Pilkada serentak gelombang III pada 27 Juni 2018 yang digelar di 171 daerah otonom (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota) usai sudah.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tersebut menyusul keberhasilan pelaksanaan pilkada serentak gelombang II pada 15 Februari 2017 di 101 daerah otonom (7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota), dan pilkada serentak gelombang I di 269 daerah otonom (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota) pada 9 Desember 2015. Akan tetapi, tahapan penataan pilkada kita sesungguhnya belum berakhir. Masih panjang jalan yang harus ditempuh.
Ketiga gelombang pilkada serentak itu merupakan jembatan menuju pilkada serentak nasional pada November 2024 di 541 daerah otonom (33 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota). Hanya di Provinsi DI Yogyakarta, gubernur/wakil gubernur cukup melalui penetapan oleh DPRD dari Sultan HB/Pakualam yang bertakhta (UU No 13/2012). Bahkan, ujungnya adalah pemilu lokal tahun 2027.
Sebelum pilkada serentak nasional 2024, masih ada satu gelombang pilkada lagi yang dilaksanakan, yakni pada 2020, di 269 daerah otonom dengan masa jabatan kepala daerahnya sekitar empat tahun. Pilkada serentak nasional 2024 diprediksi penuh kompleksitas persoalan. Sebab, jadwalnya dekat sekali dengan pileg dan pilpres serentak pada April 2024, terpaut tujuh bulan saja. Tentu hal ini akan merepotkan, bukan hanya bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku penyelenggara, juga bagi partai politik, pemilih, dan pemerintah sebagai fasilitator, khususnya dalam menyiapkan berbagai dukungan, termasuk menempatkan para penjabat kepala daerah (Kompas, 27/6/2018).
Lebih jauh lagi, Mahkamah Konstitusi sebagai penyelesai sengketa hasil pilkada pun bisa kelabakan karena membeludaknya perkara. Efisiensi demokrasi yang dicita-citakan melalui pemilihan serentak pun tak akan terjadi. Biaya yang dikeluarkan pemerintah tetap mahal karena dua kali menggelar pemilihan di tahun yang sama. Kejenuhan masyarakat dalam memilih tak akan teratasi karena dalam tempo tujuh bulan mereka sudah harus balik lagi nyoblos ke TPS. Begitu pula kegaduhan politik tidak akan berkurang, dan sinkronisasi perencanaan pembangunan pusat-daerah bakal kembali gagal diwujudkan. Lalu, bagaimana sebaiknya pilkada kita ke depan? Menciptakan pilkada yang bermutu memang tak bisa sekali jadi. Karena itu, perlu kembali penyempurnaan regulasi UU Pilkada (UU No 10/2016).
Asal-usul
Pilkada serentak merupakan usul pemerintah ketika membahas RUU Pilkada di DPR, tahun 2014. Ia berpijak pada kegelisahan satu dekade pilkada langsung (2005-2014), di mana pilkadanya diadakan setiap tiga hari sekali karena akhir masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah di Indonesia tidak sama. Akibatnya, biaya pilkada jadi mahal, tingkat partisipasi pemilih cenderung turun, dan terjadi hiruk-pikuk politik lokal tanpa henti.
Usul pemerintah itu didukung publik dan disetujui Dewan, terutama karena secara empiris terbukti sangat efisien, mampu menekan biaya penyelenggaraan hingga 60 persen ketika dilaksanakan di Aceh (18 daerah dan 1 provinsi) tahun 2012 dan di Sumatera Barat (12 daerah kabupaten/kota dan 1 provinsi) tahun 2010.
Namun, dalam praktik tiga gelombang penyelenggaraan pilkada ternyata biayanya tetap besar. Sebab, pilkada gubernur dengan pilkada bupati dan wali kota belum total bersamaan, di samping adanya komponen biaya baru yang wajib dikeluarkan negara, seperti untuk biaya kampanye kandidat. Ke depan, kalau pilkada serentak nasional sudah berjalan, efisiensi tentu akan terjadi. Lebih-lebih jika dana pilkada tak lagi bersumber dari APBD yang cenderung boros, tetapi dari APBN, sehingga lebih terkontrol. Penghematan pun akan lebih signifikan jika masa jabatan kepala daerah ditambah setahun: dari lima jadi enam tahun. Penambahan lama masa jabatan juga bermanfaat agar kepala daerah lebih banyak waktu mengurus masyarakat, bukan sibuk mengurus pilkada.
Kalau semata-mata ingin mengejar demokrasi elektoral yang efisien, kemudahan penyelenggaraan, kenyamanan pemilih, kesatuan derap langkah perencanaan pembangunan, dan ketenangan politik yang relatif panjang sekitar empat tahun, maka pilkada serentak nasional November 2024 seyogianya disatukan saja dengan pileg dan pilpres, April 2024. Jadi, Indonesia hanya punya satu kali pemilu dalam waktu lima tahun, dan yang terpenting lebih banyak waktu mengurus masyarakat. Perhelatan pemilu nasional dilakukan serentak dengan pemilu lokal. Bisa dinamai ”Pemilu 7 Kotak Suara”, yaitu memilih presiden, gubernur, bupati/wali kota, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Untuk memudahkan petugas dan pemilih dalam pemungutan dan penghitungan suara, jumlah pemilih di TPS dikurangi, tak sebanyak sekarang, sehingga pemungutan-penghitungan suara tetap selesai dalam satu hari (one day election). Lebih bagus lagi jika kita menerapkan e-voting atau setidaknya e-counting.
Kelemahan one day election ini terletak pada terimpitnya isu-isu lokal oleh isu-isu nasional, tidak adanya kesempatan rakyat untuk mengkaji ulang kinerja parpol dan aktor politik dalam memerintah karena tidak ada pemilu sela, beratnya beban lembaga penyelenggara pemilu, membeludaknya penyelesaian sengketa hasil pemilu di MK, dan penanganan keamanan.
Penguatan demokrasi lokal
Karena itu, guna menutup kelemahan one day election adalah dengan membelah pemilihan menjadi dua bagian. Pertama, pemilu nasional pada bulan April 2024 untuk memilih presiden, anggota DPR dan DPD (Pemilu 3 Kotak Suara). Kedua, pemilu lokal pada April 2027, tiga tahun setelah pemilu nasional untuk memilih gubernur, bupati/wali kota, anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota (Pemilu 4 Kotak Suara). Pemilihan seterusnya digelar secara terpisah sesuai siklus pemilu.
Format pemilihan yang terakhir ini lebih memberikan tempat bagi penguatan otonomi daerah dan demokrasi lokal. Pemilihan anggota DPRD tidak dicampur lagi dengan pemilihan DPR dan DPD, tetapi serempak dengan pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Selain itu, ada jeda tiga tahun untuk persiapan semua pemangku kepentingan menghadapi pemilu. Buat pemilih sendiri, pemilihan lokal bisa menjadi momentum untuk mengkaji ulang kinerja parpol dan aktor politik yang mereka pilih pada pemilu nasional.
Namun, risikonya masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilu nasional April 2024 hanya tiga tahun, yaitu sampai 2027. Gelombang pilkada serentak mesti ditambah dua kali lagi: tahun 2022 di 101 daerah dengan masa jabatan tepat lima tahun, dan 2023 di 171 daerah dengan masa jabatan empat tahun. Sementara 269 daerah yang mengikuti pilkada serentak 2020 pada Desember tahun 2025 tidak diadakan pilkada, tetapi diangkat penjabat kepala daerah selama setahun sampai dilantiknya kepala daerah hasil pemilihan pada April 2027.
Pemisahan pemilu nasional dengan lokal sebetulnya merupakan sasaran akhir dari penataan pilkada yang diimpikan sejak lama untuk menyederhanakan pemilu di Indonesia (Depol Wapres RI, 2006). Pilkada serentak hanyalah sasaran antara. Karena itu, seyogianya pemerintah segera mengajukan perubahan UU No 10/2016 tentang Pilkada ke DPR.
Djohermansyah Djohan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri RI (2010-2014); Guru Besar IPDN