Bermacam ukuran baliho dan spanduk wajah calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Jawa Tengah (Jateng) terpampang di jalan-jalan, dari kota hingga desa.Foto kedua pasangan calon (Paslon) lengkap dengan tagline itu, berlomba-lomba mendapatkan simpati warga.
Tahun ini, Jateng memiliki dua kandidat, yakni paslon Gubernur dan calon Wakil Gubenur nomor urut 1, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi (Hendi) yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kemudian paslon Gubernur dan calon Wakil Gubernur nomor urut 2, Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin) yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKB, PPP, Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS.
Tentunya, tak semua masyarakat Jateng mengenal sosok tersebut sebelumnya. Namun, banyak pula yang tak asing. Cornell Gea misalnya. Warga Kota Semarang berumur 30 tahun, mengaku tak lagi asing kepada kedua paslon tersebut.
“Kedua paslon Gubernur dan calon Wakil Gubernur bukan wajah baru untuk saya sebagai warga Jateng. Yang sudah pernah berurusan dengan warga di Jawa Tengah ada Hendi, Taj Yasin dan Luthfi,” katanya kepada Serat.id (5/11).
Para paslon menggunakan seluruh kekuatan dan strategi untuk menggaet hati rakyat. Tak jarang pula mereka menyambangi masyarakat seperti di pasar tradisional, kedai kopi atau tempat berkumpul anak muda. Maklum saja, masa kampanye Cagub dan Cawagub Jateng cukup pendek untuk mendapatkan simpati rakyat.
Mereka mendapat waktu kampanye dari 25 September hingga 23 November. Dengan waktu yang hampir dua bulan itu, dimanfaatkan para paslon untuk menjaring aspirasi. Cornell menyontohkan wajah calon Gubernur Ahmad Luthfi yang terpampang di jalan-jalan di Jateng yang membuat banyak orang jadi mengenalnya.
“Jadi kalau ditanya, tau Luthfi dari mana? ya dari tempelan spanduk dan baliho di jalan-jalan,” ucapnya.
27 November 2024 akan menjadi hari penting bagi masyarakat Jateng. Pada tanggal tersebut akan diadakan pemilihan kepala daerah atau Pilkada calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur periode 2024-2029. Masyarakat Jateng tentu akan memilah sebelum menentukan pilihannya. Sebab, keputusan mereka menentukan nasib banyak orang.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah mencatat Daftar Pemilih Tetap (DPT) Cagub dan Cawagub 2024 sebanyak 28.427.616 orang. Puluhan juta orang itu akan memilih di 56.812 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.
Kalau Andika, lanjut Cornell, cukup sering melihat di media massa, terlebih saat pemilihan presiden awal tahun ini. Andika merupakan wakil ketua Tim Pemenangan Nasional calon Presiden dan calon Wakil Presiden Ganjar-Mahfud.
“Kita semua sebenarnya sudah muak dengan janji-janji calon Gubernur. Dari dulu janji ini itu tapi kalau sudah jadi (Gubernur) lupa semua dan melakukan kebalikan dari janjinya,” katanya.
Sampai hari ini, Cornell menilai tidak ada rencana jelas dari kedua calon untuk mengatasi persoalan di Jawa Tengah.
“Misal kekeringan dan banjir yang makin parah tiap tahun. Jadi harapan saya, ke depan kita sebagai masyarakat harus lebih proaktif menuntut hak-hak kita. Tanpa itu, pejabat manapun gak akan memperdulikan hak masyarakat,” ucapnya.
Namun dia berharap siapa pun yang akan memimpin Jateng, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membangun Jateng. “Jangan melulu mengutamakan orang-orang kaya,” imbuhnya.
Adu Kuat Tim Pemenangan
Jawa Tengah seolah-olah menjadi Provinsi “Paling Penting”. Hal itu nampak dalam tim pemenangan yang melibatkan elit Partai. Tim Andika-Hendi, ada nama Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga mantan Gubernur Jateng dua periode (2013-2023), Ganjar Pranowo.
Lalu nama mantan Gubernur Jateng (2008-2013), Bibit Waluyo, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Wihaji yang juga mantan Bupati Batang Jawa Tengah (2017-2022) masuk ke dalam tim Luthfi-Yasin.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath mengatakan keterlibatan ketua partai dan mantan gubernur menunjukkan bahwa Pilgub Jateng lebih dilihat sebagai ajang perebutan kekuasaan nasional ketimbang sebagai sebuah proses demokrasi lokal.
“Ini bisa mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap independensi pilkada dan menjadikan pemilihan kepala daerah lebih sebagai medan pertarungan bagi para elit politik, bukan untuk kepentingan rakyat secara langsung,” ujarnya.
Meskipun Jateng merupakan provinsi yang memiliki pengaruh politik yang signifikan, penekanan pada “keuntungan politik” yang bisa didapat dari kemenangan di Pilgub Jateng, justru bisa menciptakan persepsi negatif tentang politisasi daerah.
Kong Kalikong dengan Penguasa
Dalam kontestasi pemilihan Cagub dan Cawagub Jateng, ada cawe-cawe kepala Negara terhadap pasangan calon tertentu. Beredar di media sosial jika Presiden Prabowo Subianto diduga mendukung salah satu paslon. Apakah Pilkada Jateng se-“sexy” itu?
Dosen FISIP Universitas Diponegoro (Undip), Yuwanto, menyebut, Pilkada Jateng dianggap “sexy” karena mungkin ada pihak yang ingin menghentikan “lenggak-lenggok Jateng sebagai kandang banteng”.
“Sehingga bisa menjadi inspirasi nasional bagi pihak tersebut,” katanya.
Dia menilai, kecenderungan, bahkan fakta arah dukungan Presiden Prabowo dan Mantan Presiden Jokowi adalah hal lumrah dan biasa dalam politik.
“Karena politik itu penihakan apalagi dalam kontestasi pemilu. Sama seperti para calon pemilih juga tentu akan berpihak sesuai pilihan mereka,” ucapnya.
Menurut Yuwanto, Jokowi tidak masalah (mendukung paslon) karena sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden.
“Tetapi untuk incumbent Presiden Prabowo, seyogyanya lebih berhati-hati karena bisa jadi bumerang,” katanya.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Jawa Tengah, Bambang Wuryanto dan Ketua DPD Partai Gerindra Jateng, Sudaryono tidak memberi keterangan apa pun saat dikonfirmasi.
Annisa mengatakan kedekatan paslon Cagub dan Cawagub Jateng dengan tokoh-tokoh nasional seperti Presiden dan mantan Presiden bisa menjadi kelebihan dan kekurangan sekaligus.
“Di satu sisi, kedekatan ini bisa memberikan keuntungan dalam hal dukungan politik, namun di sisi lain, ini bisa menimbulkan persepsi bahwa Pilgub Jateng lebih ditentukan oleh kekuatan politik di tingkat pusat daripada oleh aspirasi dan keinginan rakyat Jawa Tengah,” katanya.
Hal ini bisa mengarah pada ketidakpercayaan publik terhadap independensi calon dan menciptakan kesan bahwa Pilgub Jateng adalah perpanjangan dari kebijakan politik di tingkat nasional.
“Bukan pemilihan yang murni untuk mencari pemimpin daerah yang terbaik,” terangnya.
Annisa menegaskan, Presiden dan mantan Presiden seharusnya tidak memperlihatkan kedekatan kepada salah satu paslon.
“Sebaiknya hindari cawe-cawe dalam kontestasi Pilgub Jateng,” katanya.
Saat dikonfirmasi, Koordinator Divisi Humas, Data, dan Informasi Bawaslu Jateng, Sosiawan tidak memberi keterangan apa pun terkait dugaan dukungan Presiden Prabowo Subianto kepada salah satu paslon.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Arif Maulana menilai dukungan Presiden Prabowo kepada salah satu paslon Cagub dan Cawagub Jateng menciderai demokrasi dan melanggar UU Pilkada.
“Video dukungan berdurasi 5 menit itu menciderai demokrasi dan melanggar Pasal 71 ayat (1) jo Pasal 188 dari UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Karena Prabowo tidak sedang cuti,” katanya.
Arif menilai dukungan Presiden bisa dijadikan preseden dan akan ditiru oleh pejabat lain karena dianggap boleh untuk dilakukan.
“Kerusakan ini dibiarkan oleh lembaga-lembaga pengawas. Bukan hanya karena mereka dibentuk oleh penguasa, tetapi juga mereka makin kaya dan berkuasa dengan kerusakan yang mereka buat,” terangnya. []
Praditya Wibisono, Jurnalis serat.id
Liputan ini telah terbit di serat.id merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.