November 15, 2024

Bawaslu Bukan Badan Penafsir Peraturan Perundang-undangan

Pemilihan Umum Sebagai sebuah sarana membutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan setiap urusan pemilihan umum. Adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang kemudian disusul dengan otonomnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), serta dibentuknya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), yang merupakan lembaga utama yang mengurusi penyelenggaraan pemilihan umum.

Dengan kata lain, di luar ketiga kanal institusional tersebut (KPU, Bawaslu, dan DKPP), tidak boleh ada institusi lain yang mengkanalisasi urusan pemilihan umum. Kecuali, ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan.

Sebaliknya, jika terdapat urusan yang secara normatif-konstitusional bukan tugas dan kewenangan ketiga institusi pemilu tersebut, maka tidak dapat dibenarkan oleh hukum jika terdapat perilaku ketiga lembaga tersebut yang tidak mencerminkan domain tugas, kewenangan, maupun fungsinya selaku penyelenggara pemilu.

Bawaslu, pengawas sekaligus pemutus sengketa

Bawaslu adalah Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum yang mengawasi proses penyelenggaraan pemilihan umum. Grand design Bawaslu bisa dilihat di Undang-Undang nomor 7 tahun 2017.

Setidaknya terdapat 5 (lima) kelompok tugas Bawaslu. Pertama, mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu. Kedua, melakukan penindakan hukum administrasi, etik, dan pidana pemilu. Ketiga, melakukan pencegahan. Empat, mengawasi putusan/keputusan yang berkenaan dengan penyelengaaraan pemilu. Dan kelima, mengadili sengketa proses pemilu.

Dilihat dari pengelompokkan tugas tersebut, Bawaslu selain sebagai lembaga pengawas, juga berlaku ganda sebagai (hakim) pemutus penyelesaian sengketa proses pemilu. Standar ganda tersebut dilihat dari kemanfaatannya, akan memperkuat Bawaslu secara kelembagaan.

Tetapi bisa jadi, ancaman demokrasi hadir jika kewenangan ganda tidak digunakan secara ikhtiyat (hati-hati). Bawaslu bisa terjun bebas ke pusaran politik hokum. Keadaan justru menjadi liar dan cenderung sewenang-wenang.

Larangan nyaleg mantan napi korupsi, sah atas hukum

Paska diundangkan 16 Agustus 2017, UU 7/2017 mensyaratkan, Pemilihan umum akan dilaksanakan  untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, yang diselenggarakan secara nasional dan serentak. Untuk mengoperasionalkan penyelenggaraan pemilu tersebut, maka KPU sebagai institusi teknis penyelenggara pemilu, membentuk produk hukum berupa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang akan dijadikan sebagai landasan operasional UU No.7/2017.

Karenanya, KPU tidak boleh menyelenggarakan urusan pemilihan umum yang tidak dapat di operasionalisasikan melalui PKPU. Dengan kata lain, segala aspek prinsipal yang ada maupun aspek prosedural yang diatur didalam PKPU mesti dijalankan sebagai sebuah perintah instruksional Undang-Undang a quo.

Terbitnya PKPU No. 14/2018 juncto PKPU No. 20/2018, membuat setiap bakal calon anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota, terhalang haknya untuk dapat mencalonkan/dicalonkan sebagai calon anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Larangan tersebut merupakan implikasi dari pembatasan prinsipal-administratif syarat calon.

Oleh KPU sendiri misalnya, dalam beberapa kesempatan di media, menyatakan bahwa pembatasan hak untuk dipilih yang diatur dalam PKPU a quo merupakan spirit dari penyelenggara teknis pemilu tersebut untuk mensukseskan lahirnya agenda pemilu yang berintegritas. KPU khawatir agenda pemilu berintegritas dapat tercederai oleh kehadiran para mantan napi korupsi sebagai kontestan dalam perhelatan Pemilu 2019.

Lantas bagaimana dengan pengaturan pembatasan hak (di)pilih dalam jabatan publik/pemerintahan? Secara konstitusional, hanya pengadilanlah yang berhak memustuskan apakah seseorang berhak dicabut hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam pemilu ataukah tidak.

Artinya bahwa, pembatasan atau pencabutan hak politik seseorang dalam pemilu sebagaimana tertuang dalam PKPU No. 14/2018 jo PKPU No. 20/2018 merupakan sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No.42/PUU-XVIII/2015 jo No.51/PUU-XIV/2016. Akan tetapi, terlepas dari adanya debatable terkait pembatasan hak pilih tersebut, dan terlepas adanya alasan argumentasional yang diajukan oleh KPU, fakta hukumnya ialah argumentasi KPU dibenarkan oleh PKPU a quo miliknya sendiri.

Singkatnya, suka atau tidak suka, kontroversi ataupun tidak, PKPU No. 14/2018 jo PKPU No. 20/2018 telah diundangkan Negara. Semua ini dinyatakan sah dijadikan instrumen hukum teknis penyelenggaraan tahapan pencalonan Pemilu 2019.

Putusan sengketa proses pemilu yang offside

Baru-baru ini Bawaslu dalam hal ini Panwaslu Toraja Utara dalam Putusan No.001/PS/SN.20/VII/2018 (sumber: rumahpemilu.org),  yang pada prinsipnya menerima gugatan pemohon untuk memerintahkan KPU agar meluluskan seorang mantan napi korupsi atas nama Joni Kornelius Tondok calon legislatif dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, yang sebelumnya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) oleh KPU Toraja Utara. Bahkan di dalam Putusannya, Panwaslu Toraja Utara mendaku bahwa PKPU No. 20/2018 tidak bisa dijadikan dasar oleh KPU karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang dan UUD 1945.

Pertimbangan Panwaslu yang demikian ini, diukur dan ditelisik dari standar kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU No. 7/2017, tidak satupun norma a quo yang ikut membenarkan sikap lembaga pengawas  itu. Bawaslu (Panwaslu) tidak boleh menyatakan secara hukum bahwa suatu norma Peraturan di bawah Undang-Undang bertentangan dan/atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang, apalagi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ditinjau dari kewenangannya sebagai judge pemutus sengketa proses pemilu, Bawaslu juga tidak diperintahkan oleh UU No. 7/2017 untuk memberi tafsir (in)konstitusional, atau memberikan interpretasi baku suatu norma PKPU terhadap Undang-Undang atau bahkan UUD 1945. Alhasil, sikap Bawaslu yang berlaku sebagai interpretator teks suatu norma PKPU, sesungguhnya telah melampaui (offside) dari kewenangan Bawaslu sebagaimana telah diatur secara tegas di dalam Pasal 95 UU No. 7/2017.

Bawaslu harus menyadari batas-batas dari garis kewenangannya. Bawaslu tidak boleh memperlakukan dirinya sebagai penafsir tunggal (interprertator) teks norma PKPU terhadap Undang-undang. Jika tak mengindahkan, Bawaslu jelas telah melewati garis batas kewenangannya sendiri (UU 7/2017).

Anarkistis putusan

Perdebatan paling berujung yang kerap mencuat ketika Bawaslu menegaskan sikapnya baik melalui media sosial maupun yang teranyar melalui Putusan Panwaslu Toraja Utara a quo, ialah apakah Bawaslu dalam menyidangkan sengketa proses pemilu, tidak boleh memberikan penilaian terhadap pelaksanaan tahapan yang dilakukan oleh KPU? Tentu saja boleh, bagaimana mungkin Bawaslu ketika menuliskan putusannya, tidak memberikan penilaian terhadap perbuatan KPU (tahapan).

Jika Bawaslu menganggap bahwa pemberlakukan suatu teks norma oleh KPU ternyata merugikan secara formil maupun materil peserta pemilu, dan harus dinilai sebagai perbuatan melawan hukum, bagi penulis itu sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum oleh Bawaslu itu sendiri. Akan tetapi, jika Bawaslu memandang bahwa berlakunya suatu Norma didalam PKPU merugikan peserta pemilu, dan Bawaslu berpendapat hokum bahwa norma a quo bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi, maka disinilah letak kekeliruan terbesar Bawaslu.

Sebab, norma di dalam PKPU berikut penjelasannya, merupakan hak prerogative KPU itu sendiri sebagaimana dimandatkan oleh UU No.7/2017. Di mana KPU dalam menjalankan tugasnya, dapat membentuk PKPU. Pencarian dan penemuan kebenaran hukum oleh Bawaslu dalam sidang sengketa proses hanya menilai apakah KPU sudah melaksanakan prosedur sesuai dengan PKPU atau tidak, bukan malah melakukan penilaian dan interpretasi bahwa PKPU bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Di sinilah benang merah antara kewenangan putusan sengketa proses oleh Bawaslu dan kewenangan putusan lembaga peradilan lain. Jelas bahwa, telah terjadi ambiguitas tafsir yang tentu saja membuat putusan sengketa menjadi liar, tak terkendali, semau-maunya, bermuara pada anarkisitis putusan, yaitu situasi di mana Bawaslu memutuskan suatu perkara di luar kendali otoritas yang dimandatkan Undang-undang a quo.

Jika Bawaslu tetap kokoh pada posisi yang demikian (interpretator norma), dapat dipastikan Bawaslu dengan sadar sedang mempertontonkan hukum pemilu yang anarchy. Bahkan, Bawaslu berupaya menyamai peradilan sekelas Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi yang memiliki dasar konstitusionalitas dalam menafsirkan suatu teks norma terhadap peraturang perundang-undangan yang lebih tinggi.

Terhadap hal ini, dipadanankan ke UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka Bawaslu tidak disebutkan (eksplisit atau implisit) sebagai badan Negara yang dimandatkan untuk menilai/menyatakan suatu norma. Artinya, sikap Bawaslu bertentangan.

Kesimpulan

PKPU No. 14/2018 dan PKPU No. 20/2018 merupakan tanggung jawab hukum KPU, bukan tanggungjawab hukum Bawaslu. Dalam artian, segala implikasi dari pelaksanaan kententuan tersebut sepenuhnya berada pada domain KPU.

Kewenangan Bawaslu dalam konteks memeriksa, mengkaji, dan memutuskan suatu perkara sengketa proses pemilu, yang memiliki kaitan terhadap adanya perbuatan KPU yang merugikan peserta Pemilu 2019, haruslah dikontektualisasikan berdasarkan tugasnya dalam mengawasai jalannya tahapan pemilu, bukan memberikan interpretasi bertentangan atau tidak bertentangan, konstitusional ataukah inkonstitusional.

Kemudian, untuk menyatakan suatu norma di dalam PKPU bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau tidak bertentangan, maka kewenangan hukumnya berada di lembaga yudisial. Dalam konteks ini kewenangan berada di Mahkamah Agung, bukan Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, maupun Bawaslu/Panwaslu Kabupaten/Kota. Bawaslu bukanlah Badan yang dibentuk untuk memberikan interpretasi relative-absolut atas suatu teks norma PKPU terhadap Undang-undang dan/atau UUD 1945.

Sebagai penutup, setiap rumah memiliki halamannya masing-masing, jangan sampai Bawaslu dinilai merebut atau yang paling ekstrim dianggap menyerobot halaman kewenangan orang/lembaga lain. Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu. Wallahu a’lam bishawaf. []

AHMAD ISKANDAR ZULKARNAIN

Pegiat Pemilu, Peneliti di Puspaham Sulawesi Tenggara