Mengawasi penyelenggaraan Pilkada 2018 di 171 daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI telah merekomendasikan 356 kasus pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Jumlah ini meningkat drastis dari hanya 29 kasus yang ditemukan dan direkomendasikan oleh Bawaslu pada Pilkada 2017 di 101 daerah.
“Di 2017 itu ada 29 kasus yang melibatkan 75 oknum ASN. Kalau dipersentasekan, sebesar 27 persen. Nah, di 2018, ada peningkatan yang sangat signifikan. Ada 356 kasus,” kata Kepala Bagian Teknis Bawaslu RI, Harimurti Wicaksono, pada diskusi “Netralitas Aparat dalam Pilkada dan Pemilu” di Hotel Borobudur, Sawah Besar, Jakarta Selatan (5/7).
Sulawesi Selatan dan Jawa Barat merupakan daerah dengan tingkat kasus pelanggaran netralitas tertinggi. 157 laporan pelanggaran datang dari Sulsel dan 48 laporan dari Jawa Barat.
Hari menyampaikan bahwa oknum pelanggar netralitas ASN dan bentuk pelanggaran yang dilakukan di Pilkada 2017 dan 2018 hampir sama. Gubernur, asisten daerah, bupati, camat, kepala desa, staf unit pemerintah, kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), kepala sekolah, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), sekretaris kelurahan, lurah, dan staf Pemerintah Daerah (Pemda) merupakan oknum yang sering dilaporkan melakukan pelanggaran.
Sementara itu, bentuk pelanggaran yang sering dilakukan yakni, menghadiri deklarasi pencalonan, mengantarkan paslon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada saat pendaftaran calon, menggunakan atribut pasangan calon (paslon), mengumumkan dukungan kepada salah satu paslon, mengkampanyekan paslon melalui media sosial, mendorong lingkungan kerja untuk memilih paslon tertentu, mengarahkan staf untuk memasang alat peraga kampanye (APK) salah satu paslon, dan hadir dalam rapat tatap muka. Bawaslu menemukan adanya grup Whats App yang dimanfaatkan ASN untuk mensinergikan pemenangan paslon.
“Ketahuannya adanya grup Whats App ini, ada yang namanya whistle blower system. Dalam konteks pengawasan AN, ini menarik. Misal Mbak Titi camat, saya sekretaris kecamatan. Ternyata Mbak Titi dukung paslon A, saya B. Bisa saja saya memantau grupnya Mbak Titi. Lalu saya sebagai whistle blower, lapor ke Panwas (Panitia Pengawas) bahwa Mbak Titi mendukung paslon tertentu,” jelas Hari.
Dari 356 kasus yang direkomendasikan Bawaslu kepada KASN, belum diketahui jumlah kasus yang telah ditindaklanjuti oleh KASN. Bawaslu masih melakukan koordinasi dengan KASN dan meminta media untuk menanyakan tindak lanjut ini kepada KASN sebagai bentuk pengawasan pilkada partisipatif.
“Kami terus berkoordinasi dengan KASN, berapa yang sudah ditindaklanjuti. Saya harap media sering-sering sowan ke KASN utnuk tanya berapa rekom Bawaslu yang sudah ditindaklanjuti,” tutup Hari.