JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri khawatir akan risiko korupsi terhadap besarnya anggaran daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. “Berdasarkan hasil penelitian, dan praktik selama ini, pembiayaan pilkada yang dibebankan APBD ini adalah sebuah persoalan,” kata Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, kemarin. Dia pun mengusulkan agar pilkada serentak pada masa mendatang dibiayai oleh anggaran negara agar lebih mudah dikontrol.
Bahtiar mengatakan penyelewengan penggunaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk pilkada paling rawan terjadi pada pos-pos alokasi dana yang sulit dipertanggungjawabkan, misalnya biaya keamanan. “Aspek pembiayaan anggaran keamanan selama ini tidak terukur,” ujarnya.
Korupsi, kata dia, rentan terjadi sejak awal pembahasan anggaran pilkada oleh pemerintah daerah yang melibatkan dewan perwakilan rakyat daerah. Politikus DPRD berpotensi memanfaatkan momen penganggaran untuk kepentingan partai politiknya yang akan bertarung menjadikan calonnya sebagai pemenang pilkada.
Menurut dia, korupsi oleh elite politik lokal bukannya tidak mungkin dilakukan dengan mengintervensi penyelenggara pilkada. Bahtiar mencontohkan tiga pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banjar, Jawa Barat, yang diduga ikut dalam penyelewengan dana hibah daerah untuk pilkada serentak 2015 sehingga negara merugi Rp 10,61 miliar. Ada pula korupsi dana hibah Rp 3 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang diduga melibatkan Panitia Pengawas Pemilu setempat.
Pilkada serentak selanjutnya akan digelar pada 27 Juni 2018 di 171 daerah pemilihan. Sebanyak 17 provinsi bakal menggelar pemilihan gubernur, 39 kota memilih wali kota, dan 115 kabupaten memilih bupati. Total anggaran yang dibutuhkan untuk persiapan dan pelaksanaan pesta demokrasi lokal tersebut mencapai Rp 15,16 triliun.
Kebutuhan anggaran tersebut meningkat dibanding dua kali penyelenggaraan pilkada serentak sebelumnya. Pada pilkada 2015, bujet yang dibutuhkan hanya Rp 7,09 triliun untuk 269 daerah pemilihan. Sedangkan pemilihan di 101 daerah pada 2017 menelan biaya hingga Rp 5,95 triliun.
Hasil kajian Pusat Pembangunan dan Keuangan Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri menyimpulkan bahwa peningkatan anggaran pilkada paling banyak disumbang oleh biaya honorarium badan ad hoc penyelenggara pemilu serta biaya tahapan persiapan dan pelaksanaan. Ketua tim kajian, Siti Aminah, mengatakan ada lima faktor penyebab inefisiensi. “Yakni banyaknya kelompok kerja, kelompok kerja tidak permanen, standar harga berbeda, biaya pengadaan alat peraga dan bahan kampanye tidak rasional, dan tidak sesuainya jumlah tempat pemungutan suara dibandingkan dengan jumlah pemilih,” kata Siti.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menilai potensi penyimpangan terjadi sejak anggaran pilkada serentak direncanakan. Menurut dia, sumber pendanaan pilkada yang berasal dari APBD mengakibatkan ruang pengawasan longgar dan potensi kecurangan muncul. Terlebih, pembahasan anggaran dilakukan oleh DPRD, kepala daerah, dan KPU. “Di sini tarik-menarik kepentingan lokal akan muncul,” kata dia. Titi menilai potensi korupsi juga terjadi pada aspek pembiayaan logistik pilkada. Pada pos ini banyak ditemukan rapat koordinasi dan sosialisasi yang dapat dianggap mubazir.
Komisioner KPU, Pramono Ubaid, membenarkan bahwa tingginya biaya honorarium menjadi penyebab utama peningkatan anggaran pilkada serentak 2018. Dia juga tak memungkiri adanya potensi korupsi pada pemilihan tahun depan. Karena itu, menurut Pramono, KPU telah menerapkan katalog elektronik dalam pengadaan logistik, seperti surat suara, tinta, formulir, dan bilik. “Kami juga menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi, bagian pencegahan, termasuk untuk mengawasi penyedia jasanya,” kata Pramono. BUDIARTI UTAMI PUTRI | DANANG FIRMANTO
Sumber : https://koran.tempo.co/konten/2017/11/08/423702/Anggaran-Boros-Pilkada-Serentak-Rawan-Digarong