sebagai orang yang tidak punya hak pilih. Bagi sebagian penyandang disabilitas dan keluarganya ada yang masih malu untuk didata, demikian juga keengganan ke TPS pada saat pemilu.

Kedua, Ketersediaan alat bantu disabilitas netra (template braille). Berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu, ada 25.769 TPS yang tidak menyediakan alat bantu tuna netra berupa template braille. Selain itu, saat berada di bilik suara, pemilih disabilitas berhak mendapat bantuan pendampingan. Namun berdasarkan hasil pengawasan, ditemukan pendamping pemilih penyandang disabilitas yang tidak menandatangani surat pernyataan pendampingan (formulir model C3) di 6.998 TPS.

Ketiga, akses ke tempat pemungutan suara di hari pemilihan. Bagi penyandang disabilitas daksa yang menggunakan kursi roda, penting untuk dipastikan bahwa lokasi TPS bisa diakses atau dilalui. Berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu, ditemukan 2.336 TPS yang berada di tempat yang sulit dijangkau oleh penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.

Keempat, akses untuk mendapatkan informasi seputar pemilu. Berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu, ditemukan informasi tentang tata cara memilih tidak terpasang di sekitar TPS sebanyak 20.995 TPS. Informasi seputar tahapan pemilu, materi kampanye, visi misi kandidat, mesti disiapkan juga dalam bentuk braille untuk bisa diakses disabilitas netra. Bagi disabilitas rungu, mereka membutuhkan penerjemah (sign interpreter) untuk mengerti materi informasi oral yang disampaikan. KPU dan Bawaslu memang sudah melibatkan penyandang disabilitas dalam beberapa iklan layanan masyarakat yang mereka buat akan tetapi sign interpreter yang sangat dibutuhkan oleh disabilitas rungu wicara masih belum ditemukan dalam iklan layanan masyarakat tersebut.

Kelima, hak bagi penyandang disabilitas untuk dipilih (right to be elected). Hal ini menjadi hak dasar bagi penyandang disabilitas. Mereka juga punya kesempatan yang sama untuk dipilih dalam semua proses politik, termasuk juga untuk menjadi penyelenggara pemilu (M. Afifuddin, 2020).

Menurut saya, perlindungan dan pemenuhan hak kelompok penyandang disabilitas pada pemilu sangat bergantung pada upaya penyelenggara pemilu dalam mempersiapkan dan melaksanakan pemilu yang berprinsip aksesibilitas. Penyandang disabilitas sebagaimana dengan orang penyandang non disabilitas memiliki hak dan kewajiban yang sama. Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi setiap hak yang dimiliki pemilih disabilitas.

Persiapan penyelengara pemilu dalam hal ini mesti dilakukan melalui beberapa upaya antara lain sosialisasi pemilu kepada pemilih penyandang disabilitas, pendataan dan pendaftaran pemilih penyandang disabilitas, persiapan logistik pemilu, dan persiapan petugas penyelenggara pemilu yang ramah pemilih disabilitas.

Karena itu, dibutuhkan sebuah pengaturan yang lebih tegas dan detail untuk menjamin dan melindungi hak pilih mereka. Tidak jelas dan tegasnya ketentuan tentang bagaimana kebutuhan serta tahapan proses pemenuhan hak kelompok penyandang disabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu diatur lebih teknis di Peraturan KPU.

Untuk memenuhi hak pilih kelompok penyandang disabilitas, penyelenggara pemilu juga harus mempersiapkan sumber daya manusia yang memahami hak-hak prinsipil dari kelompok penyandang disabilitas. Langkah yang bisa diambil adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan khusus kepada penyelenggara pemilu sehingga hak aksesibilitas yang dimiliki kelompok penyandang disabilitas dapat terpenuhi. Semoga dalam masa persiapan jelang Pemilu 2024, semua pihak dapat berkontribusi menciptakan pemilu yang ramah terhadap pemilih disabilitas. []

FORTUNATUS HAMSAH MANAH

Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT)