August 8, 2024

Antara Proporsional Terbuka dan Tertutup

Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai NasDem, Saan Mustopa menyampaikan bahwa ada dua alternatif sistem pemilihan anggota legislatif yang akan ditetapkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, yakni proporsional tertutup dan proporsional terbuka. Dua partai menginginkan proporsional tertutup, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Golongan Karya (Golkar). Lima partai mendukung proporsional terbuka, yaitu NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) belum menentukan sikap.

Saan mengutarakan argumentasi lima partai tetap memilih proporsional terbuka. Pertama, karena Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2009 ditafsirkan menghendaki proporsional terbuka. Kedua, bermaksud menghindari oligarki partai dan memberikan kedaulatan rakyat untuk memilih calon.

“MK pada 2009, kan gabungan. Caleg yang mencapai 30 persen BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan), maka dia tidak mengacu nomor urut. Tapi kalau tidak ada calon yang memenuhi BPP, maka ditentukan berdasarkan nomor urut. Nah ini di-judicial review, akhirnya menjadi sistem proporsional terbuka seperti hari ini,” kata Saan pada webkusi “Kemana Arah RUU Pemilu”, Minggu (7/6).

Di sisi lain, dua partai besar menghendaki perubahan ke proporsional tertutup dengan tujuan memperkuat peran partai politik.

Tak ada aturan demokratisasi rekrutmen calon

Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muchamad Nurhasim menyayangkan RUU Pemilu tak mengatur secara jelas demokrasi internal partai dalam rekrutmen calon anggota legislatif (caleg). RUU Pemilu masih menyerahkan mekanisme demokrasi internal kepada Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga (ART) partai.

“Kalau ini yang terjadi, ini akan mengokohkan kritik yang selama ini muncul, bahwa proporsional tertutup akan menciptakan oligarki partai yang kuat. Kalau tidak diatur rigid bagaimana proses kandidasinya, akan menguntungkan orang-orang yang kuat,” pungkas Hasim pada diskusi yang sama.

Jika tidak didetilkan di UU, maka peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mesti mengaturnya. Tak boleh terjadi praktik pemilihan caleg oleh orang-orang kuat di partai.

MK tak membatasi varian sistem proporsional

Hasim kemudian menjelaskan bahwa MK tidak membatasi varian tertentu dalam sistem proporsional. Putusan MK tahun 2009 yang disebut oleh Saan, menurut Hasim, tidak bermaksud menyatakan sistem proporsional terbuka sebagai satu-satunya varian sistem proporsional yang konstitusional. MK hanya memberikan kepastian mengenai sistem pemilu legislatif yang kala itu proporsional setengah terbuka.

“Dalam pandangan saya, yang bisa dikunci itu adalah proprosionalnya, bukan variannya, tertutup atau terbuka. Agar MK juga tidak menjadi dewa dalam menafsirkan sistem pemilu. Agar tidak hanya yang terbuka yang dikatakan boleh, yang tertutup tidak. Padahal, dua-duanya punya kelemahan dan kelebihan,” urai Hasim.

Hasim merekomendasikan agar dalam penentuan sistem proporsional tertutup atau terbuka, para pihak menimbang banyak hal, seperti varian mana yang lebih dapat mengatasi politik uang, yang memberikan insentif konsolidasi partai, dan yang memiliki hubungan dengan sistem kepartaian.

“Kepentinganya bukan semata-mata bagi partai dan publik, tapi bagi kemaslahatan demokrasi kita. Ada banyak variabel yang harus diuji,” tukasnya.

Ia juga menyinggung soal argumentasi para pendukung proporsional terbuka, yakni bahwa proporsional terbuka memungkinkan pemilih memilih caleg di luar caleg bernomor urut 1,2, dan 3. Pasalnya, hasil riset Pemilu 2019 menunjukkan, 63 persen pemilih memilih nomor urut 1.

“Gagasan bahwa proporsional terbuka akan mendekatkan calon dengan pemilih, narasi itu tidak terbentuk. Karena proses-proses politik kandidasi dan penyiapan kader oleh partai tidak dilakukan jauh hari,” tuturnya.

Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustiyati tak menyatakan penolakan terhadap proporsional tertutup. Namun, ia mengatakan jika hendak menerapkan varian tersebut, partai politik harus menjelaskan kepada pemilih mekanisme rekrutmen caleg di internal partai, alasan caleg tertentu ditempatkan di nomor urut 1,2,3 dan seterusnya, serta latar belakang caleg.

“Kami tentu perlu diyakinkan, misalnya dengan sistem proporsional tertutup, apakah kehawatiran kita nantinya akan beli kucing dalam karung tidak ada,” ucap Khoirunnisa.