Kelas Pemilu Kedua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) membahas aktor pemilu. Rabu (22/4), pembahasan difokuskan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kelas virtual ini, Deputi Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati memaparkan materi mengenai model penyelenggara pemilu, prinsip-prinsip penyelenggara pemilu, siklus pemilu dan kerja penyelenggara pemilu, fungsi KPU, rekrutmen anggota KPU, serta tata kelola pemilu.
Model penyelenggara pemilu
Terdapat tiga model lembaga penyelenggara pemilu, yakni model independen, model lembaga penyelenggara pemilu pemerintah, dan model kombinasi.
Pada model independen, lembaga penyelenggara pemilu terpisah dari cabang eksekutif dan memiliki otoritas untuk mengatur keuangan dan program kerja sendiri, tanpa campur tangan lembaga negara lainnya. Model ini juga menghendaki agar komisioner dan staf kesekretariatan berasal dari unsur non pemerintah, biasanya akademisi, peneliti dan pegiat pemilu.
Model independen merupakan model yang paling banyak diterapkan di dunia, terutama oleh negraa-negara yang mengalami transisi dari negara otoritarian menjadi demokrasi. Contoh negara yang menerapkan model ini yaitu Indonesia, Armenia, Australia, Bosnia Herzegovina, dan Kanada.
“Kalau lihat statistik, yang paling banyak diterapkan itu yang model independen. Ada 63 persen. Yang menerapkan model ini memang khususnya negara-negara baru yang bertransformasi ke sistem demokrasi,” kata Khoirunnisa.
Lalu pada model pemerintah, penyelenggaraan pemilu diorganisir oleh lembaga eksekutif negara, biasanya kementerian dalam negeri (kemendagri) atau pemerintah daerah (pemda). Biasanya pula, ketua dari penyelenggara pemilu pemerintah ialah menteri atau pemimpin kabinet, yang bertanggungjawab kepada presiden. Contoh negara yang menerapkan model pemerintah yaitu Denmark, Selandia Baru, dan Singapura.
“Tapi biasanya itu untuk pemilu saja. Kalau referendum terpisah penyelenggaraanya,” tukas Khoirunnisa.
Dan pada model kombinasi, lembaga penyelenggara pemilu terdiri atas dua komponen struktur, yakni pemerintah dan independen. Unsur pemerintah mengurus tahapan pemilu, dan unsur independen membuat kebijakan dan melakukan pengawasan. Prancis dan negara-negara di Afrika Barat menerapkan model ini.
Prinsip-prinsip penyelenggara pemilu
Ada tujuh prinsip yang mesti dipegang oleh penyelenggara pemilu. Pertama, independensi. Prinsip ini memiliki dua pengertian. Secara kelembagaan, bahwa lembaga penyelenggara pemilu adalah lembaga yang mendiri atau lembaga bagian dari kementerian atau pemerintahan. Secara perilaku, penyelenggara pemilu tak boleh dipengaruhi atau tunduk pada pihak manapun.
“Kerangka hukum menjadi dasar daru independensi KPU. Kalau dia model penyelenggarannya independen atau kombinasi, komitmen para personil untuk independen jauh lebih penting sehingga butuh kepemimpinan yang kuat,” jelas Khoirunnisa.
Kedua, imparsialitas. KPU mesti berperilaku adil, merata, dan setara kepada semua peserta pemilu. Dalam model penyelenggara pemilu pemerintah, prinsip ini juga mengartikan bahwa penyelenggara tak boleh condong mendukung partai politik pemerintah.
Ketiga, integritas. Ditunjukkannya perilaku berintegritas oleh penyelenggara pemilu akan menjaga kepercayaan publik. Oleh karena itu, dibutuhkan aturan yang memberikan wewenang kepada KPU untuk menindak anggota atau staf kesekretariatan KPU yang mengancam integritas lembaga.
Keempat, transparansi. Prinsip ini berkaitan dengan operasional teknis penyelenggaraan pemilu dan keuangan. Transparansi pun dapat mencegah perilaku koruptif karena keterbukaannya akan memberikan keberdayaan kepada pemantau dan masyarakat untuk mengidentifikasi penyimpangan.
“Kalau KPU menerapkan prinsip-prinsip transparansi, maka ini bisa mencegah KPU dalam tindakan-tindakan yang koruptif, dan bisa mengidentifikasi pelanggaran finansial, kepemiluan, atau lemahnya kompetensi, atau perilaku favoritisme kepada kelompok tertentu,” ujar Khoirunnisa.
Kelima, efisiensi. Tahapan dan program yang diatur oleh KPU mesti efisien dalam hal anggaran.
Keenam, profesionalisme. KPU dan kesekretariatannya mesti bekerja secara teliti dan akurat, serta memiliki pengetahuan mengenai kepemiluan dan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
“Tidak haya komisioner, tetapi juga secretariat penting diisi oleh orang-orang yang terlatih dan punya kompetensi teknis yang bisa menyelenggarakan pemilu dengan standar profesionalitas yang tinggi,” pungkas Khoirunnisa.
Ketujuh, prinsip pelayanan. KPU wajib memberikan pelayanan maksimal, baik kepada seluruh peserta pemilu maupun pemilih.
“Mengutip salah satu mantan anggota KPU periode 2007-2012, Abdul Aziz, KPU harus punya tagline rumah makan cepat saji, bisa dijangkau kapan saja,” tuturnya.
Masa kerja KPU
Masa kerja KPU seiring dengan siklus pemilu, dan siklus pemilu yakni pra pemilu, pemilu, dan pasca pemilu. Artinya, kerja KPU bukan hanya ketika adanya tahapan pemilu, melainkan pada pra pemilu, yaitu membuat peraturan KPU.
“Pasca pemilu ini evaluasi. Di negara-negara yang menggunakan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan, itu bisa dilakukan. Arti berkelanjtuan kan ada atau tidak ada pemilu, daftar pemilih itu tetap di-update,” terangnya.
Fungsi KPU
Sama seperti jumlah prinsip penyelenggara pemilu, KPU juga memiliki tujuh fungsi. Pada fungsi personalia, jutaan penyelenggara pemilu di jajaran KPU, yakni dari KPU RI, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), mesti bekerja secara profesional. Agar fungsi ini berjalan baik, maka dibutuhkan pelatihan peningkatan kapasitas penyelenggara.
Fungsi keuangan, KPU melakukan penyusunan, pembahasan, dan pengawasan terhadap anggaran yang dikelolanya.
“Anggaran untuk menyelenggarakan pemilu tidak kecil, untuk itu harus bisa dipertanggungjawabkan,” kata Khoirunnisa.
Lalu pada fungsi hukum, KPU berfungsi menafsirkan dan menyusun peraturan perundnag-undangan. KPU juga dapat memberikan rekomendasi dan saran untuk pembentukan undnag-undang pemilu.
“KPU kan punya pengalaman menyelenggarakan pemilu, itu bisa jadi catatan dalam pembentukan undang-undang terkait teknis penyelenggaraan pemilu. Misal, dari evaluasi KPU terhadap pemilu lima kotak kemarin itu,” ujarnya.
Fungsi lainnya yakni investigasi. Jika selama penyelenggaraan pemilu di lapangan, KPU menemukan masalah teknis dan administrasi, maka KPU dapat menggunakan fungsi investigasinya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
KPU juga memiliki fungsi logistik dan operasional. Logistik mesti dipersiapkan, personil di lapangan perlu diarahkan, dan jaringan komunikasi mesti dipelihara.
Selain itu, KPU pun berfungsi sebagai pengolah data pemilu. Data pemilu dapat diolah untuk tujuan pendidikan pemilih, atau sebagai data riset kepemiluan.
“Banyak hal bisa dipelajari dan dimaknai dari data-data kepemiluan yang ada,” ucap Khoirunnisa.
Fungsi terakhir, yakni informasi dan publikasi. KPU mesti mempublikasikan informasi yang dimiliki terkait tahapan dan proses penyelenggaraan pemilu guna meningkatkan partisipasi dan kepercayaan publik.
Rekrutmen KPU
Jadwal rekrutmen angota KPU, menurut Ninis, perlu disesuaikan dengan jadwal pemilu. Jika rekrutmen dilakukan di tengah berlangsungnya tahapan pemilu, maka dikhawatirkan fokus petahanan anggota KPU dalam penyelenggaran pemilu akan berkurang. Kondisi ini juga tak ideal untuk memberikan waktu cukup bagi penyelenggara pemilu yang baru untuk beradaptasi.
“Di draf UU pemilu yang sekarang sudah memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Tapi kalau melihat rekrutmennya, belum disesuaikan dengan jadwal itu. Jadi, mumpung masih draf, masih bisa dapat masukan, teman-teman penyelenggara bisa kasih masukan terkait ini,” tandasnya.
Tak sembarang orang boleh menjadi anggota Tim seleksi. Ada lima syarat yang metsi dipenuhi, yakni memiliki reputasi dan rekam jejak yang baik, memiliki kredibilitas dan integritas, memahami permasalahan pemilu, memiliki kemampuan dalam melakukan rekrutmen seleksi, dan tidak sedang menjabat sebagai penyelenggara pemilu. Tim seleksi juga idealnya memiliki perspektif gender yang baik, agar tidak menstigma perempuan calon anggota KPU yang memiliki kondisi khusus.
“Seperti dulu kan ada perempuan sedang hamil mengikuti seleksi. Tapi lalu dia tidak diterima karena dianggap tidak mampu karena sedang hamil,” ungkap Khoirunnisa.
Tata kelola KPU dan Sekretariat
KPU nasional adalah regulator, KPU provinsi adalah coordinator, dan KPU kabupaten/kota adalah implementator. Anggota KPU nasional bertugas membuat kebijakan secara kolektif kolegial, bertanggung jawab atas divisi tertentu, menjadi koordinator wilayah (korwil) tertentu, dan memimpin kelompok kerja tertentu.
Sementara itu, ketua merangkap anggota KPU nasional bertugas memimpin rapat pleno dan seluruh kegiatan KPU, bertindak untuk dan atas nama KPU ke luar dan ke dalam, mengkoordinir divisi dan korwil, memfasilitasi pelaksanaan tugas-tugas divisi dan korwil, dan memfasilitasi knowledge sharing antar divisi.
Pada masing-masing jajaran KPU hingga KPU kabupaten/kota, terdapat sekretariat yang bertugas sebagai supporting system. Sekretaris jenderal KPU bertanggung jawab secara administratif dan fungsional kepada ketua KPU RI. Sekretaris KPU provinsi bertanggung jawab secara fungsional kepada ketua KPU provinsi dan secara administratif kepada sekretaris jenderal KPU RI. Sekretaris KPU kabupaten/kota bertanggung jawab secara fungsional kepada ketua KPU kabupaten/kota dan secara administratif kepada sekretaris KPU provinsi.
“Jadi, ada dua tanggungjawab, fungsional dan administrasi. Fungsional itu lebih terkait tahapan, program, dan jadwal. Sementara administrasi itu lebih ke anggaran dan kepegawaian,” jelas Khoirunnisa.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini kemudian menjelaskan bahwa kesekretariatan KPU telah bertransformasi. Sebelumnya staf KPU berasal dari pegawai negeri sipil yang bertugas di Kemendagri atau Pemda, namun kini staf KPU diambil melalui rekrutmen terbuka. Tujuannya, kata Titi, agar terbangun nilai-nilai kelembagaan KPU yang independen, mandiri, dan profesional.
“Ini adalah refleksi dari sejarah kita. Ketika kita menginginkan orang-orang yang profesional, non partisan, dan tidak bias untuk menyelenggarakan pemilu, oleh karena itu undnag-undang tegas membagi, sekretarariat untuk administrasi, sementara anggota KPU bertanggungjawab terhadap program yang sifatnya fungsional dan implementasi kepemiluan. Ini yang harusnya jadi komitmen kelembagaan KPU, sehingga tidak terjadi tarik-menarik otoritas,” terang Titi.
Dengan desain kelembagaan yang ada, menurut Titi, tak ada sekretariat KPU yang merasa lebih mampu menyelenggarakan pemilu dari anggota KPU, dan tak ada anggota KPU yang merasa keberadaan sekretariat menghambat penyelenggaraan.
“Keduanya mestinya jadi penyeimbang yang saling mendorong,” tutup Titi.