August 8, 2024
Print

Dadu Anggaran Pilkada

Hingga detik ini anggaran pilkada serentak 2015 masih menggelinding liar. Persis seperti dadu yang dilempar seorang bandar judi. Dadu berputar sangat kencang, padahal sudah saatnya berhenti. Sebagaimana halnya anggaran pilkada, belum ada tanda-tanda pasti dadu anggaran berhenti di angka berapa. Tahapan pilkada yang dijadwalkan KPU sudah lewat, namun bandar belum mau mengintervensi.

Hampir seluruh Pemda yang ikut pilkada tak mampu membuktikan kesiapan yang sesungguhnya, bahwa angggaran yang dijanjikan berada dalam posisi siap jumlah dan siap cair. Indikatornya sederhana, Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) antara Pemda dan KPU di daerah untuk Pilkada belum tersedia. Keberadaan NPHD inilah yang menjadi syarat utama agar tahapan Pilkada dapat dieksekusi dengan pasti.

Kenapa belum? Karena semua daerah menanti-nanti kejelasan pengaturan dari Mendagri tentang pedoman belanja pilkada, serta pengesahan sejumlah Draf PKPU. Tanpa perlindungan regulasi teknis, wajar saja daerah khawatir melangkah. Artinya, masalah sebenarnya ada di pusat!

Kendati ada daerah yang mengambil langkah maju untuk mencetak dan menandatangani NPHD, Kabupaten Bima misalnya, maka dipastikan muatannya belum mengakomodir kebutuhan biaya kampanye. Sisa kebutuhan anggaran pilkada masih berwujud komitmen Pemda, bukan kepastian ketersediaan anggaran. Dengan harapan, anggaran yang kurang bisa ditampung di APBD Perubahan.

Harapan serupa juga dialami oleh sejumlah besar KPU di daerah lainnya. Sementara kita ketahui, besaran biaya kampanye untuk empat metode sebagaimana diatur dalam UU 8/2015 itu bukan nilai yang kecil: debat kandidat, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, serta iklan media cetak dan media elektronik. Porsinya bisa memakan 20 hingga 50 persen dari kebutuhan anggaran pilkada, bahkan lebih. Walaupun pilkada dapat berjalan dengan NPHD yang seadanya, namun dadu anggaran masih terus berputar.

Bukan hanya terkait pembiayaan kampanye saja, banyak daerah peserta pilkada yang hingga saat ini kepastian anggarannya tidak utuh, masih janji. Komitmen berani Pemda ini bisa disebut mengkhawatirkan. Pertama, karena pengesahan APBD-P harus melalui beberapa tahapan, ada konsekwensi waktu. Lazimnya di daerah, pembahasan APBD-P dimulai Agustus atau September tahun berjalan.

Andai pun Pemda mengambil langkah akseleratif, maka paling cepat dapat dimulai pada awal Juni, mempertimbangkan batas akhir keluarnya Laporan Audit BPK untuk Laporan Keuangan Pemda tahun sebelumnya. Setelah itu SiLPA faktual baru dapat dipastikan nominalnya, untuk kemudian disisihkan guna kebutuhan pilkada.

Kedua, tidak ada jaminan kalau sisa kebutuhan pilkada ini mampu dipenuhi oleh APBD Perubahan, kemampuan fiskal daerah berbeda-beda. Contohnya Pekalongan dan Majene, jangankan melakukan pengeluaran mendahului APBD-P, bahkan celah ruang fiskalnya pun dapat dikatakan nihil.

Ketiga, untuk menyetujui anggaran yang diajukan KPUD saja Pemda sudah gamang. Banyak daerah yang pengajuan anggaran pilkadanya disetujui lebih rendah dari kebutuhan. Apalagi nanti jika dibenturkan dengan proses politik di DPRD, alamat persoalan semakin rumit. Tarik ulur kepentingan politik anggaran tak bisa dihindarkan. Tak jarang ketuk palu molor jauh, bahkan dengan jumlah anggaran pilkada yang belum tentu sesuai dengan komitmen awal.

Macam skenario penyetujuan itu sangat mungkin terjadi. Saat tahapan dan dinamika di atas sedang berlangsung, di saat yang sama pula pilkada sedang menuntut belanja yang besar dan ketersediaan anggaran yang likuid. Dapat dibayangkan betapa gusarnya KPU di daerah jika nanti berhadapan dengan situasi seperti ini. Belum lagi menghadapi dampak politik yang mungkin ditimbulkan.

Karena bersikeras dengan situasi sekarang, berarti Pemda dan KPU di daerah bertaruh nasib dengan ramalan cuaca politik di masa depan. Seberapa pun kuatnya janji dan komitmen Pemda, tanpa NPHD dengan nominal yang utuh, tetap saja pilkada 2015 masih wacana.

Lempar dadu sembunyi tangan

Serangkaian hambatan yang dihadapi Pemda dan KPU di daerah saat ini tidak bisa disebut tak ada masalah. Ketidaktersediaan dan atau ketidakmampuan anggaran di daerah adalah masalah. Keduanya merupakan persoalan yang berbeda. Kalau memang anggaran di daerah tersedia dengan mantap, maka Kemendagri sebaiknya mempublikasi daerah-daerah yang dianggap siap. Agar masyarakat bisa memantau dan melakukan cek & balance.

Kalau memang daerah mampu penuhi anggaran pilkada, maka Kemendagri harus jelaskan kemampuan yang dimaksud seperti apa. Faktanya ada beberapa daerah yang kritis. Bagi pusat nilai 10-15 miliar mungkin dianggap kecil, namun bagi daerah itu nilai yang cukup besar. Sehingga, mampu atau tidak mampu adalah soal yang substansial dalam pilkada, bukan teknis. Informasi rinci dari Kemendagri ini penting, karena hingga saat ini kesiapan yang dimaksud masih bayang-bayang.

Menyangkut kemampuan daerah, Kemendagri juga tentu menyadari bahwa kebutuhan pilkada umumnya mengikis 1% dari APBD. Sepintas tampak kecil, namun kalau diselami lebih dalam, proporsi antara belanja langsung dan belanja tak langsung di daerah lazimnya masih 30:70. Kalau APBDnya 1 triliun, maka belanja publiknya berkisar 300 miliar. Begitu pola yang ada di daerah, serupa walau tak sama.

Nah, dalam hal geser-menggeser anggaran, tentu saja daerah akan memilih untuk memangkas anggaran pelayanan publik atau anggaran pembangunan, ketimbang mengeruk isi belanja tak langsung. Karena gaji dan segala bentuk tunjangan ada di situ. Pada akhirnya, memaksa pilkada 2015 tanpa dukungan yang berarti hanya akan membawa dampak yang lebih luas: merugikan masyarakat. Anggaran yang sudah  terkonfigurasi rapi untuk pembangunan daerah, mendadak digeser begitu saja. Pemerintah jangan korbankan daerah.

Menyadari situasi ini, Pemerintah dalam hal ini Kemendagri, tidak bisa berpangku tangan. Setelah melempar dadu, Kemendagri seharusnya tidak bergeser dari tempat duduknya dan siap bertindak untuk segala kemungkinan. Sekedar menunggu laporan hasil utak-atik anggaran daerah tanpa mau peduli potensi kekacauan yang ditimbulkan, cukup untuk mengatakan Kemendagri abai dan tidak serius. Belum lagi menganggap persoalannya cuma waktu.

Perhatikan saja jadwal yang sudah didesain oleh KPU RI dengan sangat ketat, aktivitas yang mulai berkonsekwensi anggaran itu 19 April: pembentukan PPS dan KPPS, sudah lewat! Dengan waktu yang sangat sempit ini, sekedar untuk memenuhi payung hukum untuk memulai tahapan saja pun Kemendagri dinilai kurang memuaskan. Kalau tak ingin disebut lamban. Jadi, untuk persoalan waktu ujungnya sudah tampak, tahapan pilkada semakin ditekan. Persis seperti sistem kebut semalam, pilkada seperti ini sangat mungkin berantakan. Dimana letak keseriusanya?

Kalau memang serius, Kemendagri harus bersedia turun tangan untuk masalah anggaran pilkada. Bukan hanya dengan memanggil daerah yang belum siap, namun juga mengembalikan opsi dukungan APBN untuk pilkada. Lagi pula, pada awalnya opsi dukungan APBN memang ada di Perppu 1/2014 dan UU 1/2015, entah siapa dan mengapa sehingga opsi ini dihilangkan di UU 8/2015. Kalau alasannya pilkada merupakan tanggungjawab daerah, maka Pemerintah tidak layak turut campur dengan waktu pelaksanaannya, dan setelah itu mengabaikan kondisi daerah.

Justru karena pilkada serentak adalah agenda Pemerintah yang istimewa, demi penataan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, maka Pemerintah berkepentingan untuk mengatur pelaksanaannya. Siap mengantisipasi resiko-resikonya, termasuk antisipasi soal anggaran pilkada.

Besaran anggaran yang mungkin dikeluarkan oleh APBN dijamin tidak akan menimbulkan kegalauan fiskal yang berarti bagi Pemerintah. Jumlahnya tidak akan sebesar wacana-wacana pengeluaran negara seperti: bantuan keuangan untuk partai politik yang pernah disinggung Mendagri dengan sangat bersemangat, atau seperti pemberian fasilitas uang muka untuk pembelian kendaraan pejabat yang pernah diteken oleh Presiden.

Pilkada serentak 2015 ini sedang menghadapi tantangan substansi dan teknis sekaligus. Dengan persiapan yang memadai pun, pilkada belum tentu memberikan hasil yang baik. Apatah dengan persiapan yang setengah-setengah, tidak terbayangkan bagaimana hasilnya nanti. Wajar bila kemarin KPU RI memberikan batasan waktu, karena ini soal kesiapan penyelenggaraan.

Jika Pemerintah masih tidak mau memberi peran kepada APBN, maka dadu anggaran tak akan berhenti berputar, sedangkan tahapan yang sudah dijadwal terus berjalan. Itu sebabnya, kalau Pemerintah merasa tak mampu mengendalikan situasi seperti ini, maka memundurkan pilkada serentak ke Juni 2016 bukan sesuatu yang memalukan. Pikirkan lagi! []

Kholilullah P.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)