Kamis (23/8), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengadakan diskusi bertema “Perlindungan Hak Konstitusional Warga: Kepatuhan terhadap Putusan Bawaslu”. Bawaslu mengundang Irman Putra Sidin, ahli Hukum Tata Negara, Agus Surono, ahli Hukum Pidana, Daniel Zuchron, peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Fandi Utomo, politisi senior Partai Demokrat yang terlibat dalam perumusan Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017. Dari lima pembicara, hanya Titi yang berpendapat berbeda mengenai putusan Bawaslu yang bertentangan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.20/2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR Daerah (DPRD).
Pembentuk UU Pemilu, putusan Bawaslu adalah putusan kuasi peradilan
Sebagaimana telah diketahui bahwa UU Pemilu memberikan wewenang kepada Bawaslu di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu, Fandi mengingatkan masyarakat dan KPU untuk menghormati dan menaati putusan Bawaslu. Jika KPU berkeberatan dengan putusan Bawaslu, KPU dapat meminta Bawaslu untuk melakukan koreksi.
“Putusan Bawaslu adalah putusan kuasi peradilan. Jika para pihak berkeberatan atas putusan peradilan, ini tidak ditutup ruangnya. KPU bisa mengajukan putusan koreksi. Nah, Bawaslu bisa membuka diri supaya ruang bandingnya dibuka untuk KPU,” kata Fandi pada diskusi di Media Centre Bawaslu, Gondangdia, Jakarta Pusat.
Fandi juga mengkritik PKPU No.20/2018 secara halus. Menurutnya, syarat pencalonan anggota DPR dan DPRD yang diatur oleh KPU lebih berat dari syarat pencalonan presiden dan kepala daerah. Jika calon presiden tak diperbolehkan memiliki rekam jejak sebagai mantan narapidana korupsi, dan calon kepala daerah tak diperkenankan sebagai mantan narapidana kasus kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba, maka calon anggota DPR dan DPRD tak boleh memiliki tiga rekam jejak kejahatan tersebut.
Fandi mengimbau agar KPU dan Bawaslu dapat membedakan norma hukum, norma etik, dan norma moral. UU Pemilu memberikan wewenang bagi KPU dan Bawaslu untuk membuat peraturan, dan keduanya berpegangan pada peraturan yang dibuat.
Ketika PKPU konslet, Bawaslu mesti mengacu pada peraturan perundang-undangan di atasnya
“Perdebatan soal napi korupsi harusnya selesai pada 2009 oleh putusan MK (Mahkamah Konstitusi). MK bilang boleh, dibuka saja. Kenapa MK bilang boleh? Karena konstitusi kita itu konstitusi yang Al Ghaffur, pemaaf, yang berperikemanusiaan. Bukan membalas dendam atas kesalahan seseorang,” tandas Irman.
KPU, katanya, harus mematuhi putusan MK tersebut. Dalam sejarah hukum tercatat bahwa ketika DPR hendak memasukkan aturan larangan bagi mantan narapidana korupsi pada 2015, MK “menggebuk” DPR. PKPU No.20/2018 layak mendapatkan sempritan dari DPR dan lembaga hukum lainnya.
“Yang mengikat Bawaslu adalah atruan yang dibuat oleh lembaga yang memegang kedaulatan rakyat, yaitu DPR yang dipilih melalui pemilu. Ketika peraturan itu konslet, maka mengacunya ke peraturan perundang-undangan di atasnya,” tegas Irman.
Menurutnya, Bawaslu telah benar dengan merujuk kepada UU Pemilu. Jika PKPU mengatur berlainan dengan UU, PKPU layak untuk dikesampingkan.
Jika tak ada norma pembatasan di UU, suatu norma dapat dinyatakan tak berlaku
Agus yang merupakan Wakil Rektor Universitas Al Azhar Indonesia berpendapat, UU Pemilu pada hakikatnya memberikan kesempatan kepada mantan narapidana, sekalipun narapidana dengan sanksi pidana lebih dari lima tahun, untuk tetap mencalonkan diri sebagai presiden atau anggota legislatif. Kesempatan itu tertuang di dalam norma “kecuali jika yang bersangkutan menyampaikannya kepada publik” di dalam UU Pemilu. Oleh karenanya, PKPU tak semestinya memberikan pembatasan.
Ia kemudian menyebut Pasal 7 dan 8 UU No.12/2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Ia menafsirkan, apabila suatu peraturan di bawah UU bertentangan dengan norma yang diatur oleh UU, maka peraturan tersebut dapat dinyatakan tak berlaku melalui mekanisme yang telah ditentukan, yakni uji materi di Mahkamah Agung (MA). Terkait larangan bagi mantan narapidana korupsi, selama tak ada norma di dalam UU yang melarang, maka peraturan di bawah UU tak boleh melarang.
“Bagaimana Bawaslu memutuskan suatu kasus terkait hak seseorang untuk mencalonkan? Apakah putusan Bawaslu mempunyai putusan yang bisa dilaksanakan? Dalam hukum pidana, seseorang gak mungkin dipidana kalau belum ada aturan hukum bahwa ini adalah perbuatan yang dilarang. Tidak boleh peradilan menyalahkan seseorang kalau belum ada hukum, yaitu UU yang mengatur,” jelas Agus.
Meloloskan napi korupsi bukan berarti mendukung perilaku koruptif
Mantan anggota Bawaslu periode 2012-2017, Daniel Zuchron mendorong agar masyarakat tak bersikap biner. Dalam hal ini, jika Bawaslu mengeluarkan putusan yang meloloskan mantan narapidana korupsi sebagai calon anggota DPR dan DPRD, bukan berarti Bawaslu mendukung perilaku koruptif. Ia menilai, yang dilakukan Bawaslu telah segaris lurus dengan UU Pemilu.
“Jika ada yang kritis, dia dianggap mendukung. Kalau dianggap mendukung, dianggap dia bagian dari itu. Ini tidak sehat. Kalau gaya-gaya oposisi biner dikembangkan, tidak ada pilihan alternatif, akan menjerumuskan demokrasi kita pada logika pure,” tukas Daniel.
Daniel mengkritisi pendekatan parsial yang dilakukan KPU. Menurutnya, tidak semua PKPU memiliki semangat pemberantasan korupsi. Semestinya, semangat ini ditanamkan di setiap tahapan pemilu, termasuk di dalam pendidikan pemilih dan sosialisasi pemilu.
“Bukan PKPU Pencalonan saja yang mesti kita bicarakan, tapi belanja kampanye yang tanpa batas, dana kampanye dari sumber ilegal, dan lain-lain. Jadi, yang strategis adalah semangat itu menjiwai semua tahapan. Kalau tidak, pencitraan saja karena dia melampaui hak-hak dan historis dari hak pilih itu sendiri,” ujar Daniel.
Ia meminta agar masyarakat tak menilai Bawaslu telah diintervensi oleh beberapa pihak. Intervensi yakni, ketika suatu lembaga tegak lurus dengan UU. Bertemu dengan partai politik peserta pemilu untuk saling memberikan gagasan bukanlah suatu intervensi.
Daniel mendorong agar pembentuk UU menyinggung aturan hukum mengenai kejahatan luar biasa seperti kejahatan seksual terhadap anak, bandar narkoba, dan terorisme di dalam UU. Konsensus dapat dilakukan, guna menghentikan perdebatan.
Pada sisi lain: Jika Bawaslu menilai PKPU No20/2018 bertentangan dengan UU Pemilu, mestinya Bawaslu ke MA
Satu minggu sebelum Bawaslu mengadakan diskusi, Titi bersama beberapa aktivis non-government organization (NGO) di bidang kepemiluan dan hukum mengadakan diskusi yang mendukung PKPU No.20/2018. Tak berubah dari logika hukum yang diutarakan dari diskusi tersebut, Titi hadir menyampaikan kembali.
Titi tak menampik bahwa Bawaslu memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu. Namun, Bawaslu harus mengacu pada Pasal 87 UU No.12/2011 bahwa peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mengikat sejak diundangkan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Jika Bawaslu menilai norma di dalam PKPU No.20/2018 bertentangan dengan UU Pemilu, Bawaslu mestinya melakukan uji materi ke MA.
“Pembentuk UU Pemilu telah membaca kemungkinan bahwa KPU dapat berkeberatan dengan putusan Bawaslu. Melalui Pasal 76 ayat (2) UU Pemilu menyatakan bahwa Bawaslu atau pihak yang dirugikan atas berlakunya PKPU berhak menjadi pemohon untuk mngajukan uji materi di MA. Jadi, forum di MA itulah yang membuktikan bahwa KPU itu melampaui kewenangannya atau tidak, bukan di putusannya Bawaslu,” tegas Titi.
Titi mengingatkan, keberadaan Pasal 76 dimaksudkan agar semua pihak taat terhadap PKPU hingga ada putusan MA yang menyatakan PKPU tak lagi berlaku. UU Pemilu tak memberikan wewenang kepada Bawaslu untuk menjadi reviewer PKPU. Keberadaan pihak ketiga diperlukan untuk mengembalikan kewenangan kepada masing-masing lembaga.
Titi juga menyoroti legal standing pemohon di Bawaslu terkait sengketa tahap pencalonan. Jika merujuk pada Putusan MA No.5/2017 tentang penyelesaian sengketa proses, MA menyebutkan bahwa pemohon adalah partai politik peserta pemilu, bukan perorangan.
Sengkarut PKPU No.20/2018 kemungkinan akan terus berlanjut. Fritz Edward Siregar, anggota Bawaslu mengatakan, Bawaslu disumpah untuk taat pada konstitusi dan UU. Meski Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota meloloskan mantan narapidana korupsi, tetapi Bawaslu telah menyurati partai politik yang melanggar Pakta Integritas bersama Bawaslu untuk melakukan penggantian calon.
“Pada saat ada calon mantan napi korupsi kemarin, masih ada dua. Kami berhalo-halo lagi, anda sudah mengingkari Pakta Integritas, dan jumlah itu turun karena partai akhirnya mengganti,” kata Fritz.
Fritz menegaskan bahwa yang dilakukan oleh Bawaslu adalah melindungi hak warga negara. Menurutnya, adalah suatu pelanggaran berat jika sebuah lembaga berlaku sewenang-wenang menghilangkan hak warga negara.