Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia,
Kuasa Pemohon dan Kuasa Termohon Yang Saya Hormati,
Hadirin yang mulia,
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh,
Terkait dengan permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, saya diminta untuk memberikan keterangan, khususnya mengenai ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), dari sudut pandang ilmu politik yang merupakan bidang yang saya tekuni.
Dalam pasal 222 UU No. 7/2017, terdapat ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden yang mengatur bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang memiliki kursi di DPR sebanyak minimal 20 persen kursi atau suara hasil pemilu minimal sebanyak 25 persen yang boleh mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang berlangsung serentak dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden ini, dari sudut pandang ilmu politik (sistem pemerintahan dan pemilu adalah bagian di dalamnya), adalah ketentuan yang sulit diterima. Sepanjang yang saya ketahui, sulit untuk mencari pembenaran atau justifikasi yang logis maupun contoh-contoh empiris yang mendukung ketentuan tersebut.
Pertama, ketentuan tersebut tidak sesuai dengan logika pemurnian pelaksanaan sistem presidensial yang menjadi salah satu pertimbangan adanya pemilu serentak. Kedua, secara yuridis ia potensial bertentangan dengan konstitusi. Ketiga, secara politik, sulit untuk mencari pembenaran yang kuat atas adanyaAmbang batas pencalonan presiden dalam pemilu serentak baik dari segi teoritis maupun contoh empirik. Keempat, alasan para pendukungnya bahwa ambang batas pencalonan presiden itu akan meningkatkan kualitas demokrasi dan penguatan sistem presidensial adalah alasan yang lemah.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Salah satu kritik terhadap pemilu legislatif dan pilpres terpisah sampai dengan 2014 adalah ia menimbulkan ketidakmurnian pelaksanaan sistem presidensial. Permasalahan sebetulnya terletak bukan pada keterpisahan atau keserentakan pelaksanaannya. Masalah terletak pada fakta bahwa pemilu legislatif dihubungkan dengan pilpres, yakni pemilu legislatif dijadikan prasyarat untuk pelaksanaan pilpres.
Dalam logika sistem presidensial, mandat rakyat diberikan secara terpisah langsung masing-masing kepada legislatif (DPR) dan kepada eksekutif (presiden). Ini diperlukan karena legislatif dan eksekutif independen satu sama lain dan saling “check and balance”. Ini berarti mandat yang diberikan kepada legislatif belum tentu sama, bahkan sering berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada presiden. Di Amerika Serikat sering terjadi divided government dimana rakyat memberikan mandat politik kepada Partai Republik di Kongres dan kepada Partai Demokrat di kepresidenan atau sebaliknya. Dengan kata lain, tidak ada hubungan antara hasil pemilu legislatif dengan proses dan hasil pilpres.
Sampai 2014, dengan adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden, pemilu legislatif menjadi prasyarat untuk pencalonan dalam pilpres di Indonesia. Ini potensial bercampur dengan logika parlementer. Dalam sistem parlementer, pemberian mandat dari rakyat berlangsung satu arah dari rakyat kepada parlemen (partai politik), lalu dari parlemen (partai politik) kepada eksekutif (perdana menteri). Partai atau gabungan partai yang menang (memiliki mayoritas) yang mencalonkan dan mengangkat perdana menteri. Dengan kata lain, hasil pemilu legislatif menjadi prasyarat untuk terbentuknya eksekutif.
Meski tidak seluruhnya, logika parlementer ini berlaku juga ketika pemilu legislatif dijadikan persyaratan untuk pilpres seperti di Indonesia. Hanya saja dalam sistem parlementer murni, partai atau gabungan partai mencalonkan dan memilih eksekutif (perdana menteri), sedangkan dalam sistem Indonesia sampai 2014, partai atau gabungan partai, karena hasil tertentu dari pemilu legislatif, mencalonkan eksekutif (presiden) lalu mempersilakan rakyat untuk memilih. Ini artinya, pemberian mandat dari rakyat kepada presiden, tidak bersifat langsung, tapi melalui pemberian mandat terlebih dahulu kepada legislatif (isi legislatif adalah partai politik) baru dari rakyat. Maka model pemilu legislatif yang menjadi prasyarat pilpres membuat logika sistem presidensial menjadi tidak murni.
Ketika pilpres dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif, maka potensi untuk menjadikan pemilu legislatif sebagai prasyarat pilpres melalui ambang batas pencalonan presiden menjadi tidak ada. Alasannya sangat sederhana: pemilu legislatif untuk masa pemilu berjalan belum dilaksanakan, sehingga hasilnya belum ada. Maka tidak ada jalan untuk menjadikan pemilu legislatif sebagai prasyarat.
Maka ada dua kesalahan dalam ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden yang dimuat dalam UU No. 7/2017. Pertama, kembali menjadikan pemilu legislatif sebagai prasyarat pilpres. Kedua, lebih parah lagi, pemilu legislatif yang dijadikan prasyarat adalah pemilu legislatif yang sudah terjadi pada masa pemilu sebelumnya, yang dari segi konfigurasi politiknya, sangat mungkin tidak lagi sama dengan pemilu yang akan atau sedang berjalan.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Masalah kedua dari adanya ambang batas pencalonan presiden dalam pemilu serentak adalah potensi dari konsekuensinya untuk bertentangan dengan konstitusi. Pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden potensial bertentangan dengan pasal 6A (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Konsekuensi dari adanya Ambang batas pencalonan presiden adalah sejumlah partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR atau yang baru ikut pemilu pada masa pemilu berjalan, tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Atau, mereka terpaksa ikut mendukung pasangan capres dan cawapres yang tersedia, tanpa memiliki kekuatan politik untuk menyampaikan kehendak atau aspirasi akibat posisi mereka yang tidak mengganjilkan dan tidak menggenapkan. Potensi ketidaksetaraan peserta pemilu bisa terjadi di sini.
Bila secara teoritis sulit untuk memahami atau men-justifikasi pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden dalam pemilu serentak, secara empirik juga sulit mencari contoh pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden dalam pilpres di banyak sistem presidensial yang ada di dunia ini.Amerika Serikat, negara dengan sistem presidensial yang paling mapan, tidak memiliki aturan Ambang batas pencalonan presiden. Negara-negara di Amerika Latin, yang kebanyakan menganut sistem presidensial multipartai seperti Indonesia juga tidak memberlakukan ambang batas pencalonan presiden dalam pilpresnya. Umumnya pilpres dan pemilu legislatif di Amerika Latin juga berlangsung serentak.
Di Brazil, sebagai contoh, pilpres pada 2015 lalu diikuti oleh 11 (sebelas) pasang calon presiden dan wakil presiden. Bukan hanya tidak memberlakukan ambang batas pencalonan presiden, Brazil membolehkan calon independen untuk bertarung dalam pilpres. Negara lain, Peru, juga tidak memiliki aturan ambang batas pencalonan presiden. Pada 2016 lalu calon presiden dan wakil presidennya ada 18 pasangan. Sebagian besar dari pasangan ini kemudian mengundurkan diri lalu akhirnya hanya enam pasang yang terus berkompetisi.
Meski tidak berlaku ambang batas pencalonan presiden, tidak mesti pasangan capres dan cawapres akan selalu banyak. Di Mexico pada 2012, pilpres hanya diikuti oleh empat pasangan calon. Di Kolumbia pada 2014 juga hanya diikuti lima pasangan calon. Ada tidaknya ambang batas pencalonan presiden tidak menjadi penentu pasti banyaknya jumlah kandidat, tapi juga faktor lain seperti sistem pemilihan umum, popularitas petahana, dan banyak faktor lain. Seperti di Indonesia, sistem pemilihan umum presiden di kebanyakan negara Amerika Latin adalah sistem dua putaran (majority run-off): pemenang harus memperoleh minal lebih dari 50 persen suara atau diadakan putaran kedua yang diikuti oleh peserta dengan perolehan suara terbanyak pertama dan kedua. Umumnya pemilu legislatif dan eksekutif di Amerika Latin juga berlangsung serentak dan tidak ada pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Pemberlakukan ambang batas pencalonan presiden juga didasari pemikiran bahwa ia akan meningkatkan kualitas demokrasi dan memperkuat sistem presidensial. Sebetulnya tidak jelas benar apa yang dimaksud dan bagaimana ambang batas pencalonan presiden berhubungan dengan penguatan sistem presidensial.
Umumnya yang dimaksud adalah dengan adanya ambang batas pencalonan presiden maka jumlah calon tidak akan banyak dan akan terbangun koalisi pendukung presiden yang kuat melalui ambang batas pencalonan presiden. Alasan ini sebetulnya lemah. Pertama, mengapa takut dengan calon yang banyak? Pemilu dalam demokrasi adalah arena kontestasi. Fungsinya bukan hanya untuk mencari siapa menang siapa kalah. Lebih dari itu, pemilu adalah sarana untuk melihat potensi dan kemungkinan munculnya calon-calon pemimpin alternatif. Maka, sebetulnya, makin banyak calon, makin baik. Rakyat kita sudah sangat berpengalaman mengikuti pemilihan umum. Mereka tahu apa yang mereka mau, secara umum. Fungsi institusi seperti DPR, pemerintah, dan peraturan perundangan adalah untuk memfasilitasi pelaksanaan hak memilih dan dipilih, bukan untuk membatasinya.
Kedua, konstitusi kita sudah cukup ketat membatasi pencalonan presiden. Hanya partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mengusulkan calon. Tidak diperbolehkan adanya calon independen. Kalaupun calonnya tetap banyak, konstitusi tegas mensyaratkan sistem dua putaran, untuk memastikan presiden terpilih didukung mayoritas (lebih dari 50 persen) masyarakat pemilih. Konsekuensi dari hal ini, partai-partai politik boleh melakukan koalisi untuk bergabung di putaran kedua. Ini akan menjamin kualitas demokrasi, karena di satu sisi, ia cukup menjamin kontestasi yang kompetitif, tapi disisi lain memastikan efektifitas dukungan politik dari rakyat dan dari partai politik kepada presiden yang terpilih.
Ketiga, pendukung pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden mungkin mengajukan alasan bahwa dengan ketentuan tersebut, maka akan terbangun koalisi yang lebih solid dan murni (apapun maknanya) untuk mendukung pemerintahan terpilih.
Alasan ini juga lemah. Kalau ada ambang batas pencalonan presiden, itu berarti partai-partai “terpaksa” berkoalisi, karena tidak ada pilihan bagi mereka. Atau partai-partai bisa juga berkolusi untuk menjegal pencalonan dari pihak lain. Semua manuver ini ada “harga”nya. Transaksi justru akan marak terjadi karena ada ambang batas pencalonan presiden. Dalam suasana sistem kepartaian kita yang tidak ideologis seperti sekarang, ambang batas pencalonan presiden justru menyuburkan transaksi untuk berkoalisi.
Ambang batas pencalonan presiden yang berlaku juga tidak menjamin akan adanya dukungan mayoritas bagi presiden di DPR, karena 20 persen kursi atau 25 persen suara itu bukan mayoritas. Kalau logika mencari mayoritas yang dipakai, seharusnya ambang batas pencalonan presiden bukan 20 persen tapi minimal 50 persen. Tapi, dalam kasus 2019 nanti, karena persentase yang dihitung adalah hasil Pemilu 2014, maka belum tentu total jumlah kursi partai pendukung presiden terpilih sama atau lebih tinggi dari jumlah kursi mereka di tahun 2014. Dan sekali lagi, koalisi untuk pilpres dan koalisi untuk menjalankan pemerintahan itu berbeda. Koalisi Jokowi di pilpres minoritas, tapi sekarang koalisinya super-mayoritas (69 persen kursi DPR).
Sebaliknya tanpa ambang batas pencalonan presiden, bukan berarti calonnya pasti banyak dan pasti tidak ada koalisi antar partai. Koalisi antar partai tetap sangat mungkin, karena banyak pertimbangan yang akan dipakai untuk menyesuaikan dengan dinamika politik yang terjadi. Koalisi tanpa ambang batas pencalonan presiden bila terjadi, justru adalah koalisi yang lebih murni, karena tidak didasari keterpaksaan untuk memenuhi ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Yang mau berkoalisi dan memiliki kesefahaman, akan berlanjut, yang tidak cocok juga tetap punya pilihan alternatif. Tidak ada keterpaksaan dan tidak ada penjegalan.
Dengan demikian, alasan yang menyatakan bahwa, ambang batas pencalonan presiden memperkuat sistem presidensial adalah alasanyang lemah.
Demikianlah keterangan dari saya. Semoga dapat menjadi masukan bagi Majelis Hakim Yang Mulia, dalam mengambil keputusan atas perkara ini.
Terimakasih.
Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh.
Jakarta, 14 November 2017
Djayadi Hanan, Ph.D.
Naskah ini juga dapat diunduh pada tautan berikut.