September 13, 2024

Ambang Batas Parlemen Tinggi, Kemajemukan Tak Terakomodasi

Keinginan sejumlah partai politik untuk meningkatkan ambang batas parlemen perlu dikaji mendalam. Pasalnya, ambang batas yang terlalu tinggi akan membuat kemajemukan pilihan politik masyarakat tak terakomodasi dengan baik di parlemen. Akibatnya, gerakan ekstraparlementer bakal menguat.

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Arya Budi, mengingatkan, keinginan partai politik menyederhanakan jumlah parpol harus tetap memperhatikan keberagaman pandangan dan pilihan politik publik.

Jika ambang batas parlemen ditingkatkan jadi 7 persen dari 4 persen seperti tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dia melanjutkan, jumlah parpol memang bisa lebih sederhana. Kemungkinan hanya akan ada tiga hingga empat parpol yang bisa melampaui ambang batas tersebut.

Pada Pemilu 2019, dengan ambang batas 4 persen, jumlah parpol yang lolos ambang batas sebanyak sembilan parpol.

”Namun, jika hanya tiga hingga empat parpol yang lolos ambang batas parlemen, parpol-parpol yang masuk parlemen kemungkinan tidak akan bisa menggambarkan pluralitas pilihan politik masyarakatnya,” kata Arya yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/3/2020).

Keinginan meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 7 persen disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh seusai pertemuan keduanya di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Senin (9/3/2020). Airlangga menyebutkan, keinginan itu lahir dari Surya Paloh dan dia mendukung usulan itu.

Arya melanjutkan, praktik demokrasi yang dianut Indonesia sejak tahun 1955 menunjukkan pola representasi yang multipartai. Kendati demikian, demi membangun pemerintahan yang efektif dan warna politik masyarakat terwadahi dengan baik, idealnya jumlah parpol sebanyak tujuh hingga delapan parpol.

”Jika hanya sedikit partai yang terwadahi, sementara banyak suara masyarakat yang tidak bisa diwakili di lembaga legislatif, yang dikhawatirkan terjadi ialah banyaknya ekspresi politik ekstraparlementer. Artinya, orang akan banyak turun ke jalan memperjuangkan prinsipnya karena mereka merasa tidak terwadahi pilihan politiknya,” ujar Arya.

Untuk membuat parpol hanya terbagi secara sederhana dalam basis ideologi tertentu, seperti agama dan kebangsaan, berarti sama saja menutup mata pada kenyataan beragamnya warna dalam setiap ideologi tersebut. Misalnya, dalam ideologi nasionalis, warnanya sangat banyak, tidak hanya satu macam. Demikian pula untuk Islam, warna dan polanya juga tidak bisa dibatasi hanya dalam satu parpol tertentu karena kemajemukannya.

Pro dan kontra
Isu ambang batas parlemen selalu menjadi polemik parpol-parpol di parlemen setiap kali pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Isu itu pun kembali muncul saat ini menjelang rencana revisi UU Pemilu. Revisi UU Pemilu menjadi inisiatif DPR. Saat ini Komisi II DPR sedang menyusun draf revisi tersebut.

Sekalipun Golkar dan Nasdem menyampaikan keinginan untuk menaikkan ambang batas menjadi 7 persen, banyak parpol lain tidak sepakat.

PDI-P, misalnya. Wakil Sekjen PDI-P Arif Wibowo mengatakan, sekalipun setuju ada kenaikan ambang batas, kenaikannya tidak signifikan. Sesuai hasil Kongres PDI-P di Bali, Agustus 2019, PDI-P mengusulkan ambang batas naik menjadi 5 persen.

Tak hanya itu, PDI-P mengusulkan ambang batas parlemen juga diberlakukan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Jika ambang batas parlemen tingkat nasional diusulkan 5 persen, PDI-P mengusulkan ambang batas parlemen tingkat provinsi 4 persen, dan tingkat kabupaten/kota 3 persen. Saat ini, pengaturan ambang batas parlemen hanya di tingkat nasional, yakni 4 persen.

”Itu usulan kami, dan akan kami komunikasikan serta diskusikan. Kami mengajak semua partai memperkuat organisasi dan basisnya. Jadi, prinsipnya kami ingin semua partai memperkuat dirinya masing-masing, bekerja sekeras-kerasnya menarik simpati dan mengorganisasi masyarakat sehingga ambang batas berjenjang itu dilampaui,” katanya.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan juga keberatan dengan usulan ambang batas 7 persen. Menurut dia, kalaupun ada kenaikan ambang batas, kenaikan seharusnya bertahap.

”Ini penting karena Indonesia menganut sistem multipartai dan sejumlah partai masih tergolong baru. Jangan lupa, kita itu Pancasila, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), Bhinneka Tunggal Ika, kebersamaan, bukan soal menang-menangan. Saya kira tentu kami, partai baru, dan sebagainya, perlu (kenaikan ambang batas) bertahap dulu,” katanya.

Lain lagi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi keberatan dengan kenaikan itu. PPP mengingatkan, kenaikan angka ambang batas parlemen akan membuat semakin banyak suara pemilih yang hangus atau tidak terwakili di parlemen karena parpol pilihan mereka tak lolos ambang batas parlemen.

Mengacu pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada sekitar 13,5 juta suara pemilih tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen. Oleh karena parpol tidak lolos, suara mereka hangus atau tidak terwakili di parlemen.

”Hal ini sekaligus menafikan keberagaman yang menjadi fondasi terbentuknya NKRI. NKRI ini terbentuk atas konsensus bersama yang menghormati suku, agama, kelompok, atau golongan,” kata Achmad.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Gerindra masih perlu mengkaji lebih dalam. ”Kami akan bicarakan dalam rakernas tahun ini,” katanya. (RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/03/11/penyederhanaan-parpol-tetap-wadahi-kemajemukan/