Pelaksanaan kampanye Pilkada 2024 diwarnai oleh ujaran seksis dan nuansa kekerasan berbasis gender secara verbal yang dilontarkan peserta dalam sejumlah kesempatan. Peserta pilkada yang melakukan kekerasan berbasis gender baik verbal maupun fisik hanya melihat perempuan sebagai objek politik demi mendulang suara.
Di antara bentuk kekerasan itu disampaikan oleh Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, Suswono, yang melontarkan ide pernikahan antara janda kaya dan pemuda pengangguran. Kemudian, Calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah juga melontarkan bahwa perempuan jangan diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur.
Hingga adanya baliho bernada seksis dari pasangan calon bupati dan wakil bupati Sleman, Harda Kiswaya-Danang Maharsa yang bertuliskan ‘Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang’ yang berarti ‘Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria’.
Dalam studi yang dilakukan Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, Kalyanamitra, ditemukan bahwa pelaku kekerasan berbasis gender tidak hanya dilakukan oleh aktor politik yang maju dalam kontestasi Pilkada, namun juga pemangku kebijakan pemilu hingga kelompok sosial.
Studi yang dilakukan di Aceh, DKI Jakarta, Makassar dan Ambon ini menemukan bahwa kekerasan berbasis gender tidak hanya berbentuk verbal namun juga intimidasi demi perolehan suara hingga kekerasan dalam ranah privat yang terjadi selama masa Pilkada 2024.
Menanti Sanksi Tegas Bawaslu, Bukan Cuma Gertakan
Sekretaris Jenderal Komisi Independen Pemantau Pemilu, Kaka Suminta, meminta Bawaslu untuk bersikap tegas terhadap para peserta Pilkada 2024 yang melakukan kekerasan berbasis gender secara terbuka di hadapan publik.
Menurutnya, di masa kampanye ini, Bawaslu bukan lagi melakukan mitigasi, namun evaluasi dan lebih berani melakukan teguran keras kepada siapapun peserta pilkada yang melakukan kekerasan berbasis gender.
“Sehingga selain soal pelanggaran itu kan, hal itu juga berpotensi menuai konflik dalam hal kampanye dan perlu dipertimbangkan potensi ketersinggungan antara kelompok. Kalau sekarang ini bukan lagi dalam masanya mitigasi tapi sekarang itu evaluasi,” kata Kaka Suminta, Rabu (30/10/2024).
Kaka sepakat dengan Bawaslu RI untuk membawa kasus kekerasan gender disesuaikan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Namun, aturan ini masih membuat Bawaslu tidak bisa menindak langsung secara hukum maupun administratif terhadap peserta Pilkada 2024 yang melakukan kekerasan berbasis gender saat proses kampanye berlangsung.
Menurut Kaka, dalam undang-undang tersebut yang diatur adalah tindakan yang dianggap merendahkan atau menghina seseorang seperti tindakan menghina agama. Oleh karenanya, Kaka mendorong agar Bawaslu melakukan kajian lebih lanjut terkait aturan perundangan tersebut.
“Dalam aturan itu juga perlu kajian mendalam karena tidak ada spesifik (soal kekerasan berbasis gender),” kata Kaka.
Meski demikian, sebelum ada teguran dari Bawaslu, Kaka meminta setiap calon kepala daerah untuk mengedepankan etika bernegara dan menghormati peserta lainnya dan juga kelompok masyarakat yang beragam.
Kaka mengungkapkan bahwa hal itu menjadi tolok ukur dan cerminan masyarakat dalam menilai calon pemimpinnya.
“Tentunya ini seharusnya sudah menjadi warning untuk banyak pihak ya terutama para kandidat,” kata Kaka.
Saat ini sejumlah Bawaslu daerah telah melakukan sejumlah tindakan atas dugaan tindakan kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh sejumlah peserta Pilkada.
Seperti Bawaslu Jakarta yang menindaklanjuti adanya laporan atas pernyataan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, Suswono, yang melontarkan ide pernikahan antara janda kaya dan pemuda pengangguran.
Senada dengan Kaka Suminta, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai para peserta pilkada yang melontarkan pernyataan seksis adalah politisi yang belum matang dalam berdemokrasi.
Dia menyebut para peserta pilkada yang melakukan kekerasan berbasis gender baik verbal maupun fisik itu hanya melihat perempuan sebagai objek politik semata yang hanya dibutuhkan untuk mendulang suara.
“Semakin lemah dia melindungi hak perempuan, maka keberpihakannya kepada publik dalam hal ini termasuk perempuan juga lemah,” kata Feri, Rabu (30/10/2024).
Respons Bawaslu
Soal kekerasan berbasis gender yang terjadi di sejumlah wilayah pada pelaksanaan Pilkada 2024 telah menjadi atensi bagi Bawaslu RI. Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, mengungkapkan akan melakukan telaah terhadap kasus-kasus tersebut.
Dia menjanjikan agar kasus itu dibawa ke ranah hukum jika terbukti melanggar aturan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
“Hasil penelitian KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) memenunjukkan bahwa ada informasi yang tidak sampai ke pemilih (terutama perempuan). Perempuan menjadi sasaran dari politik uang. Dan, proses kampanye menggunakan perkataan atau joke, misalnya, menyangkut soal perempuan yang janda, yang termasuk kekerasan verbal,” kata Lolly dalam acara penandatanganan nota kesepahaman antara Bawaslu dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pengawas Pemilu, Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Ketua Bawaslu RI, Bagja Hidayat mengungkapkan bahwa pihaknya juga akan menyerahkan langsung kepada aparat kepolisian bila ada peserta Pilkada 2024 yang terbukti melakukan kekerasan berbasis gender tersebut, baik secara verbal maupun fisik.
Dia menjelaskan bahwa pihak kepolisian yang akan mengkaji masalah tersebut dan akan menentukan apakah masalah tersebut masuk ke dalam ranah hukum atau tidak.
“Kalau dari peserta Pilkada, kami serahkan kepada kepolisian, biarkan nanti kepolisian yang mengkaji,” kata Bagja saat dihubungi Tirto, Rabu (30/10/2024).
Bagja mengaku bahwa kekerasan berbasis gender termasuk menjadi atensi dan pengawasan bagi jajarannya yang ada di provinsi dan kabupaten/kota.
Sebagai bentuk antisipasi, Bagja menginstruksikan kepada Bawaslu daerah untuk tidak segan melakukan teguran atau pembinaan sebagai bentuk mitigasi atas kekerasan gender.
“Sehingga, kita akan lakukan teguran dan kedua kalau kekerasan fisik ke aparat kepolisian,” kata dia.
Tak hanya kepada peserta Pilkada, Bagja juga menekankan hal serupa kepada anak buahnya untuk menjauhi segala bentuk kekerasan berbasis gender. Dia tak segan melakukan pencopotan jabatan bila terbukti melakukan pelanggaran dan tak mengindahkan teguran yang telah diberikan.
“Kalau dia dari petugas Pemilu, akan kami lakukan pembinaan, pertama teguran, kalau yang kedua bisa kami copot dari jabatannya,” kata Bagja. []
Muhammad Irfan Al Amin, Jurnalis tirto.id
Liputan ini telah terbit di tirto.id merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.