Koalisi Masyarakat Selamatkan Pemilu menghimbau, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyikapi permasalahan administrasi dan pidana pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus berpegang pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain menjaga konstitusional pemilu, Putusan MK akan menyelamatkan Pemilu 2019 dari ketakpastian hukum serta ketakpercayaan proses dan hasil pemilu.
“KPU sudah berpegang pada Putusan MK sebagai pilihan hukumnya. Bawaslu dan OSO harus menerima ini sebagai kepatuhan terhadap hukum dan konstitusi,” kata direktur Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi dalam diskusi media di Jakarta Pusat (30/12).
Putusan MK yang dimaksud Veri adalah Putusan No. 30/PUUXVI/2018. Hakim MK menegaskan, pengurus partai politik dilarang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), termasuk untuk Pemilu 2019.
Koalisi mengingatkan Bawaslu untuk konsisten berpegang pada Putusan MK dalam kewenangan pengadilan pemilu. Sebelumnya, di tahap daftar calon sementara (DCS) Bawaslu sudah memutuskan OSO tak memenuhi persyaratan karena statusnya sebagai Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Pengupayakan hukum kembali oleh OSO di tahap daftar calon tetap (DCT) melalui Bawaslu pun seharusnya menghasilkan putusan tak memenuhi syarat bagi OSO sebagai calon anggota DPD.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan, Undang-undang No.7/2017 tentang Pemilu tak sesuai dijadikan dasar penyelesaian sengketa pencalonan OSO melalui Bawaslu. “Pasal yang dipakai itu untuk kepesertaan partai politik, bukan DPD,” kata Feri.
Pasal 180 Ayat (2) bertuliskan, Dalam hal Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sehingga merugikan atau menguntungkan partai politik calon Peserta Pemilu, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Mempidanakan komisioner KPU
Feri menduga, istilah kesengajaan atau kelalaian anggota KPU mau dikuatkan oleh pihak OSO melalui pempidanaan. Tapi yang harus diingat, dasar hukum tak sesuai bukan hanya perbedaan kepesertaaan antara partai politik dan DPD tapi juga perbedaan ranah pidana umum dan pidana khusus pemilu.
Upaya mempidanakan komisioner KPU oleh pihak OSO tak tepat jika langsung ke jalur kepolisian yang biasa berlaku bagi pidana umum. Pidana pemilu, jika pun terdapat pelanggaran pidana oleh komisioner KPU, merupakan ranah pengadilan khusus pemilu yang prosesnya menyertakan jalur kelembagaan Bawaslu dengan unit Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
“Tak bisa langsung mempidanakan komisioner KPU melalui Kepolisian. Pidana pemilu harus melalui Bawaslu dan Gakkumdu,” tegas Feri.
Koalisi pun mengingatkan, jangan sampai permasalahan hukum pemilu pada 2018 dibulatkan dengan putusan hukum Bawaslu yang membuat Pemilu 2019 menjadi bermasalah di awal tahun hingga berakhirnya tahapan. Berpegang pada Putusan MK berarti berpegang pada substansi demokrasi hasil Reformasi yang dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945 dan undang-undang pemilu.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta mengingatkan, Putusan MK sudah tepat. Menurutnya, MK menegaskan, DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang membedakan dengan DPR yang mewakili jumlah penduduk melalui pencalonan partai politik.
Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menekankan, Putusan MK yang harus dipegang Bawaslu akan menjamin agenda profesionalitas dewan di parlemen. Jika OSO berhasil menjadi calon anggota DPD bukan hanya agenda Reformasi yang diingkari mengenai perbaikan kelembagaan parpol, DPR, dan DPD tapi juga kepastian hukum itu sendiri. []
USEP HASAN SADIKIN