Dalam sistem pemerintahan presidensial, deadlock atau tak berjalannya pemerintahan kerap terjadi akibat pemerintah yang dipimpin oleh seorang presiden tidak mendapatkan dukungan mayoritas atau signifikan dari legislatif. Untuk mengatasi hal tersebut, di negara-negara dengan sistem presidensial, utamanya di kawasan Amerika Latin, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dilakukan secara bersamaan dalam satu hari yang sama. Harapannya, pemilih akan memilih calon legislatif atau partai politik yang merupakan partai politik pengusung calon presiden yang dipilih. Dengan demikian, calon presiden terpilih didukung oleh partai politik yang mendukung presiden terpilih dengan kursi yang signifikan karena partai politik mendapatkan perolehan suara yang besar sebagaimana perolehan hasil calon presiden. Sebagai dampak sistemik, kebijakan presiden terpilih tak akan tersendat di parlemen sehingga pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien.
Psikologi pemilih yang dianggap akan memilih partai politik pengusung presiden inilah yang disebut dengan istilah coattail effect. Popularitas atau elektabilitas calon presiden dinilai dapat mendongkrak perolehan suara partai politik pengusung calon presiden. Namun, jika calon presiden tak memiliki elektabilitas yang tinggi, hal tersebut juga berpengaruh terhadap minimnya perolehan suara partai politik pengusung.
Faktanya, di Pemilu Serentak 2019, coattail effect tidak sepenuhnya bekerja, terutama bagi partai politik yang tak dapat mengusung calon presiden dari kadernya sendiri. Bagi dua partai politik yang pimpinan partai dan kadernya maju sebagai calon presiden (capres), yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), coattail effect terjadi di sebagian besar daerah pemilihan (dapil) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Elektabilitas capres dan basis massa kedua partai, serta basis massa partai asal calon wakil presiden (cawapres) dan partai-partai pengusung menentukan raihan suara partai politik dan capres-cawapres.
Memeriksa coattail effect pasangan calon (paslon) capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amien terhadap partai-partai pengusung di dapil DPR RI
Joko Widodo atau Jokowi-Ma’ruf Amien menang di 44 dari 80 dapil DPR RI. 61,36 persen kemenangan Jokowi-Ma’ruf adalah di daerah dengan basis massa PDIP sangat besar, besar, dan cukup besar. Berikut grafik kemenangan Jokowi-Ma’ruf berdasarkan perolehan hasil partai politik di dapil DPR RI.
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa kemenangan Jokowi-Ma’ruf terbanyak ialah di dapil DPR RI dengan perolehan suara terbanyak untuk PDIP. Dengan kata lain, elektabilitas paslon Jokowi-Ma’ruf paling banyak memberikan coattail effect yang baik terhadap PDIP. Secara total, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf membuat PDIP mendapatkan suara cukup besar, besar, dan sangat besar di 40 dapil DPR RI. Hanya 4 dapil dimana Jokowi-Ma’ruf menang, yang tidak memberikan perolehan suara besar untuk PDIP, melainkan partai-partai pengusung lain, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, dan Partai Golongan Karya (Golkar).
Di sisi lain, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf tak membuat paslon ini meraih suara terbanyak di beberapa dapil dengan perolehan suara PDIP yang cukup besar atau besar. Jokowi-Ma’ruf kalah oleh paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di 13 dapil dengan perolehan suara PDIP yang cukup besar atau besar. 13 dapil itu yakni, Sumut I, Riau I, Bengkulu, DKI Jakarta I, DKI Jakarta II, Jabar I, Jabar VI, Jabar IX, Jabar X, Banten III, Kalsel II, Sultra, Malut. Namun sebagian besar, yakni di 23 daerah, Jokowi-Ma’ruf kalah di dapil DPR RI dengan perolehan suara PDIP kecil.
Data di atas menunjukkan bahwa coattail effect paslon Jokowi-Ma’ruf terhadap PDIP cukup signifikan. Pemilih yang tidak memilih paslon Jokowi-Ma’ruf juga tidak memilih PDIP di Pemilu DPR RI. Namun, terdapat 13 daerah lain yang banyak pemilih memberikan suara kepada PDIP sehingga perolehan suara PDIP cukup besar atau besar, tetapi ada lebih banyak pemilih yang memilih paslon Prabowo-Sandi sebagai paslon presiden-wakil presiden.
Di dapil Sumut I misalnya, perolehan suara PDIP adalah yang terbesar dibanding partai politik lainnya, yakni 20,89 persen. Begitu pula dengan total perolehan suara partai-partai pengusung Jokowi-Ma’ruf lebih besar 6 persen dari perolehan suara partai-partai pengusung Prabowo-Sandi. Namun, pemilih lebih banyak memilih paslon Prabowo-Sandi. Dengan demikian, di 13 daerah ini, pemilih melakukan split ticket voting, yaitu pemilih memilih kandidat dari partai A pada suatu pemilihan, namun memilih partai C pada pemilihan lain yang diselenggarakan secara bersamaan (Burden & Helmke, 2009).
Split ticket voting dapat terjadi dalam dua arah, yakni vertikal dan horizontal (Campbell & Miller, 1957). Split ticket voting vertikal dilakukan ketika pemilihan diadakan untuk posisi di berbagai tingkat pemerintahan secara bersamaan, dan pemilih memutuskan untuk tidak memilih kandidat atau partai politik secara konsisten. Misalnya, pemilih memilih kandidat yang berbeda dari partai politik yang berbeda untuk presiden dan anggota parlemen, atau untuk kepala daerah dan kandidat legislatif daerah.
Sementara itu, split ticket voting horizontal dapat terjadi ketika pemilihan dilakukan untuk posisi yang setara. Contohnya, pada sistem pemilihan dua suara yang digunakan di Jerman, Selandia Baru, Lituania, dan Hungaria.
Split ticket voting juga bisa terjadi pada pemilu yang tidak dilakukan secara bersamaan. Indonesia pada 2014 misalnya, pileg yang dilaksanakan sebelum pilpres memungkinkan pemilih untuk melakukan split ticket voting dengan memilih paslon presiden-wakil presiden yang berasal dari partai politik yang berbeda dengan pilihan partai pemilih di pileg.
Jika memetakan linier atau tidaknya hasil perolehan suara paslon presiden-wakil presiden dengan total perolehan suara partai-partai pengusung di Pemilu Serentak 2019, ada tiga pola yang tercipta. Pertama, persentase suara paslon presiden-wakil presiden linier dengan persentase jumlah suara partai-partai politik pengusung. Dalam hal ini, linier berarti perbedaan antara persentase suara paslon dengan partai-partai pengusung tidak lebih dari 5 persen. Pada kasus Jokowi-Ma’ruf, kasus linier terdapat di 27 dapil DPR RI. Kedua,persentase suara paslon lebih besar dari total persentase suara partai-partai pengusung. Ada 20 dapil dengan kasus ini pada Jokowi-Ma’ruf. Ketiga, persentase suara paslon lebih kecil dari total persentase suara partai-partai pengusung. Persentase suara Jokowi-Ma’ruf lebih kecil dari total persentase suara partai-partai pengusungnya di 33 dapil DPR RI. Berikut grafiknya.
Grafik menunjukkan bahwa di daerah dengan perolehan suara linier, paslon Jokowi-Ma’ruf lebih banyak menang. Begitu juga dengan daerah dimana suara Jokowi-Ma’ruf lebih banyak dari total suara partai-patai pengusungnya. Jokowi-Ma’ruf lebih banyak menang. Jokowi-Ma’ruf hanya kalah di 1 dapil di pola kedua, yakni di DKI Jakarta I dengan suara untuk PDIP besar, yaitu 20,79 persen. Sebaliknya, di daerah dimana total suara partai-partai pengusung lebih besar dari suara Jokowi-Ma’aruf, paslon ini lebih banyak kalah.
Jika membandingkan dengan data perolehan suara Prabowo-Sandi dan partai-partai pengusungnya di dapil DPR RI, terlihat bahwa banyaknya jumlah partai parlemen DPR RI yang mengusung Jokowi-Ma’ruf berdampak pada banyaknya jumlah kasus perolehan suara Jokowi-Ma’ruf yang lebih kecil dari total perolehan suara partai-partai pengusungnya. Pada data Prabowo-Sandi, kasus tersebut hanya terjadi di 6 dapil. Perbandingannya 1:5. Jokowi-Ma’ruf diusung oleh 6 partai politik parlemen nasional, sementara Prabowo-Sandi diusung oleh 4 partai politik parlemen nasional.
Dengan demikian, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf tidak selalu berpengaruh terhadap perolehan suara partai-partai pengusungnya atau dengan kata lain, coattail effect tidak signifikan bekerja untuk seluruh partai pengusung paslon. Coattail effect hanya terlihat nyata terjadi pada partai politik pengusung utama paslon, yaitu PDIP. Ada juga satu partai lain yang mendapatkan coattail effect, yakni PKB. Cawapres Jokowi, Ma’ruf Amien merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), basis massa PKB, terutama di Jawa Timur.
Data-data tersebut juga menunjukkan bahwa perolehan suara partai politik pengusung (selain PDIP) di dapil lebih ditentukan oleh basis massa partai di dapil, daripada coattail effect paslon. Sebagai contoh, Partai Golkar, salah satu pengusung Jokowi-Ma’ruf di dapil Aceh I. Meski Jokowi-Ma’ruf kalah telak dengan hanya memperoleh suara 14,33 persen, namun perolehan suara Partai Golkar tetap cukup besar, yaitu 16,83 persen. Jauh lebih besar dari perolehan suara PDIP yang hanya 1,84 persen. Begitu juga dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Popularitas Jokowi-Ma’ruf tak membuat partai ini mendapatkan suara besar. Di dapil Bali dimana Jokowi-Ma’ruf menang telak dengan angka 91,68 persen dan PDIP mendapatkan suara 54,36 persen, Hanura mesti puas dengan 3,63 persen perolehan suara.