January 31, 2025

Calon Tunggal di Pilkada 2017 Meningkat, Hasyim Asyarie: Pilpres Juga Bisa Calon Tunggal

Dalam catatan akhir tahunnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memberikan perhatian pada meningkatnya calon tunggal di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017. Dari tiga calon di Pilkada 2015, meningkat tiga kali lipat di Pilkada 2017.

“Pilkada 2015 itu ada di 269 daerah. Calon tunggalnya hanya tiga. Tapi di 2017, daerahnya lebih sedikit, yaitu 101, tapi calon tunggal ada sembilan orang,” kata Peneliti  Perludem, Fadli Ramadhanil, pada acara “Catatan Akhir Tahun Perludem: Masih Prosedural, Belum Substansial” di Guntur, Jakarta Selatan (27/22).

Menurut Fadli, fenomena calon tunggal menandakan politik yang tidak sehat. Kaderisasi partai tidak berjalan maksimal, membuktikan partai tidak menjalankan fungsinya untuk menyiapkan figur-figur pemimpin terbaik. Kegagalan fungsi partai diperparah dengan tak adanya aturan yang membatasi jumlah dukungan.

Gak ada itu batasan maksimal jumlah dukungan. Sehingga, calon nyaris mendapat dukungan dari 100 persen kursi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah),” ujar Fadli.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asyarie, ikut angkat bicara. Menurutnya, ada kecenderungan sentralisme kepartaian oleh para pembentuk Undang-Undang (UU). Pasalnya, pimpinan partai di daerah tak bisa mencalonkan kepala daerah jika tak mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari pimpinan pusat. Hukuman pidana akan diberikan kepada pimpinan daerah dan anggota KPU yang mencalonkan dan menerima pendaftaran calon yang tak memiliki SK Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai.

“Jadi, kalau misal pengurus daerah partai nekat mau calonin orang yang gak dapat SK dari DPP, dia bisa dipidana. Maka, pencalonan kepala daerah adalah wewenang pusat. Pengurus daerah yang melihat si A bagus, tapi kalau A tidak dapat SK, tidak bisa dicalonkan,” terang Hasyim.

Selanjutnya, Hasyim mengatakan bahwa fenomena calon tunggal dimungkinkan terjadi oleh Undang-Undang (UU) No.7/2017. Ketentuan di Pasal 235 ayat (6) menyebutkan, jika setelah perpanjangan masa pencalonan presiden-wakil presiden hanya terdapat satu pasangan calon, maka tahapan pemilihan presiden tetap dapat diteruskan.

“UU menyiapkan pintu untuk adanya calon presiden tunggal. Jadi, benar-benar bisa terjadi selama Pasal 235 ayat (6) tidak direvisi melalui mekanisme JR (judicial review),” tandas Hasyim.