October 4, 2024

Belajar Konsep Pemilu Serentak dari Dua Keterangan Ahli Perludem di Sidang MK

Senin (13/1), Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi pembacaan keterangan ahli untuk perkara No.55/2020 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam sidang tersebut, Perludem menghadirkan dua orang ahli, yaitu Khairul Fahmi, ahli hukum tata negara di Universitas Andalas, dan Didik Supriyanto, ahli pemilu yang juga merupakan Ketua Perludem. Kedua ahli, setelah menjabarkan argumentasi dari sudut pandang hukum tata negara, sejarah perubahan konstitusi, dan praktik pemilu serentak di Amerika Latin dan Indonesia pada 2019, merekomendasikan pemberlakuan pemilu serentak nasional terpisah dengan pemilu serentak lokal dengan jeda waktu dua atau tiga tahun.

Pemilu serentak lokal harus dipisah dari pemilu serentak nasional

Pasal 22 e ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi pasal kunci dalam rekonstruksi desain pemilu serentak nasional oleh dua ahli dari Perludem. Berbeda dengan desain pemilu serentak yang diterapkan pada Pemilu Serentak 2019 yang menyerentakkan pemilihan presiden (pilpres) dengan pemilihan anggota dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan DPR Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota pada satu hari yang sama, pemilu serentak nasional yang dimaksud oleh ahli adalah keserentakan tiga pemilu tingkat nasional saja, yakni pilpres, pemilu anggota DPR, dan DPD. Pemilihan anggota DPRD dinilai mesti dikeluarkan dari pemilu serentak nasional.

Alasan mengapa pemilu DPRD tak perlu diikutkan dalam pemilu serentak nasional dalam perspektif hukum tata negara yakni, pertama, pemilihan serentak nasional yang digabung dengan pemilihan legislatif (pileg) lokal memberikan beban pemilu yang unmanageable kepada penyelenggara pemilu. Fahmi dan Didik mencatat, Pemilu Serentak 2019 diwarnai dengan masalah logistik seperti surat suara kurang, surat suara datang terlambat, surat suara tertukar, dan kekurangan logistik hari H lainnya seperti formulir C1 di sejumlah daerah. Keduanya juga memandang beban pemiilu serentak lima kotak menjadi faktor yang memicu meninggalnya 550 penyelenggara pemilu di tingkat bawah pada Pemilu Serentak 2019.

“Terlepas dari adanya laporan dari Kementerian Kesehatan bahwa faktor yang menyebabkan banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal adalah stroke, gagal jantung, atau alasan kesehatan lain, namun beban penyelenggara pemilu ikut berkontribusi terhadap munculnya masalah tersebut,” kata Fahmi ketika membacakan keterangannya melalui video conference dalam sidang MK di Gambir, Jakarta Pusat.

Kedua, desain pemilu serentak dengan legislatif lokal tak berpengaruh pada penguatan sistem presidensialisme. Fahmi menjelaskan, secara konsep sistem pemerintahan, mekanisme check and balance pada pemerintahan nasional terjadi antara kekuatan eksekutif yang dipegang oleh presiden dengan kekuasaan legislatif yang dipegang oleh DPR. DPRD tak memiliki fungsi check and balance terhadap pemerintah pusat, karena hubungannya dengan Presiden dalam sistem presidensialisme bersifat vertikal.

“Alasan penguatan sistem presidensial dengan menyerentakkan pemilu DPR sesungguhnya tidak relevan. Ini bisa dibaca kembali sesuai Putusan MK No.14/2013 dimana penguatan sistem presidensial yang dimaksud MK adalah hubungan kekuasaan presiden dengan DPR, sama sekali tidak membahas hubungannya dengan kekuasaan DPRD,” tegas Fahmi.

Ketiga, tidak memudahkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara rasional akibat banyaknya kandidat yang mesti dikenali. Hal ini bertentangan dengan semangat Pasal 22 e ayat (1) UUD 1945 yang menghendaki pemilu dilaksanakan dengan asas jujur dan adil. Pun, dengan menjaga hak pemilih untuk memberikan suara secara rasional, secara tidak langsung akan memperkuat sistem presidensil. Salah satu tujuan pemilu adalah untuk mengisi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Jika pemilih diberikan kesempatan untuk mengenali seluruh kandidat, maka pilihan pemilih akan meningkatkan kualitas eksekutif dan legislatif.

Keempat, pemilu DPRD yang disatukan dengan pilpres dan pileg di tingkat nasional tak membawa manfaat bagi diskursus isu-isu lokal. Pemilu 2019 menunjukkan bahwa caleg DPRD sulit berkampanye dengan isu-isu lokal karena masyarakat lebih fokus pada isu-isu nasional, terutama isu yang dibawa oleh kandidat calon presiden.

Dari perspektif hukum tata negara, pemilu serentak lokal dipandang mesti dipisah dari pemilu serentak nasional untuk menyelamatkan konteks otonomi daerah yang dimuat dalam Pasal 18 UUD 1945. Sebagaimana halnya pilpres dan pileg yang dinilai mesti diserentakkan pada satu hari yang sama untuk memperkuat sistem presidensialisme, pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pileg lokal mesti diserentakkan pula untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah dan negara kesatuan Republik Indonesia.

“Jika pilpres hanya diserentakkan dengan pemilihan anggota DPR dan DPD, lalu pemilihan anggota DPRD, sebanding dengan desain keserentakkan pemilu di tingkat nasional yang ditempatkan dalam kerangka penguatan sistem presidensial, maka pemilu DPRD juga ditempatkan sesuai keberadaan DPRD dalam pemerintahan daerah,” jelas Fahmi.

Menurut Didik, dengan memisahkan pemilu serentak lokal dengan nasional, terdapat beberapa keuntungan. Pemerintahan hasil pemilu serentak nasional dapat dikontrol melalui pemilu serentak lokal, sebab jika kinerja pemerintah nasional buruk, pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih kandidat atau partai yang berkuasa di level nasional, begitu pula sebaliknya.

Pemisahan tersebut juga berdampak pada lebih mudahnya pemilih dalam memberikan suara. Penyelenggara pemilu pun tak menanggung beban pekerjaan yang unmanageable, dan partai akan lebih bertanggungjawab kepada konstituen karena terdapat mekanisme evaluasi dalam selang dua pemilu serentak nasional-lokal.

“Partai menjadi bertanggungjawab karena dipaksa terus -menerus mendekati konstituen, karena dalam lima tahun, digelar dua pemilu,” tukas Didik.

Bagaimana pemilu serentak lokal bisa perkuat pemerintah daerah?

Kedua ahli yang dibawa oleh Perludem menempatkan konteks pemilu serentak lokal dalam original intent Pasal 18 UUD 1945. Menurut Fahmi misalnya, Pasal 18 UUD 1945 merupakan satu-kesatuan penjelasan mengenai pemerintah daerah dan otonomi daerah, yang dapat digunakan sebagai landasan untuk dilaksanakannya pemilu serentak lokal. Pasalnya, menurut Fahmi, Pasal 18 memiliki semangat untuk mengefektifkan otonomi daerah, yang wewenangnya diberikan oleh konstitusi.

“Pasal 18 konstitusi menyebutkan bahwa pemerintah daerah menjalankan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi daerah, dalam negara kesatuan, merupakan kerangka konstitusional dalam mendesain sistem pemilihan anggota DPRD. Dalam rangka otonomi daerah, maka desain waktu pemilihan anggota DPRD yang diserentakkan dengan pemilihan anggota DPRD, apalagi pilpres, justru menyebabkan isu daerah kehilangan tempat. Isu-isu pembangunan daerah berbasis otonomi tidak muncul karena tertutupi agenda nasional,” terang Fahmi.

Fahmi, juga Didik, berkeyakinan bahwa jika hendak melaksanakan amanat konstitusi agar pemerintah daerah melaksanakan otonomi daerah, pemilu serentak lokal harus didesain terpisah dari pemilu serentak nasional. Otonomi akan berjalan efektif karena pertama, partai politik sebagai infrastruktur politik di tingkat daerah akan memiliki ruang dan kesempatan lebih untuk mendesain agenda politik berbasis daerah otonom. Kedua, warga negara pemegang hak pilih akan punya kesempatan lebih luas dalam mengenali dan memilih berdasarkan agenda politik lokal partai politik.  Ketiga, sistem akuntabilitas partai akan terbangun berbasis agenda yang diusung di level pemilu yang dilaksanakan. Keempat, asas pemilu jujur dan adil akan lebih mudah dikontrol karena adanya lokus terpisah nasional dan lokal.

“Hilangnya isu daerah di Pemilu 2019, Pileg 2004 dan 2009 berdampak pada kinerja DPRD provinsi dan kabupaten/kota kota karena selama kampanye, partai dan calon tidak memperhatikan publik atas isu-isu daerah. Dgn demikian, fungsi pemilu daerah sebagai wahana bagi pemilih dan calon untuk membahas berbagai masalah daerah sebagai bahan masukan pembuatan kebijakan pemerintah daerah tidak berjalan. Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945 yang menunjukkan ada kaitan jelas antara pemilih untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD dengan fungsi pemerintahan daerah dalam menjalankan otonomi,” terang Didik.

Mengenai apakah pemilu serentak lokal akan dipisah antara level provinsi dan kabupaten/kota, Fahmi menyatakan desainnya tergantung pada fokus otonomi daerah yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang karena Pasal 18 ayat (7) mengatur agar susunan dan tata cara pemerintah daerah diatur dalam undang-undang.

Fahmi juga mengatakan tak menutup kemungkinan ada daerah yang memilih kepala daerah secara tidak langsung. Pasal 18 ayat (4) membunyikan kepala daerah dipilih secara demokratis, tidak eksplisit melalui pemilihan umum.

“Frasa secara demokratis memberi ruang bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan sitem pilkada yang digunakan. Terkait adanya dua pilihan sistem tersebut, MK bahkan pernah mengatakan bahwa pilkada tidak termasuk pemilu, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 22 huruf e konstitusi. Tetapi, ketika ia dilaksanakan secara langsung, pilkada adalah pemilu,” ujar Fahmi.

Adapun rekomendasi dari Fahmi, pilkada langsung lebih baik daripada pilkada tak langsung, karena pilkada langsung dapat memperkuat otonomi daerah. Hal ini juga didukung oleh Didik Supriyanto, yang menyatakan bahwa otonomi daerah membutuhkan pemerintah daerah yang memiliki legitimasi dari rakyat. Keduanya merekomendasikan agar pemilihan gubernur, wali kota, bupati, anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan secara serentak guna mengefensiensi penyelenggaraan pemilu di daerah.

Mengapa tetap pemilu serentak?

Jawaban ini dapat dilihat dari pendahuluan makalah yang ditulis oleh Didik. Ia menulis, bahwa sebelum mengubah konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan lima kesepakatan. Satu, tidak mengubah bagian pembukaan UUD 1945. Dua, tetap mempertahankan NKRI. Tiga, mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Empat, meniadakan penjelasan UUD 1945 dengan mengangkat hal2-hal bersifat normatif ke dalam pasal-pasal. Lima, melakukan perubahan dengan cara adindum.

Dari lima kesepakatan, poin1, 4, dan 5 tak menimbulkan diskursus lebih lanjut. Namun poin 2 dan 3 dilanjutkan dengan diskursus karena rumusan konstitusi yang dibuat menimbulkan banyak tafsir, dan pasal-pasal yang mengatur penguatan sistem presidensialisme di dalamnya amat tebatas.

Ia lanjut menjelaskan bahwa sistem presidensialisme memiliki tiga kelemahan dalam hal efektivitas. Satu, dapat menimbulkan deadlock akibat ketidaksepahaman pihak eksekutif dan legislatif dalam proses legislasi. Dua, adanya keterpisahan politik sebagai dampak dari mekanisme separation power antara legislatif dan eksekutif. Tiga, terjadinya personalisasi kekuasaan pada prsiden. Karena hal itu, sistem presidensialisme seringkali melahirkan devided government atau pemerintahan tidak kongruen, atau kabinet minoritas dalam parlemen. Divided government, secara terminologi adalah pemerintahan dimana presiden bukan berasal dari partai atau koalisi yang menguasai mayoritas di parlemen. Menurut Morris P. Fiorina, divided government disebabkan oleh perbedaan waktu pelaksnaan pileg dan pilpres. Dan, sebagai solusinya, mengikuti Lijphart, yaitu pemilu serentak.

Teori tersebut faktanya teruji di lapangan. Kajian Pinn di Amerika Latin menunjukkan bahwa pemilu serentak tidak hanya berhasil menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen, namun juga berkecenderungan membentuk pemerintahan yang kongruen dimana presiden terpilih berasal dari partai atau koalisi partai yang menguasai mayoritas parlemen. Sebabnya, pemilu serentak mendorong koalisi terbentuk sejak sebelum pemilu, dan keserentakan tersebut memberi dampak coattail effect.

“Pemilu serentak menimbulkan coattail effect. Jelasnya, keterpilihan capres A mempengaruhi keterpilihan partai atau koalisi partai yang mengajukan capres A. Dan, pemilih cenderung memilih capres dan partai pendukung capres A,” kata ujar Didik.

Pada konteks Indonesia, Pemilu Serentak 2019 turut membuktikan bahwa pemilu serentak pilpres dan pileg tingkat nasional melahirkan pemerintahan yang kongruen yang berguna bagi penguatan sistem presidensialisme. Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dipilih oleh 55,05 persen pemilih dan partai-partai pendukungnya mengantongi suara sebesar 60,69 persen kursi DPR. Bandingkan dengan hasil Pemilu 2014 ketika pilpres dan pileg dipisah, dukungan partai-partai parlemen kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla tak cukup besar untuk memastikan program-program presiden berjalan selama dua tahun pertama periode jabatan.

Pemerintahan kongruen di level nasional, sayangnya tak terbentuk di level daerah karena pemilihan DPRD dan pilkada masih terpisah. Saat ini, pemerintah daerah masih terbelah.

MK diharapkan memperbarui putusannya

Hakim MK, Saldi Isra meminta kedua ahli untuk menjelaskan argumentasi teoritis mengapa pengalaman praktis dapat menjadi basis konstitusional untuk menganulir suatu peraturan dan mengapa teori tersebut juga dapat mengoreksi putusan MK sebelumnya. Lebih jauh, ia bertanya soal mengapa pemisahan nasional-lokal merupakan desain yang paling tepat untuk memahami pemilu demokratis sebagaimana dinormakan di dalam UUD 1945.

Terhadap pertanyaan itu, jawaban Didik dapat disimak. Menurutnya, amandemen UUD 1945 berangkat dari basis pengalaman pemilu parlementer, bukan presidensialisme. Dalam sistem parlementer, taka da persoalan divided government antara eksekutif dengan legislative sehingga tak memerlukan pemilu serentak. Namun, dengan sistem presidensialisme, pemilu serentak diperlukan.

“Pengalaman parlementarisme terus mempengaruhi cara pandang kita dalam mengelola pemilu ditengah sistem presidensial. Apa yg disebut pemilu serentak adalah konsep pemilu presidensialisme, karena pemilu eksekutif digabung dengan pemilu legislatif,” kata Didik.

Didik lanjut mengatakan bahwa sistem presidensialisme tak hanya ada di tingkat nasional, tetapi juga lokal dalam wujud otonomi daerah. Jika mengefektifkan sistem presidensialisme merupakan tujuan pemilu nasional, maka tujuan pemilu lokal adalah mengefektifkan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah.

Didik meyakinkan MK untuk mengabulkan permohonan Perludem atas desain pemilu serentak nasional-lokal. Pemilu serentak nasional telah menunjukkan haisl kongruen pada pemerintahan naisonal, tak ada salahnya mencoba di level lokal atau daerah.

“Kalau di nasional sudah terbukti pemilu serentak menghasilkan pemerintahan yang kongruen di 2019, maka sudah sewajarnya kalau kita mencoba itu juga di level daerah,” tutupnya.

Pada sidang keterangan ahli Perkara No.55/2019, hadir pula ahli dari MK untuk Perkara lain yang juga terkait desain pemilu serentak, yakni Ramlan Surbakti. Seperti Fahmi dan Didik, Ramlan merekomendasikan pemilu serentak nasional-lokal, namun dengan jangka waktu 30 bulan. Perludem meminta jeda waktu dua atau tiga tahun.