August 8, 2024

Cerita di Balik Buku Jalan Terjal Perempuan Politik

Rabu (3/2), lebih dari 200 pegiat politik dan demokrasi memenuhi ruang virtual untuk menyaksikan penuturan kisah dibalik buku “Jalan Terjal Perempuan Politik”. Buku ini diterbitkan atas kerjasama Forum Diskusi Denpasar 12  dan Media Indonesia. Terdiri atas 31 tulisan karya 25 tokoh perempuan politik Indonesia yang pernah dipublikasi oleh Media Indonesia, judul buku diambil dari artikel yang ditulis oleh legislator perempuan, Mientarsih Moentoro.

“Idenya disampaikan kepada saya setahun yang lalu, saat kami ngobrol-ngobrol. Lalu timbullah ide untuk menuliskan apa yang terjadi di hadapan kita dengan dunia politik dan perempuan di Indonesia. Hasil diskusi tersebut dituangkan dalam sejumlah tulisan yang dimuat secara berkala di Media Indonesia,” kisah Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, pada peluncuran buku.

Banyak kisah yang dituturkan oleh para penulis buku pada diskusi tersebut. Terjal! Suatu kata sifat yang memang tepat untuk dipasangkan dengan kata “perempuan”.

Aliran di hulu sungai mampat

“Kita ingin ada penguatan afirmasi, tapi sayangnya tidak terjadi. Tidak ada political will dari partai politik untuk mengadopsi itu di Undang-Undang (UU) Pemilu atau di UU Parpol. Padahal, afirmasi perempuan itu utamanya harus diadakan dulu di hulunya, di partai politik,” kata politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lena Maryana Mukti.

Lena mengisahkan bahwa partai politik sendiri menjadi tantangan bagi arus politik perempuan. Partai politik terlampau maskulin dan menjadi institusi tempat tumbuhnya oligarki. Oligarki atau kekuasaan oleh orang-orang yang menguasai kekayaan material menyebabkan mampatnya karir kader perempuan partai untuk turut memimpin partai di posisi-posisi menentukan. Sang oligark diuntungkan dalam sistem pemilihan langsung pimpinan partai yang memberi ruang bagi politik transaksional.

“Misalnya, di PPP sendiri, dulu sistemnya formatur. Dengan sistem ini, kekuatan-kekuatan di partai, baik yang memilih atau tidak memilih pimpinan partai semuanya diakomodir. Tetapi, ketika sistem pemilihannya langsung, pernah terjadi the winner bukan saja takes all, tetapi the winner kills all the enemies. Budaya seperti ini, pemilihan langsung, memberikan sumbangsih pada politik transaksional, mengabaikan merit system, dan politik oligarki muncul ke permukaan,” kisah Lena.

Perempuan di dalam institusi partai kerap kali tak ditempatkan di posisi pimpinan. Oleh karena itu, penting agar partai politik memiliki komitmen atau dipaksa untuk menjalankan kebijakan afirmasi perempuan di partai. Lena berharap agar revisi UU Partai Politik mewajibkan partai politik untuk memilih 30 persen perempuan di dalam struktur kepemimpinan partai di setiap tingkatan. Kehadiran perempuan baru akan terasa berbeda apabila semakin banyak perempuan di posisi menentukan.

“Partai politik harus mengakomodir representasi 30 persen perempuan di struktur kepemimpinan partai. Bukan saja di struktur umum, tapi di pengurus harian. Karena di situlah terjadi proses pembuatan keputusan dan perumusan kebijakan,” tandas Lena.

Afirmasi perempuan yang efektif lewat revisi UU Pemilu

Kebijakan afirmasi dalam konsepnya merupakan sebuah kebijakan khusus yang diambil sementara untuk mencapai kesetaraan. Perempuan perlu diberikan afirmasi karena politik perempuan jauh tertinggal dari politik yang dijalankan oleh para laki-laki. Perempuan terhalang oleh beban ganda, kekerasan dalam rumah tangga, stereotipe, stigma, dan ketidakadilan ekonomi.

“Jadi, afirmasi itu tindakan khusus sementara. Afirmasi tidak boleh dipelihara terus-menerus karena kita mau punya situasi yang setara dan seimbang itu. Ketika sudah setara dan seimbang, maka tidak relevan lagi afirmasi,” jelas anggota pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini saat moderator diskusi menolak memberikan afirmasi kepada perempuan Minang yang menurutnya, telah menempati posisi tinggi dalam strata sosial Minang.

Bicara soal afirmasi, Titi menyampaikan bahwa kebijakan afirmasi perempuan di UU Pemilu sejak 2009 hingga 2019 mengalami stagnasi. Tidak ada kebijakan afirmasi yang ditambah untuk mencapai keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen. Padahal, posisi Indonesia dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen dibawah rata-rata Asia Tenggara. Saat ini, persentase perempuan di DPR RI hanya 20,5 persen.

Demi majunya politik perempuan Indonesia, diperlukan penguatan kebijakan afirmasi lewat revisi UU Pemilu dan UU Partai Politik. Terdapat empat kebijakan yang mesti diadopsi oleh para pembuat UU. Pertama, menormalisasi jadwal Pilkada dan tidak menyerentakkan Pilkada dengan Pemilihan Anggota DPR RI.

“Agar, perempuan bisa menggunakan Pilkada sebagai uji mesin sebelum tarung di Pileg (Pemilihan Legislatif). Contoh, PPP baru menetapkan kepengurusan baru. Ada 17 orang perempuan yang jadi bagian dari kepengurusan di DPP. Kalau Pilkadanya tidak dipaksakan pada 2024, perempuan-perempuan ini bisa menggunakan momentum Pilkada untuk uji kemampuan politik mereka, uji kemenangan mereka sebelum menuju Pileg,” ujar Titi.

Kedua, senada dengan Lena, revisi UU Partai Politik mewajibkan partai untuk memberikan ruang bagi perempuan dalam struktur kepengurusan partai.

Ketiga, penempatan perempuan di nomor urut 1 di minimal 30 persen daerah pemilihan (dapil). Keempat, 30 persen dana bantuan partai politik diperuntukkan bagi kepentingan perempuan, seperti kaderisasi perempuan, dan pelatihan untuk kader perempuan.

Basis sosial yang mendukung perempuan

Terlepas dari bantuan lewat kebijakan afirmasi, sebab sistem pemilihan legislatif yang masih berlaku adalah proporsional daftar calon, maka perempuan tetap mesti berjuang untuk mengumpulkan modal sosial. Jika tak dikenal masyarakat, perempuan tak akan dapat dukungan.

Dukungan dari masyarakat yang mau mendukung kepemimpinan perempuan ini juga bukan perkara gampang, menurut Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya. Perempuan dikerubungi oleh stigma dan nilai yang terkesan sakral untuk diperdebatkan. Padahal, politik adalah hal profan.

“Perempuan sulit didiskusikan di ranah agama. Belum lagi masalah psikologis dan atribusi nilai-nilai perempuan, bahwa perempuan cinta damai, peduli, bisa merawat, lebih detil, yang dalam perbincangan, malah bisa jadi amunisi yang berpotensi mematahkan kesetaraan gender,” pungkas Yunarto.

Sebab kuatnya budaya patriarki di masyarakat yang jelas tidak menguntungkan bagi perempuan, maka infrastruktur sosial mesti disiapkan agar ramah terhadap perempuan. Warisan baik dari kepemimpinan perempuan, juga citra baik politisi perempuan amat berguna bagi terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap politik perempuan.

Usman Kansong, Ketua Dewan Redaksi Media Group, menyatakan dukungannya kepada perempuan. Tak boleh lagi terjadi kisah perempuan yang sulit menembus media. Perempuan didorong untuk berani bersuara, dan media tak akan segan untuk menggemakan suara para perempuan.

Politik  kesetaraan, ke situlah kita akan menuju

“Sebab saat ini kita tidak setara”. Itu kalimat yang terus diulang oleh para penutur perempuan dan laki-laki. Menekankan pentingnya kesetaraan dalam politik dan demokrasi yang sesungguhnya. Hanya ketika masyarakat setara, demokrasi dapat menjelma sebagai alam yang ramah bagi siapa pun untuk mewakili dirinya sendiri dan kelompoknya, berbicara untuk kepentingan-kebutuhan hidup tiap-tiap orang dan masyarakatnya.

“Semoga bisa membukakan mata kepada masyarakat untuk menyadari potensi yang dimilikinya dan berani berdiri dan berjuang bahwa kita punya kesempatan yang sama,” tutup Lestari pada sambutan diskusi peluncuran buku “Jalan Terjal Perempuan Politik”.

Politik kesetaraan, ke situlah kita akan menuju dan membangun. Semoga tak butuh waktu 46 tahun lagi, seperti kata International Institute for Democracy and Electoral Assistance, untuk terwujud politik yang setara di Indonesia. Jika ya, semoga panjang umur perjuangan politik perempuan dan semua kelompok minoritas yang masih berebut kesetaraan.