Sampai akhir Maret 2018 terdapat lima calon kepala daerah yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Mereka adalah calon gubernur NTT, calon gubernur Lampung, calon gubernur Sulawesi Tenggara, calon bupati Subang, dan calon bupati Jombang.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, kelima calon kepala daerah tersebut tidak dapat mengundurkan diri karena tidak ada syarat pengunduran diri yang dipenuhi. Karena itu dua alternatif solusi ditawarkan oleh sejumlah kalangan. Pertama, meminta Presiden membuat dan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang isinya memperbaiki UU yang ada, sehingga siapa saja calon kepala daerah yang menjadi tersangka wajib mengundurkan diri, dan partai berhak mengajukan calon pengganti.
Perppu dan aturan pencalonan
Menteri dalam negeri (mendagri) memastikan pemerintah tidak setuju membuat dan mengeluarkan perppu, dan sebagai gantinya meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan. Solusi kedua ini ditolak oleh KPU karena merasa tidak memiliki dasar hukum untuk membuat peraturan seperti itu. Intinya, KPU tetap berpendirian sesuai dengan UU. Dengan demikian, calon kepala daerah yang menjadi tersangka tetap dapat melakukan kampanye, bahkan dapat saja terpilih seperti yang pernah terjadi pada kasus walikota Tomohon dan bupati Buton.
Pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1988, calon presiden dari Partai Demokrat, Gary Hart, diprediksi oleh para ahli yang melakukan jajak pendapat akan memenangkan pemilihan presiden. Menawarkan program yang menarik perhatian publik Amerika, dan berpenampilan seperti mantan Presiden John F Kennedy, Gary Hart dinilai oleh banyak kalangan memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi. Pemungutan suara tinggal beberapa bulan lagi.
Tetapi pada suatu hari tabloid Amerika memuat foto yang menggemparkan, yaitu seorang perempuan dengan pakaian renang (kalau tidak salah, Donna Rice) duduk di atas pangkuan calon presiden Demokrat tersebut di depan kolam renang.
Walaupun tidak ada hukum yang dilanggar oleh Gary Hart dengan memangku perempuan tersebut (karena suka sama suka, tanpa paksaan), keesokan harinya Gary Hart memundurkan diri sebagai calon presiden. Mengapa dia mengundurkan diri pada hal tidak ada hukum yang dilanggar?
Jawabannya sederhana tetapi menentukan. Sang calon tidak akan terpilih karena mayoritas pemilih Amerika Serikat tidak menghendaki calon presiden yang sudah mempunyai istri tetapi berselingkuh dengan perempuan lain. Para pemilih Amerika Serikat tidak menghendaki calon presiden yang womanizing (suka main perempuan). Pemilih Amerika memang unik dalam hal keluarga: menghendaki presiden yang mencintai istri dan keluarganya, dan pada hari Minggu presiden dan keluarganya ke gereja.
Karena Amerika adalah negara hukum, baik pemerintahannya maupun masyarakatnya —lima dari 10 warga negara Amerika adalah Sarjana Hukum, negara yang memiliki pengacara yang paling banyak di dunia — maka para pemilih tidak akan memilih calon presiden (calon senator, calon anggota DPR, calon gubernur, dan calon walikota) yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh instansi penegak hukum. Karakteristik seperti ini berlaku baik untuk calon presiden dari Partai Demokrat maupun dari Partai Republik.
Calon yang menjadi tersangka mengundurkan diri bukan karena mereka sangat bermoral dan memegang teguh etika (perilaku politisi cenderung sama saja di seluruh dunia), tetapi karena calon tersebut berkeyakinan tidak akan terpilih. Sekali lagi karena mayoritas pemilih tidak menghendaki calon yang tidak pantas dari segi keluarga dan tidak menaati hukum.
Alternatif solusi hukum memang lemah karena salah satu prinsip negara hukum (rule of law) adalah due process of law, seperti presumption of innocence. Seseorang dianggap telah melanggar hukum bila pengadilan memutuskan yang bersangkutan terbukti bersalah dengan meyakinkan, dan amar putusan pengadilan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap. Bagaikan aktor yang taat hukum, para politisi dengan segera melalui pengacaranya akan menggunakan ketentuan ini. Para politisi cenderung menaati hukum bila sesuai dengan kepentingannya.
Hukum cenderung dipahami dalam konteks kepentingan politisi yang bersangkutan. KPU juga tidak bisa menyebarluaskan informasi bahwa calon kepala daerah tertentu telah ditetapkan KPK sebagai tersangka karena tersangka belum tentu bersalah. Bila menyebarluaskan informasi seperti itu para anggota KPU akan diadukan kepada KPK sebagai melanggar kode etik penyelenggara pemilu, yaitu tidak menghormati hukum.
Solusi yang paling ideal tetapi mungkin sukar dilaksanakan untuk konteks Indonesia dewasa ini adalah pihak ketiga melakukan kampanye untuk menyebarluaskan informasi perihal calon kepala daerah yang telah ditetapkan KPU sebagai tersangka karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan Pihak Ketiga (the Third Party) adalah antara lain pemantau pemilu, berbagai organisasi masyarakat sipil yang melaksanakan pendidikan pemilih, dan media massa. Pesan yang hendak disampaikan Pihak Ketiga ini bukan informasi tentang calon yang melanggar hukum melainkan informasi tentang calon kepala daerah yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga melakukan tindak pidana korupsi pada kasus atau proyek tertentu.
Pemilih cerdas
Dua kesulitan melaksanakan solusi ini. Kesulitan pertama, pemantau pemilu ataupun organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang pendidikan pemilih dewasa ini kian sedikit, baik karena sudah tidak ada donor yang menyediakan dana maupun semakin sedikit warga negara yang tertarik terlibat dalam pemantauan pemilu ataupun pendidikan pemilih.
Kesulitan kedua berkaitan dengan kesadaran dan kepedulian pemilih akan integritas, kompetensi dan kepemimpinan sang calon. Sebagian pemilih menyerupai pemilih di Tomohon dan Buton yang memilih calon yang menjadi tersangka. Keterpilihan calon yang menjadi tersangka sangat mungkin karena kriteria keterpilihan calon kepala daerah bukan mayoritas (50 persen + 1), bukan pula suara terbanyak yang minimal mencapai 30 persen, melainkan mencapai jumlah suara lebih banyak dari jumlah suara dari masing-masing pasangan calon lain.
Barangkali deskripsi tentang “kadar kedaulatan pemilih” mungkin dapat menggambarkan kesadaran dan kepedulian pemilih Indonesia. Pertama, Warga Negara Indonesia (WNI) yang berhak memilih tetapi terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan KPU. Jumlah WNI berhak memilih yang tidak terdaftar sangat kecil. Derajat cakupan WNI yang terdaftar pada DPT diperkirakan sudah mencapai 95 persen.
Kedua, WNI berhak memilih, terdaftar dalam DPT, dan menggunakan hak pilihnya. Berdasarkan pemilu anggota DPR pada tahun 2014, jumlah pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya hanya 75,11 persen. Sebanyak 24,89 persen pemilih terdaftar tidak menggunakan hak pilihnya. Pilkada yang mencapai prestasi terendah dalam penggunaan hak pilih adalah pemilihan walikota Medan pada tahun 2016 yang hanya mencapai 26 persen.
Ketiga, jumlah WNI terdaftar, menggunakan hak pilih, dan suaranya sah. Pada pemilu presiden pada tahun 2014 jumlah surat suara tidak sah mencapai 1,02 persen (1.379.690 suara). Jumlah surat suara tidak sah pada pemilu anggota DPR tahun 2014 mencapai 10,77 persen (15.076.606 suara). Jumlah surat suara tidak sah pada pemilu anggota DPR lebih besar daripada pemilu presiden.
Keempat, pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilih secara sah tetapi memberikan suara secara cerdas. Sukar untuk mengetahui secara pasti jumlah pemilih yang memberikan suara secara cerdas.
Memberikan suara secara cerdas adalah memberikan suara berdasarkan pertimbangan tentang integritas, kompetensi, dan kepemimpinan politik dan administrasi sang calon. Pemilih cerdas seperti ini akan membandingkan pasangan calon dari tiga kriteria itu. Dia akan memilih pasangan calon yang terbaik dari tiga kriteria itu, dan dia akan memilih untuk tidak memilih bila tidak ada pasangan calon yang memenuhi ketiga kriteria tersebut.
Pemilih cerdas niscaya tidak akan memberikan suara karena uang (jual-beli suara) atau karena “serangan fajar.” Pemilih cerdas tidak akan memberikan suara hanya berdasarkan tradisi, dan tidak akan memberikan suara semata-mata karena kekaguman pada pasangan calon tetapi tanpa dasar atau bukti. Pemilih cerdas tidak akan memberikan suara semata-mata karena pertimbangan suku, agama, ras ataupun jenis kelamin. Pemilih cerdas tidak akan memberikan suara karena ujaran kebencian SARA atau informasi bohong (hoaks).
Berdasarkan derajat kedaulatan pemilih di atas dapat disimpulkan betapa tantangannya sungguh berat. Karena keterbatasan sumber daya (dana) dan aktivis seyogianya ketiga provinsi dan dua kabupaten (daerah yang memiliki calon sebagai tersangka) itu dijadikan sebagai fokus atau prioritas. Betapapun sukar dan berat, kampanye dalam bentuk pendidikan pemilih ini perlu dilakukan agar menjadi preseden positif pada masa yang akan datang (baca: agar pada masa yang akan datang setiap calon yang ditetapkan tersangka oleh penegak hukum akan mengundurkan diri bukan karena hukum tetapi tidak akan dipilih oleh pemilih).
Ramlan Surbakti, Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 9 April 2018 di halaman 6 dengan judul “Calon Kepala Daerah sebagai Tersangka”. https://kompas.id/baca/opini/2018/04/09/calon-kepala-daerah-sebagai-tersangka/