August 8, 2024

Bawaslu Jawa Barat: Dedi Mulyadi Belum Jadi Subjek Hukum Pemilu

Rabu (4/10), Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Muhammad Afifuddin, mengatakan bahwa pihaknya telah meminta Bawaslu Jawa Barat (Jabar) untuk melakukan kajian terkait mahar politik yang diadukan oleh Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Bawaslu RI bahkan merekomendasikan agar Dedi dipanggil guna memberikan keterangan.

“Kemarin kami sudah koordinasi dengan Bawaslu Jawa Barat. Sudah whatsapp juga tadi, katanya sedang dikaji untuk dipanggil. Kami minta agar yang bersangkutan dipanggil,” kata Afif kepada rumahpemilu.org (4/10).

Ketua Bawaslu Jabar, Harminus Koto, memberikan jawaban. Bawaslu Jabar tak dapat memanggil Dedi sebab yang bersangkutan belum menjadi subjek hukum pemilu. Yang dapat dipanggil oleh Bawaslu adalah pihak-pihak yang berkaitan dalam penyelenggaraan pemilu.

“Dedi itu siapa? Siapa Dedi? Dia bukan subjek hukum pemilu. Dia belum mencalonkan diri ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai bakal calon. Aneh justru kalau kami memanggil dia,” tegas Harminus saat dimintai keterangan (5/10).

Harminus kemudian mengatakan bahwa aturan di Undang-Undang (UU) No. 8/2015 dan UU No.10/2016 mengharuskan agar proses pemeriksaan terhadap dugaan mahar politik dilakukan setelah yang bersangkutan mendaftarkan diri sebagai pasangan calon (paslon). Oleh karena itu, terhadap aduan Dedi bahwa salah satu oknum di Partai Golongan Karya (Golkar) meminta mahar hanya dapat diselesaikan oleh internal partai.

“Partai yang harusnya memanggil Dedi, bukan Bawaslu. Bawaslu tidak punya wewenang untuk menindak omongan seseorang yang statusnya bukan bakal calon. Nanti, kalau dia sudah daftar atau sudah ditetapkan sebagai paslon, baru kami klarifikasi soal aduannya tersebut, ” ujar Harminus.

Harminus menganalogikan kasus Dedi dengan iklan kampanye para pihak yang mengatakan bahwa dirinya adalah calon bupati A atau calon bupati B di ruang publik. Bawaslu tak punya wewenang untuk menindak iklan kampanye tersebut karena yang bersangkutan bukan calon kepala daerah yang ditetapkan oleh KPU.

“Apakah orang-orang yang memasang iklan mengaku calon gubernur, calon bupati, bisa saya panggil sementara dia belum mencalonkan diri dengan resmi? Itu urusan dia dengan Pemerintah Daerah, apakah dia membayar pajak iklan tersebut atau tidak,” tutup Harminus.

Di UU No. 10/2016 Pasal 187B dan 187C, orang yang memberikan mahar kepada partai politik untuk dicalonkan sebagai kepala daerah dikenakan denda minimal 300 juta rupiah dan  maksimal 1 miliar rupiah, serta pidana penjara minimal 24 bulan dan maksimal 60 bulan.

Bagi anggota partai atau gabungan partai yang menerima mahar dalam proses pencalonan kepala daerah, dikenakan sanksi pidana penjara minimal 36 bulan dan maksimal 72 bulan, serta denda minimal 300 juta rupiah dan maksimal 1 miliar rupiah.

Tak hanya itu, di Pasal 47 UU No.8/2015 disebutkan bahwa partai politik yang terbukti menerima mahar, didenda sepuluh kali lipat dari jumlah mahar yang diterima. Partai tersebut juga tak diperbolehkan mengajukan calon kepala daerah di daerah yang bersangkutan pada periode pemilu berikutnya.