August 8, 2024

Calonkan Anggota TNI/Polri AKTIF di Pilkada, Partai Politik Khianati Perjuangan Reformasi

“Tahun ini, tepat 20 tahun reformasi. Dulu, partai-partai politik tegas ingin mengeluarkan TNI (Tentara Nasional Indonesia)/Polri (Polisi RI) dari kegiatan politik praktis, tapi sekarang justru partai malah membuka pintu lebar-lebar agar TNI/Polri aktid kembali berpartisipasi dalam kontestasi politik,” ujar Wahyudi Djafar, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), pada diskusi “TNI/Polri dalam Kontestasi Pilkada 2018: Pertahankan Supremasi Sipil, Jaga Netralitas TNI Polri” di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat (9/1).

Ungkapan Wahyudi mengheningkan ruangan, kemudian mendorong para narasumber diskusi untuk bicara lebih berani.

Wahyudi tak menghalangi warga negara Indonesia berlatar belakang TNI/Pori untuk menjajal peruntungan di kontestasi Pilkada langsung. Namun, poinnya, tidak pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai perwira aktif.

“Mereka selama 30 tahun sudah terlibat dalam politik. Jika belajar sejarah, saat TNI/Polri aktif berpolitik, pasukan-pasukan Kodam (Komandan Daerah Militer) Siliwangi dikerahkan untuk memenangkan partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang dianggap sebagai partainya tentara. Nah, kita gak mau di Pilkada ada pengerahan pasukan TNI untuk memenangkan kandidat-kandidat tertentu,” terang Wahyudi.

Dengan dicalonkannya anggota TNI aktif oleh partai politik, mencerminkan kegagalan partai dalam melanjutkan agenda reformasi di sektor keamanan. Partai seharusnya merampungkan aturan yang menyempurnakan profesionalitas TNI sebagai penjaga pertahanan dan kedaulatan wilayah RI dan Polri sebagai penjaga keamanan dalam negeri.

“Ini seperti membuka keran kembali politik militer di dalam kekuasaan yang dulu ditentang dalam semangat reformasi. Mereka (partai politik) gagal melanjutkan reformasi di sektor keamanan,” tegas Wahyudi.

Lanjutnya, partai tak cermat melihat celah penegakan hukum. Belum ada peraturan yang jelas dalam menindak anggota TNI/Polri yang melakukan pelanggaran selama pemilu atau pilkada. Misalnya, mobilisasi massa untuk memilih kandidat tertentu.

“Pemilu kan punya penegakan hukum sendiri, sementara militer tunduk pada Pengadilan Militer. Kalau ada mobilisasi TNI/Polri, mereka akan ditindak dengan hukum yang mana? Kalau Pengadilan Militer gak ada tentang penegakan hukum pemilu karena militer gak terlibat di dalam politik praktis,” tutup Wahyudi.