August 8, 2024

10 Anggota DPR RI Ini Telah Duduk di DPR RI Sejak 1999 (Bagian Dua)

Selain Muhaimin Iskandar, Irmadi Lubis, Trimedya Panjaitan, M Guruh Irianto Sukarno Putra, dan Mindo Sianipar, terdapat lima anggota DPR RI lain yang telah duduk di DPR RI sejak 1999. Lima orang tersebut yakni sebagai berikut.

I Made Urip

I Made Urip adalah mantan guru. Ia mengajar di Sekolah Menengah Umum (SMU) di Bali dan juga mengajar di lembaga Teknos Denpasar. I Made Urip lulus S1 dari

I Made Urip pernah bergiat di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Ia saat ini berusia 62 tahun.

Serupa dengan rekan PDIPnya, I Made Urip sempat dipanggil KPK untuk menjadi saksi dari tersangka Sarjan Taher atas kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan di Tanjung Api-Api, Banyuasin, Sumatera Selatan.

Agun Gunandjar Sudarsa

Agun merupakan mantan pegawai negeri, dosen di AKIP. Pusdiklat Departemen Kehakiman Tangerang selama sebelas tahun. Sebelumnya, ia bekerja sebagai pegawai di Lembaga Permasyarakatan Kelas I Tangerang pada 1982-1984.

Selagi menjabat sebagai anggota DPR RI, Agun menamatkan dua tingkat pendidikan, yaitu S2 Kriminologi Universitas Indonesia dan S3 jurusan Administrasi Pembangunan di STIA LAN Jakarta.

Agun telah menjadi anggota DPR RI sejak sebelum Pemilu 1999. Ia mewakili dapil Jawa Barat X yang meliputi wilayah Ciamis, Banjar, Pangandaran dan Kuningan sejak 1997. Kala itu, Agun masuk melalui jalur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena Agun merupakan anak tentara yang tergabung dalam Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI).

Pada masa peralihan ke Reformasi, Agun meninggalkan jabatan pegawai negeri dan bergabung dengan Partai Golkar.

Selama berkantor di DPR RI, Agun pernah ditempatkan di berbagai komisi. Ia adalah Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI tahun 2009-2011, juga merupakan Ketua Panitia Khusus (Pansus) hak angket KPK.

Pada 2017, Agun diperiksa KPK dan dihadirkan dalam sidang kasus e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sebagai saksi untuk tersangka Setya Novanto. Agun masuk dalam daftar 38 orang penerima suap e-KTP yang disusun oleh jaksa KPK, dan namanya juga disebut oleh Setyo Novanto dalam nota pembelaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 13 April 2018. Namanya juga muncul dalam surat dakwaan dua terdakwa korupsi e-KTP mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman dan Sugiharto. Agun diduga menerima uang sebanyak US$ 1,047 juta dari pengusaha Andi Narogong pada 2010 agar menyetujui anggaran proyek pengadaan dan penerapan e-KTP.

Dari pengakuan Agun, ketika proyek e-KTP berjalan, Agun bertugas sebagai pengawas proyek. Namun, ia tak ikut dalam proses pembahasan proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Agun juga mengaku tak mengenal Andi Narogong dan tak menikmati uang darinya.

Ferdiansyah

Sebelum menjadi dosen, laki-laki  berusia 65 tahun ini bekerja di beberapa perusahaan sebagai pegawai. Ia pernah menjadi staf personalia di PT. Kresna Duta Satria Utama (1989 – 1992) hingga Manager Personalia dan Umum di PT. Bima Intankencana (Holding) pada 1995- 1999. Ia kemudian menjadi dosen di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Muhammdiyah Jakarta selama dua tahun (1998-2000).

Sama seperti Agun Gunandjar, Ferdiansyah juga merupakan anak purnawirawan TNI. Ia bergabung dalam organisasi FKPPI. Di FKPPI, Ferdiansyah pernah menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat (1990-1993) dan Ketua Pengurus Pusat (1998-2003). Ia juga pernah menjadi Ketua Dewan Pengurus Pusat KNPI tahun 2002-2005.

Ferdiansyah pernah dipanggil KPK untuk menjadi saksi dari tiga tersangka kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan serta Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Kabupaten Bogor, pada 2013, yakni Andi Mallarangeng, Deddy Kusdinar, dan Teuku Bagus Muhammad Noer. Sebagai anggota Komisi X, Ferdiansyah dinilai mengetahui proses anggaran proyek Hambalang senilai Rp2,5 triliun.

Firman Soebagyo

Firman adalah seorang pengusaha. Ia Direktur PT. Manggala Group (1983 – 1993). Firman lulusan SMA Bopkri Kabupaten Pati tahun 1972. Sama seperti Agun Gunandjar, Firman telah duduk di DPR RI sejak 1997.

Di periode keempatnya sebagai anggota DPR RI, Firman menjadi anggota Komite tetap penghubung antara DPR RI dengan KADIN. Ia juga Wakil Ketua Badan Legislasi 2014-April 2018, dan pernah menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK.

Firman pernah mendapatkan beberapa penghargaan. Diantaranya, Coastal Award 2014 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Best Legislator Award dari Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Tengah tahun 2018 dan 2019.

Dalam penelusuran isu korupsi, rumahpemilu.org tak menemukan adanya artikel yang memberitakan kasus korupsi yang mengaitkan Firman. Namun, terekam dalam berbagai berita online bahwa Firman menentang aturan larangan bagi mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai caleg yang diatur oleh KPU dalam Peraturan KPU. Alasannya, melanggar hak asasi manusia.

Muhidin Mohamad Said

Muhidin tercatat pernah menjabat sebagai komisaris utama di empat perusahaan, yaitu PT.Sarana Ventura Sulawesi Tengah, PT.Bhakti Kencana Mandiri (perusahaan yang bergerak di bidang barang galian bukan logam), PT.Sarana Perumahan, dan PT.Bhakti Baru Rediapratama, perusahaan kontraktor.

Seperti Agun Gunandjar dan Firman Soebagyo, Muhidin telah menjadi anggota DPR RI sebelum Pemilu 1999. Ia merupakan anggota MPR RI utusan daerah Sulawesi Tengah pada 1992-1999.

Muhidin rajin bergiat di organisasi. Pada 1982-1985, ia menjadi Ketua DPD KNPI. Di waktu yang sama, ia merupakan Bendahara Umum HMI Cabang Palu. Lalu pada 1984-1990, ia Ketua BPD Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi). Ia juga Ketua HIPMI Sulawesi Tengah (1987-1991).

Muhidin pernah diberitakan diduga terkait isu korupsi di tiga kasus. Pertama, kasus korupsi kolam renang berstandar internasional di Bukit Jabal Nur, Palu Timur. Nama Muhidin disebutkan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah sebagai salah satu dari tujuh tersangka kasus korupsi. Muhidin disebut terlibat kasus korupsi karena dirinya yang menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dengan perusahaan miliknya, PT Bhakti Baru Rediapratama Palu. Proses proyek tersebut disebut tanpa melalui proses lelang, tak sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.

Muhidin menyangkal tuduhan korupsi dan mengatakan dirinya telah ditipu oleh Ketua DPRD Sulawesi Tengah, Murad U Nasir. Muradlah yang membuat MoU dan juga turut menandatangani MoU tersebut. Proyek kolam renang ini didanai oleh dana APBD sebesar 16,5 miliar rupiah. Pembangunan kolam renang mangkrak selama 10 tahun sejak mulai dibangun pada 2004 oleh anak Muhidin yang menjalankan perusahaan miliknya.

Kedua, kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan jalan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016 di Maluku. Muhidin diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka Amran Hi Mustary. Muhidin saat itu Wakil Ketua Komisi V DPR RI, dan kasus suap tersebut telah menjerat tiga anggota DPR di Komisi V, yang masing-masing menerima suap hingga miliaran rupiah dari Direktur PT Windu Tunggal Utama, Abdul Khoir.

Dalam pemeriksaan selama hampir 7 jam oleh KPK, Muhidin membantah adanya pertemuan antara Kapoksi Fraksi dengan Kementerian PUPR. Pertemuan ini diakui oleh Abdul Khoir dalam surat tuntutannya, dan dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR, Taufik Widjojono.

Ketiga, nama Muhidin juga muncul diantara nama-nama anggota Komisi V yang disebut oleh Wakil Direktur Keuangan Permai Group, Yulianis, saksi kunci kasus korupsi Wisma Atlet, sebagai orang yang kecipratan uang dari proyek-proyek Nazaruddin. Pemberian uang kepada Muhidin dikatakan Yulianis ditujukan untuk memuluskan anggaran proyek bagi Permai Group di Kementerian Perhubungan. Uang tersebut dicatat sebagai uang support.

Permai Grup merupakan perusahaan milik Nazaruddin. Perusahaan ini menerima proyek-proyek yang bersumber dari APBN. Yulianis tercatat memiliki kuasa untuk menerima dan menyimpan uang dalam tiga brankas Permai Group, serta memegang catatan keuangan khusus.