April 18, 2024
iden

Beda Usulan KPU dan Pemerintah terkait Jadwal Pungut Hitung Pemilu 2024

Kamis (16/9), Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dalam RDP tersebut, jadwal hari pemungutan suara Pemilu Serentak 2024 menjadi sorotan berbagai pihak. Pasalnya, tanggal hari pemungutan suara yang diusulkan KPU dan Pemerintah berbeda.

Usulan KPU

KPU memilih 21 Februari 2024 sebagai hari pemungutan suara Pemilu 2024. Tanggal tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan, seperti pemberian waktu yang memadai untuk sengketa hasil pemilu sehubungan dengan pencalonan di Pilkada 2024 dan beban kerja penyelenggara ad hoc.

“Di Pemilu 2019, ada 12 (sengketa hasil) yang dikabulkan. Ada yang pemungutan suara ulang di Sulawesi Selatan, dan ada juga penghitungan suara ulang,” kata Ketua KPU RI, Ilham Saputra, pada RDP tersebut.

Opsi-opsi yang diusulkan Pemerintah

Opsi pemungutan suara 21 Februari 2024 dengan 25 bulan tahapan Pemilu dinilai Pemerintah berpotensi menyebabkan ketidakstabilan politik yang terlalu lama. Apalagi, menurut Pemerintah, tambahan waktu lima bulan untuk tahapan Pemilu yang diusulkan KPU merupakan kegiatan internal yang tak melibatkan partai politik atau pihak lain. Oleh karena itu, Pemerintah meminta agar KPU mengganti istilah dari kegiatan yang dilakukan selama lima bulan tersebut menjadi program kegiatan internal KPU.

“Pemerintah menyarankan namanya program kegiatan internal KPU, karena memang itu kan kegiatan internal, seperti penyusunan PKPU (Peraturan KPU), pengembangan sistem teknologi informasi, sosialisasi, yang tidak perlu dinarasikan sebagai tahapan. Karena, kalau tahapan, narasi di publik, tahapan pemilu sudah berlangsung. Di masyarakat tidak ingin suhu politik dan keamanan jadi rentan. Baru, Juni 2022 masuk tahapan. Nanti kita komunikasikan masalah pembiayaan mengenai program-program itu,” ucap Tito.

Dengan demikian, Tito mengusulkan tiga opsi tanggal hari pemungutan suara Pemilu 2024. Pertama, 24 April 2024, setelah arus balik mudik Lebaran. Dengan opsi ini, tahapan Pemilu dimulai bulan Agustus 2022.

“Sehingga, Januari sampai Juli 2022, program-program pemerintah pusat relatif dalam situasi politik yang stabil untuk pemulihan ekonomi. Nanti di 2023, mulai Februari, baru ada tahapan yang berdampak pada masyarakat karena ada pengumuman partai politik peserta pemilu dan sebagainya,” tandas Tito.

Opsi yang kedua, 9 Mei 2024 dengan tahapan dimulai September 2022. Opsi ini akan membuat Pemerintah fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Opsi ketiga, 15 Mei 2024. Opsi ini memang akan menumpuk tahapan-tahapan krusial di 2023 dan 2024. Namun, hal tersebut dipandang sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan Pemilu di satu tahun yang sama dengan Pilkada Serentak 2024.

“2024, dengan risiko yang sedikit lebih berat karena ada irisan, kalau ada putaran kedua terutama. Memang 2024 itu kerja berat yang harus kita kerjakan bersama-sama,” tukas Tito.

Yang harus diperhatikan menurut Komisi II DPR RI

Anggota Komisi II Fraksi Partai NasDem, Saan Mustopa meminta agar KPU dan Pemerintah memperhatikan lama jeda pelantikan presiden dan kepala daerah terpilih dengan akhir masa jabatan eksekutif yang tengah menjabat. Jika jeda terlalu lama, maka akan mengganggu jalannya pemerintahan akibat pejabat eksekutif yang sudah terpilih tak segera diberikan ruang untuk memimpin.

“Jangan kita juga membiarkan transisi terlalu lama. Ketika mau tetapkan Februari atau April, kalau kelamaan, sisa pemerintahan Pak Jokowi yang ini, pasti akan terganggu. Lebih pendek jarak keterpilihan presiden dengan akhir masa jabatan presiden yang sekarang, akan lebih baik,” pungkas Saan.

Di sisi lain, diingatkan oleh Luqman Hakim dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Syamsurizal dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bahwa mesti ada waktu yang cukup antara penetapan hasil pemilu yang final dengan tahapan pencalonan kepala daerah di Pilkada. Waktu yang singkat untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah akan menyebabkan keputusan pencalonan kepala daerah yang instan dan transaksional.

“Waktu yang pendek pasti akan memaksa keputusan-keputusan yang sifatnya instan. Ketika partai menetapkan kepala daerah instan, transaksional, mahal biayanya, output-nya pasti tend to corrupt. Maka, beri kesempatan kepada partai yang cukup untuk memproses calon-calon kepala daerah,” tegas Luqman.

Luqman tak menyetujui opsi kedua dan ketiga Pemerintah yang mengusulkan agar Pemilu 2024 dilaksanakan pada Mei 2024.

Sementara itu, usulan KPU agar pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 dilaksanakan pada 27 November 2024 tak dipersoalkan oleh Pemerintah. Namun, ada usulan dari anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arif Wibowo, agar Pilkada Serentak 2024 digeser ke September, dengan perubahan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Alasannya, agar ada waktu yang cukup untuk pelantikan kepala daerah terpilih.

“Kemarin saya usul September 2024 untuk Pilkada. Artinya, ada cukup waktu sampai Sesember untuk pelantikan. Demikian juga kalau ada sengketa,” kata Arif.

Jadwal hari pemungutan suara tak ditentukan di RDP tersebut. Para pihak akan mendiskusikannya kembali dalam rapat konsiyering. Mendagri berharap, keputusan jadwal hari pemungutan suara Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 dapat diputuskan sebelum masa reses anggota DPR RI.