August 8, 2024

Belajar dari Pemilu Indonesia

“Pemilihan umum adalah bagian yang sangat penting dari hak asasi manusia (HAM) dan penyelenggaraanya tidak terlepas dari supremasi hukum. Pemilu memberikan contoh praktik pemenuhan HAM. Mencapai proses pemilu yang demokratis dan sejati merupakan bagian dari upaya membangun sistem pemerintahan yang dapat memastikan penghormatan terhadap HAM, supremasi hukum, dan pengembangan lembaga-lembaga demokratis (Uni Eropa, 2016: 11).”

Demikian pembukaan yang ditulis oleh Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Topo Santoso, dalam tulisan berjudul “Elections in Southeast Asia: Lessons from the 2019 Elections in Indonesia” yang ditulisnya untuk Regional Support for Elections and Political Transitions (Respect) dan dipresentasikan pada kegiatan “Regional Seminar and Workshop on The Role of Journalism in Supporting Democratic Elections in Southeast Asia” di Jakarta, 26 November 2019. Dari pembukaan tersebut, kita dapat memahami bahwa pemilu merupakan pengejawantahan dari pemenuhan HAM. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu semestinya menjadi momentum untuk memenuhi HAM setiap warga negara dalam setiap proses dan tahapannya. Pemilu, tak boleh menjelma menjadi perhelatan empat atau lima atau enam tahunan yang justru menimbulkan korban jiwa akibat konflik politik yang dikapitalisasi oleh elit yang memperebutkan kekuasaan.

Di sepanjang tahun 2019, ada 50 negara di seluruh dunia yang menyelenggarakan pemilu. Secara total, hampir dua miliar pemilih berhak memberikan suaranya untuk memilih perwakilan di legislatif, juga eksekutif. Di Asia sendiri, pemilu diselenggarakan di Thailand pada 24 Maret, Israel pada 9 April, India pada 11 April hingga 23 Mei(CNN.com, 25 April 2019), Indonesia pada 17 April, Filipina pada 13 Mei((Al Jazeeraa, 2019), Afghanistan pada 28 September(Thediplomat.com, 15 November 2019), dan Sri Lanka pada 16 November(Al Jazeera, 13 November 2019). Berikut data pemilu 2019 di Asia.

No

Negara

Jenis pemilihan

Jumlah pemilih

1 Thailand Pemilihan Legislatif paruh waktu. 35,53 juta
2 Israel

Pemilihan Legislatif

6,3 juta
3 India Pemilihan Legislatif nasional dan lokal hampir 900 juta
4 Indonesia Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif nasional dan lokal. 192 juta
5 Filipina Pemilihan Senat paruh waktu dan Pemilihan Gubernur. 61 juta
6 Afghanistan Pemilihan Presiden Lebih dari 9,6 juta
7 Sri Lanka Pemilihan Presiden Hampir 16 juta

Sumber: data dari berbagai sumber, diolah oleh rumahpemilu.org

 

Dari data tersebut, nampak bahwa pemilu di India merupakan pemilu dengan jumlah pemilih terbanyak di 2019. Ada hampir 900 juta pemilih yang terdaftar untuk memilih anggota parlemen nasional dan lokal di seluruh India. Jumlah ini 142 kali lipat dari jumlah pemilih di Israel.

Pemilu Indonesia di kawasan Asia Tenggara

Topo menyebutkan di dalam tulisannya bahwa Thailand merupakan salah satu negara demokrasi paling awal di Asia Tenggara. Pemerintahan demokratis didirikan setelah protes besar di jalan-jalan di Bangkok pada 1992 yang berhasil menumbangkan pemerintahan militer yang telah bercokol selama hampir enam dekade. Proses demokratisasi di bidang politik kemudian diinstitusionalisasi dalam konstitusi 1997, yang dinilai banyak pihak telah memperkuat proses transisi demokrasi Thailand (hal.1).

Masa transisi dari pemerintahan autokrasi ke demokratis juga terjadi di Indonesia. Pemerintahan demokratis berkembang pasca turunnya Soeharto dari kekuasaan. Pada Mei 1998 yang dikenang sebagai hari reformasi, berbagai kalangan, utamanya mahasiswa, turun ke jalan menuntut Soeharto turun jabatan. Dua puluh tahun setelahnya, yakni 2018, menurut Topo, Indonesia berhasil berkembang sebagai salah satu pilar demokrasi di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mempertahankan capaiann-capaian Reformasi 1998, salah satunya membatasi kekuasaan eksekutif: maksimal dua periode dengan masa jabatan lima tahun. Indonesia juga berhasil menyelenggarakan pemilu secara regular dengan siklus lima tahun sekali. Pemilu Serentak 2019 merupakan pemilu kelima Indonesia pasca Reformasi.

Jika mengacu pada Indeks Demokrasi Unit Intelejen (IDUI) 2016, pemilu Indonesia pada masa Reformasi dinilai sebagai salah satu pemilu paling demokratis di kawasan Asia Tenggara, meskipun menurut IDUI belum ada negara di Asia Tenggara yang memiliki demokrasi penuh. Indonesia berada di peringkat pertama dengan skor 6,97. Dibawah Indonesia terdapat Filipina dengan skor 6,94, Malaysia 6,54, Singapura 6,38, Thailand 4,92, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Masih dalam indeks ini, dalam kategori Pemilu, hanya ada dua negara dengan skor pemilu diatas 7 di Asia Tenggara, yakni Indonesia dan Filipina. Skor Filipina adalah 9,17 dan Indonesia 7,75.

Sayangnya, sebagaimana bisa kita temukan di dalam tulisan Topo, tren demokrasi di Asia Tenggara cenderung mundur ke belakang. Di Myanmar misalnya, negara yang dulu merupakan sumber harapan dan inspirasi  bagi negara lain di Asia Tenggara untuk melakukan transisi ke demokrasi, kini menjadi contoh buruknya praktik intoleransi dan penindasan yang disertai dengan kekerasan terhadap minoritas.  Harapan baru kini muncul di Malaysia yang tengah mereformasi sistem pemilu dan sistem kelembagaan penyelenggara pemilu.

“Hanya di Malaysia yang muncul tunas hijau saat kita mendekati peringatan satu tahun kemunduran pemilu. Proses di Malaysia itu membawa harapan untuk reformasi dan mempertahankan norma-norma demokrasi di Malaysia,” tulis Topo (hal.3).

Belajar dari pemilu Indonesia

Pada masa Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, pemilu di Indonesia, tulis Topo, dinilai tidak demokratis. Jika mestinya pada pemilu berlaku “proses yang pasti, hasil tak pasti”, di pemilu masa Orde Baru, berlaku sebaliknya. Hasil pemilu telah ditentukan, berikut dengan jatah kursi parlemen untuk masing-masing partai politik peserta pemilu.

Oleh karena itu, pada Reformasi, pembenahan sistem pemilu Indonesia menjadi salah satu agenda prioritas. Kelembagaan penyelenggara pemilu didesain sebagai lembaga nasional, tetap dan mandiri, sebagaimana tertuang di dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (Tirto.id, 14 Oktober 2019), juga ruang politik untuk menjadi peserta pemilu pada pemilu pertama setelah Reformasi, yakni tahun 1999, dibuka luas. Alhasil, terdapat 48 partai politik peserta Pemilu 1999, dari sebelumnya di masa Orde Baru hanya tiga partai sebagai akibat dari kebijakan fusi partai.

Pemilu Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Topo mengangkat isu pemilu serentak dalam tulisannya. Jika pada empat pemilu pertama setelah masa Reformasi penyelenggaraan pemilihan eksekutif dan legislatif tidak dilaksanakan serentak pada satu hari yang sama, di 2019, lima pemilihan dilaksanakan secara serentak. Lima pemilihan yang dimaksud yakni, Pemilihan Presiden, Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemilihan DPR Daerah (DPRD) Provinsi, dan Pemilihan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.

Pemilu Serentak Indonesia tahun 2019, menurut Topo, layak untuk menjadi pembelajaran bagi negara lain, terutama negara di kawasan Asia Tenggara. Pada faktanya, Pemilu Serentak Indonesia merupakan pemilu satu hari terbesar di dunia, dengan 192 juta lebih pemilih dan 800.219 tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia.  Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.137/ 2017 tanggal 29 Desember 2017, total luas daerah Indonesia adalah 1,91 juta kilometer persegi.

Standar-standar pemilu demokratis

Untuk menilai apakah penyelenggaraan pemilu di suatu negara berjalan demokratis, diperlukan suatu alat ukur berupa standar-standar pemilu demokratis. Merujuk pada standar yang diterapkan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) pada 2002, terdapat 15 standar internasional sebagai syarat minimum dalam kerangka hukum untuk memastikan Pemilu yang demokratis. Standar itu yakni: (1) penataan kerangka hukum, (2) sistem pemilihan, (3) penetapan batas, seperti batas dapil dan batas pemilihan, (4) Hak untuk memilih dan dipilih, (5) lembaga penyelenggara pemilu, (6) pendaftaran pemilih dan daftar pemilih (7) akses surat suara untuk partai politik dan kandidat, (8) kampanye pemilu yang demokratis, (9) akses media dan kebebasan berekspresi, (10) dana kampanye dan belanja kampanye, (11) pemungutan suara, (12) penghitungan dan tabulasi suara, (13) peran perwakilan partai politik dan kandidat, (14) pengamat pemilu, dan (15) kepatuhan dan penegakan hukum pemilu.

Standar tersebut, catat Topo, diambil dari berbagai deklarasi dan konvensi internasional dan regional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1960, Konvensi Eropa tahun 1950 untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan kebebasan manusia, serta Piagam Afrika 1981 tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat.

Lebih lanjut, ada 20 hal wajib yang mesti  ada di pemilu, yaitu: (1) Hak dan peluang untuk berpartisipasi dalam urusan publik; (2) Hak dan kesempatan untuk memilih; (3) Hak dan peluang untuk dipilih; (4) Pemilihan berkala; (5) Hak pilih universal; (6) Hak pilih yang  setara; (7) Surat suara rahasia; (8) Bebas dari diskriminasi dan setara di bawah hukum; (9) Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki; (10) Kebebasan berserikat: (11) Kebebasan berkumpul; (12) Kebebasan bergerak; (13) Kebebasan berpendapat dan berekspresi; (14) Hak atas keamanan; (15) Transparansi dan hak atas informasi; (16) Pencegahan korupsi; (17) Supremasi hukum; (18) Hak atas pemulihan yang efektif; (19) Hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka; dan (20) Jaminan dari negara untuk memenuhi hak-hak tersebut (International IDEA, 2014: 37-58).

“Kewajiban ke-14 dengan sangat jelas menunjukkan bahwa setiap negara yang menyelenggarakan pemilu harus menjamin hak atas keamanan setiap manusia dalam proses Pemilu, seperti kandidat, penyelenggara pemilu, organisasi masyarakat sipil, media dan pemilih. Kewajiban ini juga menegaskan keselamatan manusia dari cedera atau sakit, serta jaminan untuk kebebasan dan larangan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Jaminan ini sebenarnya adalah jaminan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang memang merupakan salah satu referensi kewajiban internasional tentang pemilu,” urai Topo.

Selain itu, International IDEA juga memberikan 21 komponen yang harus ada dalam undang-undang pemilu di setiap negara (International IDEA, 2014: 59-285). 21 komponen itu yakni sebagai berikut.: (1) Struktur kerangka hukum; (2) Sistem pemilihan; (3) Batas pemilihan; (4) Partai politik; (5) Pendanaan politik; (6) Manajemen pemilihan; (7) Kesetaraan gender; (8) Kesempatan yang setara untuk kelompok minoritas dan terpinggirkan; (9) Kesempatan yang sama bagi disabilitas; (10) Pengamat pemilu; (11) Pendidikan pemilih; (12) Syarat hak pilih; (13) Pendaftaran pemilih; (14) Pendaftaran kandidat; (15) Lingkungan media; (16) Kampanye pemilu; (17) Kampanye media; (18) Tata cara pemungutan suara; (19) Manajemen penghitungan dan rekapitulasi suara; (20) Keadilan pemilu; dan (21) Pelanggaran pemilu. Dalam tulisan Topo, ia membahas tiga komponen, yaitu struktur kerangka hukum, manajemen pemilu, dan keadilan pemilu.

Struktur kerangka hukum pemilu Indonesia

Buku Pegangan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Aspek Hukum, Teknis dan Hak Asasi Manusia dalam Pemilu menyoroti pentingnya prinsip-prinsip aturan main hukum seperti kepastian hukum, aksesibilitas, koherensi, ketepatan waktu, dan stabilitas kerangka hukum. Sebagaimana dituliskan Topo, kerangka hukum pemilu sangat penting sebagai landasan implementasi pemilu. Sederhananya, tidak ada pemilu yang adil dan demokratis tanpa kerangka hukum pemilu yang adil dan mengatur tahapan-tahapan pemilu secara adil dan demokratis. Sebagai contoh, jika hukum pemilu membatasi kebebasan warga negara untuk berkumpul, berserikat, berpendapat, bergerak atau berekspresi, maka pemilu akan membatasi pelaksanaan hak-hak politik dan sipil.

Ada setidaknya lima hal yang harus diatur di dalam kerangka hukum pemilu, yakni jaminan pemilu dilaksanakan secara periodik, proteksi hak politik warga negara baik memilih maupun dipilih, adanya kepastian hukum dan koherensi seluruh regulasi, melarang diskriminasi berdasarkan gender, dan  memastikan adanya perlindungan yang sama di bawah hukum.

Standar-standar tersebut, di Indonesia, diselaraskan dengan kerangka hukum pemilu yang ada. Kerangka hukum pemilu di Indonesia sendiri dimuat di dalam tujuh jenis dasar hukum dan peraturan, yakni (1)UUD 1945; (2) UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum; (3) Berbagai peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), (4) berbagai peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu); (5) Peraturan Dewan Etik Penyelenggara Pemilihan (DKPP) tentang kode etik Pemilihan Umum; (6) Peraturan Mahkamah Agung tentang Penyelesaian Administrasi Pemilu, serta (7) Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil pemilu.

Dari seluruh kerangka hukum, kecuali UUD 1945, memberikan batasan waktu untuk seluruh tahapan pemilu serta penanganan pelanggaran dan sengketa pemilu, juga penanganan pelanggaran etik penyelenggara pemilu. Kepastian waktu dinilai Topo sebagai jaminan bahwa penyelenggaraan pemilu akan dilaksanakan tepat waktu dan periodik, dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak.

Adapun masalah dalam kerangka hukum Indonesia, yakni stabilitas kerangka hukum. Di Indonesia, UU Pemilu selalu berubah atau diubah setiap lima tahun, terutama 1-3 tahun menjelang pemilu. Bahkan, dalam situasi khusus, perubahan hukum terjadi sebagai dampak dari pengujian norma di dalam undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini memberikan ketidakpastian hukum atau setidaknya konsekuensi bagi partai politik  dan penyelenggara pemilu. Memang, di dalam kerangka hukum Indonesia, MK berwenang menguji konstitusionalitas semua undang-undang.

“Catatan ini juga berkaitan dengan konteks koherensi dalam kerangka hukum pemilu. Seharusnya, semua ketentuan pemilu dalam kerangka hukum koheren dan tidak saling bertentangan, dan tidak ada kekosongan hukum karena akan membingungkan para pemangku kepentingan pemilu. Namun, dalam beberapa kasus, memang ada masalah koherensi di regulasi kepemiluan kita sehingga harus diperbaiki baik melalui tinjauan legislatif, perbaikan oleh eksekutif, maupun judicial review,” jelas Topo.

Secara umum, mengaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang mesti ada di dalam kerangka hukum pemilu internasional, hukum Indonesia telah menjamin proteksi hak politik warga negara baik memilih maupun dipilih, melarang diskriminasi berdasarkan gender, dan  memastikan adanya perlindungan yang sama di hadapan hukum. Bahkan, di dalam UU No.7/2017, terdapat tindakan khusus bagi perempuan untuk terlibat dalam partisipasi politik.

Manajemen pemilu Indonesia

Mengacu pada International IDEA, secara ringkas Topo menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dengan segala kompleksitasnya merupakan tanggung jawab penyelenggara pemilu, dan untuk menjamin pemilu diselenggarakan secara adil, tidak memihak, dan sesuai dengan hukum yang berlaku, maka dibutuhkan adanya otoritas independen yang dibentuk untuk ‘mengawasi’ proses pemilihan. Kerangka hukum mesti mengatur ketentuan-ketentuan agar tak ada konflik kepentingan di dalam tubuh penyelenggara pemilu, masalah rekrutmen, masa jabatan, besaran upah, tugas, wewenang, kualifikasi, dan struktur pelaporan penyelenggara pemilu.

“Staf harus diisolasi dari bias dan tekanan politik di semua tingkatan, dan hanya ada satu garis otoritas tertinggi yang ditetapkan,” tulis Topo (hal.9).

Penyelenggara pemilu yang baik memenuhi kriteria berikut. Satu, adanya basis hukum yang menjamin bahwa penyelenggara pemilu dapat bertindak secara independen. Dua, memiliki wewenang untuk membuat regulasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Tiga, rekrutmen penyelenggara pemilu memberikan akses kepada semua orang dan pemilihannya berdasarkan merit sistem. Empat, penyelenggara pemilu bekerja secara transparan dan akuntabel. Lima, tersedianya mekanisme untuk meninjau keputusan atau regulasi yang dibuat oleh penyelenggara pemilu, yang mengutamakan pada pemulihan hak warga negara.

Tidak seperti di beberapa negara lain, manajemen pemilu di Indonesia dijalankan oleh tiga lembaga, yakni KPU yang berfungsi melaksanakan seluruh tahapan pemilu, Bawaslu sebagai lembaga pengawas dan peradilan pemilu, dan DKPP sebagai lembaga peradilan etik penyelenggara pemilu. Jika tangan KPU dan Bawaslu sampai ke TPS, DKPP hanya memiliki perwakilan hingga ke tingkat provinsi.

Adanya tiga lembaga pemilu di Indonesia, dalam pandangan Topo, selaras dengan standar pemilu internasional karena tiga hal. Pertama, syarat untuk menjadi anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP diatur secara ketat di dalam UU Pemilu, bahwa calon tak boleh memiliki afiliasi dengan partai politik. Kedua, kecuali pemilihan anggota DKPP, proses rekrutmen dilakukan oleh tim seleksi yang berasal dari berbagai kalangan dari masyarakat sipil, meskipun untuk KPU RI, di proses akhir calon dipilih oleh anggota parlemen di tingkat nasional. Ketiga, semua warga negara dnegan kualifikasi mencukupi dapat mengikuti proses seleksi. Keempat, proses rekrutmen dilakukan secara terbuka dan dipantau oleh masyarakat sipil. Kelima, dibukanya ruang untuk menyampaikan masukan dari publik kepada tim seleksi terkait rekam jejak para calon penyelenggara pemilu.

“Jadi, semua itu untuk menjamin pilihan anggota KPU dan Bawaslu dari pusat ke daerah yang independen, kredibel dan berkemampuan,” tulis Topo (hal.21).

Selain itu, kerangka hukum Indonesia juga telah memberikan dasar bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP dapat bertindak secara independen. Masing-masing lembaga dapat membuat peraturannya sendiri, dengan melalui konsultasi kepada DPR RI, sesuai norma di UU Pemilu. Jika peraturan yang dibuat lembaga dinilai melanggar hukum, maka para pihak yang memenuhi legal standing dapat mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Keputusan yang dikeluarkan KPU juga dapat disengketakan ke Bawaslu. Jika pihak yang mengajukan sengketa tak puas dengan putusan Bawaslu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Uji materi terhadap PKPU (Peraturan KPU) telah dilakukan di Indonesia. Misalnya, uji materi atas PKPU yang memuat norma larangan narapidana untuk menjadi calon anggota DPR/DPD/DPRD,” contoh Topo (hal.21).

Beda halnya dengan Keputusan KPU yang dapat digugat, keputusan DKPP bersifat final dan tak dapat diperbaiki.

Keadilan pemilu di Indonesia

“Pelaksanaan pemilu jelas tidak lepas dari berbagai masalah, gugatan, pengaduan, laporan kriminal dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penyelesaian, karena kalau tidak implementasi dan hasil pemilu bisa diragukan,” tulis Topo dalam tulisannya (hal.11).

Ia lanjut menerangkan, bahwa sistem peradilan pemilu mengacu pada cara atau mekanisme yang diambil oleh suatu negara untuk memastikan dan memverifikasi bahwa tindakan, prosedur dan keputusan penyelenggara pemilu telah sesuai dengan kerangka hukum, dalam rangka melindungi atau memulihkan hak pilih dan dak dipilih. Keadilan pemilu memainkan peran mendasar dalam proses demokratisasi yang berkelanjutan dan mendorong transisi dari penggunaan kekerasan ke cara yang sah untuk menyelesaikan konflik politik. Dengan kata lain, sistem peradilan pemilu yang mampu menyelesaikan konflik politik melalui mekanisme hukum dan menjamin kepatuhan penuh terhadap hukum akan membantu demokrasi berkembang.

Mengenai lembaga pengadilan pemilu sendiri, dinyatakan dengan jelas bahwa lembaga pengadilan harus bersih dari korupsi dan pengaruh partisan. Ada enam ukuran baik-buruk suatu lembaga peradilan pemilu, yakni berfokus pada pemulihan hak, mampu menyelenggarakan peradilan hukum yang memberikan pemulihan hak secara efektif, memberikan peninjauan yudisial terhadap tindakan administratif dan keputusan penyelenggara pemilu terkait proses pemilu, adanya ketentuan yang menjamin independensi dan ketidakberpihakan lembaga peradilan, proses pengadilan terbuka untuk publik, dan tersedianya akses bagi semua pemangku kepentingan pemilu kepada mekanisme keadilan pemilu.

Pada Pemilu Serentak 2019, hingga 28 Mei 2019, Bawaslu menerima 14.462 temuan dan 1.581  laporan pelanggaran pemilu. Temuan adalah pelanggaran pemilu yang ditemukan oleh jajaran pengawas pemilu dibawah komando Bawaslu RI, sedangkan laporan adalah pelanggaran pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat. Dari laporan dan temuan pelanggaran tersebut, 533 kasus masuk kategori tindak pidana pemilu, 12.138 kasus pelanggaran administrasi pemilu, 162 kasus pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, dan 1.096 pelanggaran lainnya. Sebagai hasil dari tindak lanjut penanganan pelanggaran, hingga Mei 2019, ada 106 putusan kasus pidana yang telah diputus dengan kekuatan hukum tetap (hal.23).

Aturan di dalam UU Pemilu, pelanggaran tindak pidana pemilu diproses oleh pengadilan distrik tingkat pertama. Selanjutnya, para pihak yang berperkara dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dengan hasil putusan final dan mengikat.

Dalam tulisannya, Topo menyampaikan pandangannya bahwa kerangka hukum pemilu di Indonesia telah berusaha untuk mengadopsi standar Pemilu demokratis yang ditetapkan oleh internasional. Indonesia memiliki sistem peradilan pemilihan yang berupaya untuk memulihkan hak peserta pemilu dan mengoreksi kekeliruan dalam pelaksanaan tahapan pemilu, hukum yang melindungi hak pilih, menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik.

Bahkan, UU Pemilu Indonesia telah mengkategorikan enam jenis pelanggaran pemilu. Enam kategori itu antara lain kejahatan pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik, sengketa proses pemilu, perselisihan administrasi pemilu, dan sengketa hasil pemilu. UU mengatur mekanisme pengajuan gugatan, lembaga yang berwenang mengadili, sanksi, serta batas waktu penyelesaian setiap jenis pelanggaran atau perselisihan. Proses penyelesaian di setiap peradilan pun didorong untuk terbuka bagi publik, dengan putusan yang dapat dibaca di website masing-masing lembaga.

Pemilu Serentak Indonesia dan keselarasannya dengan prinsip-prinsip pemilu internasional

Berdasarkan penjelasan yang dijabarkan oleh Topo dalam tulisannya berjudul “Lessons from The 2019 Elections in Indonesia”, kita dapat melihat bahwa penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 di Indonesia, khususnya kerangka hukum, manajemen pemilu, dan keadilan pemilu, dijalankan dengan standar dan komponen-komponen pemilu yang demokratis, yang dirumuskan oleh International IDEA. Sekalipun masih ada kekurangan akibat kompleksitas yang ditimbulkan dari keserentakkanya, Topo memuji penyelenggara pemilu Indonesia yang telah berhasil menyelenggarakan Pemilu Serentak 2019 dengan segala kerumitannya: 16 partai politik peserta pemilu, lima jenis pemilihan di satu hari yang sama serentak di seluruh Indonesia, 192 juta pemilih. Kerumitan tersebut, meski tak secara implisit dituliskan, diduga Topo sebagai penyebab jatuhnya korban jiwa dari penyelenggara pemilu.

“Jika, pemilihan dilakukan secara serentak dalam satu hari untuk memilih banyak posisi (lima posisi / 5 kotak pemilihan), ini akan berdampak dan berimplikasi pada beban kerja dan kesehatan serta keselamatan petugas pemilihan bila dilakukan secara manual, dengan mempertimbangkan batasan waktu untuk proses penghitungan dan rekapitulasi serta banyak dokumen yang harus dilengkapi. Hal ini ditambahkan oleh banyak tuntutan, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran pemilu yang dituntut oleh para pemangku kepentingan pemilu, serta ancaman pidana yang menyertainya ketika ada kesalahan dalam menjalankan tugas mereka,” urai Topo (hal.26).

Topo membandingkan pemilu serentak Indonesia dengan Filipina. Meski Filipina juga memilih ekeskutif dan legislatif di satu hari yang sama bahkan hingga eksekutif fi tingkat lokal, namun tak ada penyelenggara pemilu yang meninggal selama gelaran pemilu serentak. Sebabnya, menurut Topo, digunakannya teknologi penghitungan suara elektronik atau e-counting.

Topo menilai penggunaan teknologi e-counting pada Pemilu Serentak Filipina tahun 2019 terbilang sukses. Sekalipun diaporkan adanya 400 hingga 600 mesin e-counting yang mengalami gangguan pada hari pemungutan suara, namun audit manual acak yang dilakukan beberapa hari sebelum hari pemungutan suara mampu menunjukkan penghitungan suara dengan mesin menghasilkan hasil pemilu yang akurat. Tingkat akurasi untuk penghitungan suara Pemilihan Anggota Senator adalah 99,9971 persen, Pemilihan Anggota Parlemen 99,9946 persen, dan Pemilihan Wali Kota 99,9941 persen.

Atas permasalahan tersebut, dan dengan meminjam pelajaran dari Pemilu Serentak Filipina tahun 2019, Topo merekomendasikan dua hal. Pertama, membagi pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Kedua, menggunakan dan mengoptimalkan teknologi dalam proses pemilu, terutama dalam proses penghitungan dan tabulasi suara. Kedua rekomendasi diharapkan Topo memberikan jaminan untuk keselamatan, kesehatan dan beban kerja yang wajar bagi penyelenggara pemilu.

 

 

Referensi

Al Jazeeraa. 2019. “How the World Votes: 2019”. Data interaktif dalam https://interactive.aljazeera.com/aje/2019/how-the-world-votes-2019/index.html. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 12.15 WIB.

Al Jazeera. 13 November 2019. “Sri Lanka’s presidential election 2019: All you need to know”. Lpitan khusus dalam https://www.aljazeera.com/news/2019/11/sri-lanka-presidential-election-2019-191111123802911.html. Diakses pada 17 Desember 2019,pukul 12.28 WIB.

Al Jazeera. 29 September 2019. “Voter turnout falls sharply in Afghan presidential election”. Berita dalam https://www.aljazeera.com/news/2019/09/voter-turnout-falls-sharply-afghan-presidential-election-190929073943812.html.

CNN.com. 25 April 2019. “Indian officials travel 40 miles into forest so one man can vote”. Liputan khusus dalam https://edition.cnn.com/india/live-news/india-election-2019-latest-updates-intl/index.html. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 12.19 WIB.

DW.com. 2019. “Afghan election sees just one in five voters cast ballot”. Berita dalam https://www.dw.com/en/afghan-election-sees-just-one-in-five-voters-cast-ballot/a-50629649. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 12.55 WIB.

IFES. Data terpublikasi dalam http://www.electionguide.org/countries/id/201/. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 13.04 WIB.

Rappler.com. 12 Mei2019. “2019 Elections: 61 million voters expected to troop to the polls nationwide”. Berita dalam https://www.rappler.com/nation/politics/elections/2019/230366-voters-troop-polls-2019-philippine-elections. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 11.58 WIB.

Sirivunnabood, Punchada. (2019). Laporan ISEAS Yusof Ishak Institute. Laporan dapat dilihat melalui link https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2019_44.pdf. Diakses pada 17 Desember 2019,pukul 12.02 WIB.

The Diplomat. 15 November 2019. “Prolonged Patience: Elections in Afghanistan”. Liputan khusus dalam https://thediplomat.com/2019/11/prolonged-patience-elections-in-afghanistan/. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 12.59 WIB.

The New York Times. 22 Mei 2019. “India Election 2019: A Simple Guide to the World’s Largest Vote”. Liputan khusus dalam https://www.nytimes.com/interactive/2019/world/asia/india-election.html. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 12.37 WIB.

Times of Israel. 17 September 2019. “Voter turnout slightly outpaces April elections”. Berita dalam https://www.timesofisrael.com/voter-turnout-slightly-outpaces-april-elections/. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 12.44 WIB.

Tirto.id. 14 Oktober 2019. “Amandemen UUD 1945: Sejarah & Isi Perubahan Ketiga Tahun 2001. Artikel dalam https://tirto.id/amandemen-uud-1945-sejarah-isi-perubahan-ketiga-tahun-2001-ejHB. Diakses pada 17 Desember 2019, pukul 15.42 WIB.