November 15, 2024

Belajar dari Terobosan KPU

Terobosan KPU menjamin hak pilih bagi orang dengan gangguan jiwa tak bikin pemilu-pemilu sebelumnya bermasalah.

PEMERINTAH punya pandangan lain. Orang yang sedang terganggu jiwa atau ingatannya menurut hukum dikatakan sebagai orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Ia tak dapat dituntut untuk bertanggung jawab karena perbuatannya tak disertai akal sehat.

Pemberian hak pilih yang sama terhadap warga negara dengan gangguan jiwa atau ingatan justru dianggap pemerintah akan menimbulkan permasalahan baru. Ada potensi mobilisasi suara ketika ODGJ dipaksa memilih. Potensi penyalahgunaan suara juga tetap ada jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak menggunakan hak pilih.

“[Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015] bukanlah merupakan diskriminasi dan tidak menghilangkan hak memilih bagi warga negara yang mengidap psikososial atau gangguan mental,” kata Suhajar Diantoro, staf ahli bidang pemerintahan Kementerian Dalam Negeri, saat membacakan keterangan presiden pada sidang perkara uji materi No. 135/PUU-XIII/2015 di Mahkamah Konstitusi (MK).

KPU menyangkal ada pengerahan terhadap suara ODGJ untuk kepentingan kelompok tertentu. Selama melayani pemilih dengan gangguan jiwa, tidak ada laporan terkait mobilisasi masa. KPU, pada pileg dan pilpres 2014 lalu, melayani pemilih dengan gangguan jiwa dengan, salah satunya, membangun tiga tempat pemungutan suara (TPS) di rumah sakit jiwa dengan pijakan Surat Edaran 395/KPU/V/2014.

Jaminan KPU

Di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melayani 62 pemilih dengan gangguan jiwa yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan memilih pada 9 Juli 2014 lalu. Di rumah sakit jiwa Banyumas, KPU melayani 41 pemilih dengan gangguan jiwa yang terdaftar dalam DPT dan memilih pada 9 Juli 2014. Sementara di rumah sakit jiwa Bangli, Bali, KPU melayani 81 pemilih dengan gangguan jiwa.

Sejak UU 8/2015 ini diundangkan, KPU ogah tunduk begitu saja pada ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a tersebut. KPU justru mencoba menyiasati pasal 57 ayat (3) huruf a ini dengan menerbitkan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih. Pasal 4 ayat (3) menegaskan penduduk yang sedang terganggu jiwa atau ingatannya sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pemilih harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Ketentuan ini diadopsi PKPU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih yang berlaku untuk Pilkada 2017 mendatang.

“KPU, berdasarkan prinsip pemenuhan jaminan hak konstitusional warga negara, tetap memberikan pengaturan yang melindungi hak setiap warga negara, termasuk orang yang terganggu jiwa atau ingatannya,” kata Ferry Kurnia Rizkiyansyah, anggota KPU RI.

KPU mengaku akan kerepotan karena adanya pembedaan pengaturan dalam undang-undang pileg atau pilpres dengan pilkada terkait ODGJ. Seorang ODGJ terdaftar dalam DPT pada pileg atau pilpres. Namun, pada pilkada, ODGJ menjadi tidak terdaftar atau dikeluarkan dari DPT karena adanya perbedaan pengaturan.

Ketentuan teknis

Bivitri Susanti, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, sependapat. Ketentuan teknis mengenai kemungkinan orang yang tidak bisa memilih seharusnya ditentukan oleh penyelenggara pemilu, bukan dalam undang-undang.

Menurutnya, undang-undang tak boleh memuat ketentuan yang menggantung—tidak mengkualifikasi lebih lanjut. “Apa yang dimaksud dengan tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya?” tanya Bivitri.

Ketentuan yang tak mengkualifikasi lebih lanjut soal terganggu jiwa dan ingatannyan ini secara substantif melanggar hak semua penyandang disabilitas intelektual dan mental. Syarat untuk didaftar sebagai pemilih merupakan fondasi dari hak untuk memilih. Bila tidak didaftar, jelas-jelas seseorang akan kehilangan hak politiknya.

***