August 8, 2024

Darurat Pilkada 2020 OLEH MOCH NURHASIM

Ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Budiman dan Pramono Ubaid positif terinfeksi Covid-19. Demikian pula beberapa komisioner KPU daerah dan anggota stafnya seperti di Tangerang Selatan dan Makassar serta 96 pengawas pemilihan kepala daerah di Boyolali. Setidaknya, 60 calon kepala daerah juga terindikasi positif Covid-19.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang diharapkan tidak menjadi kluster baru penyebaran Covid-19 justru sebaliknya yang terjadi, situasi pandemi ternyata tidak bisa diperkirakan. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pilkada 2020 begitu yakin dan optimistis bahwa pilkada tetap bisa digelar pada 9 Desember 2020.

Meskipun faktor-faktor risiko pandemi telah diantisipasi dengan adanya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 yang diubah menjadi PKPU No 10/2020, masih banyak persoalan yang akan dihadapi para penyelenggara pilkada hingga 9 Desember 2020.

Setidaknya, 60 calon kepala daerah juga terindikasi positif Covid-19.

Kurang antisipasi

Menurut hemat penulis, paling tidak ada tiga tipe persoalan pelik bagi penyelenggaraan Pilkada 2020. Pertama, kesiapan protokol Covid-19 pada setiap tahapan pilkada yang tidak disertai dengan sanksi yang jelas.

Kedua, disiplin peserta pemilu dan pemilih dalam menerapkan protokol Covid-19 agar pilkada yang sehat dan aman dapat dipenuhi. Aman dimaksud di sini adalah aman bagi keselamatan nyawa manusia (human security), baik penyelenggara, peserta, maupun pemilih.

Ketiga, persoalan kekosongan payung hukum karena payung hukum Pilkada 2020 lebih berorientasi pada pilkada pada situasi normal, bukan pilkada pada situasi darurat.

Kekosongan hukum itu terjadi sebagai akibat dari adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang kurang mengantisipasi situasi pandemi Covid-19. Perkiraan kurva kasus Covid-19 akan melandai pada September atau Oktober, pun ternyata meleset.

Saat ini, Pilkada 2020 berada pada situasi ”bahaya” bagi keselamatan manusia. Apalagi belum ada payung hukum Pilkada 2020 yang mengatur sanksi secara tegas bagi peserta, pemilih, dan penyelenggara yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. Tak mengherankan jika muncul pertanyaan, mengapa calon peserta Pilkada 2020 yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 tidak didiskualifikasi atau diberi sanksi yang berat.

Polemik sanksi bagi para peserta yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 mencuat ke permukaan setelah para bakal calon kepala daerah tidak disiplin saat melakukan pendaftaran.

Dari sisi pengaturan Pilkada 2020, belum ada satu pun pengaturan sanksi yang diatur pada tingkat undang-undang maupun peraturan KPU. Kekosongan hukum ini berpotensi bisa menimbulkan polemik penyelenggaraan pilkada yang berkepanjangan atau menimbulkan persoalan saling lempar tanggung jawab.

Saat ini, Pilkada 2020 berada pada situasi ”bahaya” bagi keselamatan manusia.

Menyerahkan sanksi diskualifikasi dan sanksi pidana lain berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2020 dan PKPU Nomor 10 Tahun 2020 justru dapat menimbulkan persoalan baru karena PKPU yang dikeluarkan bisa dianggap melampaui batas kewenangan yang tidak diatur pada undang-undang.

Akibatnya, potensi malapraktik pada Pilkada 2020 masih sangat tinggi dan berpeluang terjadi pada tahapan kampanye sebagai tahapan krusial berkaitan dengan pengerahan dan kerumunan massa. Arak-arakan massa dan kerumunan pada saat pendaftaran bakal calon kepala daerah yang terjadi hampir meluas di sejumlah tempat perlu menjadi pembelajaran.

Situasi tersebut selain membahayakan keselamatan penyelenggara, peserta dan masyarakat, juga tidak sesuai dengan ekspektasi pemerintah bahwa para peserta pemilu diharapkan taat asas pada protokol Covid-19, dengan tidak menghimpun massa yang jumlahnya melebihi ketentuan.

Di atas kertas ada Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020, tetapi— sekali lagi—sifatnya hanya seperti ”imbauan”. PKPU tidak bisa melarang bakal calon untuk mengerahkan massa pada setiap tahapan, apalagi melakukan diskualifikasi karena tidak ada perubahan sama sekali terhadap pasal mengenai kampanye.

Selain itu, hampir tidak ada pasal pada UU Pilkada yang mengatur mengenai sanksi bagi peserta pilkada dan/atau pihak lain yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.

Akibatnya, KPU lebih bermain ”aman”, tidak berani mengambil risiko mengeluarkan peraturan yang dapat dianggap melebihi kewenangannya. Semua itu terjadi akibat payung hukum Pilkada 2020 yang masih sumir, seakan-akan pilkada diselenggarakan pada situasi normal.

Persoalan di atas patut menjadi pelajaran bagi penyelenggara dan pemerintah. Idealnya, protokol kesehatan Covid-19 menjadi bagian integral yang perlu disebut pada undang-undang (UU) sebagai prasyarat wajib yang harus ditaati oleh semua pihak karena di dalamnya mengatur larangan dan sanksi yang pasti dan jelas. Selama tidak ada pengaturan pada UU, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berisiko apabila membuat tafsir secara teknis yang melebihi kewenangannya karena bisa diduga melanggar etik.

Semua itu terjadi akibat payung hukum Pilkada 2020 yang masih sumir, seakan-akan pilkada diselenggarakan pada situasi normal.

Lanjut atau ditunda?

Selain berbagai persoalan di atas, penyelenggaraan Pilkada 2020 juga menjadi semakin kompleks. Kompleksitas ini berkaitan dengan perkembangan situasi pandemi Covid-19 yang terus mengalami peningkatan. Dengan situasi demikian, apakah Pilkada 2020 tetap akan dilanjutkan atau ditunda?

Penundaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 sebenarnya sangat memungkinkan. Ada tiga argumen yang bisa menjadi pertimbangan.

Pertama, angka kasus Covid-19 terus meninggi di hampir di semua provinsi. Secara teknis penyelenggaraan, dalam Pilkada 2020 memang hanya sembilan provinsi yang akan memilih gubernur dan wakilnya, tetapi secara faktual hampir 28 provinsi menyelenggarakan Pilkada 2020, khususnya untuk memilih bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota. Artinya, hanya tersisa dua provinsi, yakni DKI Jakarta dan Aceh Nangroe Darussalam.

Sebagai perhelatan politik, pemilu atau pilkada adalah sebuah peristiwa politik yang melibatkan banyak orang. Pada Pilkada 2020 setidaknya ada 738 bakal pasangan calon atau setara dengan 1.476 orang yang telah mendaftar di KPU (data 7 September 2020). Belum lagi ditambah dengan calon perseorangan dan tim sukses setiap bakal calon.

Apabila setiap bakal pasangan calon memiliki tim sukses sebanyak 15 orang, maka sekitar 20.000 orang secara aktif akan terlibat pada Pilkada 2020. Jumlah ini mungkin akan bertambah karena setiap pasangan calon akan memiliki sukarelawan di setiap kabupaten, kota, kecamatan, hingga desa.

Sementara dari sisi penyelenggaraan, Pilkada 2020 juga melibatkan jumlah orang yang tidak sedikit. Tempat pemungutan suara (TPS) diperkirakan sebanyak 304.927 TPS, dengan jumlah ketua dan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebanyak 2,1 juta orang. Sementara pengawas pemilu ad hoc di tingkat TPS sebanyak 304.927 orang, belum ditambah dengan saksi dari setiap calon peserta pilkada. Pilkada 2020 juga akan melibatkan sekitar 109 juta pemilih (data Juli 2020).

Kewenangan Gugus Tugas

Angka-angka di atas bukanlah statistik murni, begitu banyak nyawa manusia yang terlibat dalam perhelatan politik di tingkat lokal. Dalam tradisi politik di Indonesia, pilkada tidak mungkin tanpa massa dan tanpa kerumunan, apalagi pada hari pemungutan suara, 9 Desember 2020. Secara serentak, sekitar 109 juta pemilih dan kurang lebih 2,5 juta penyelenggara ad hoc (di tingkat TPS) akan berada pada satu arena secara bersamaan, pada waktu yang sama.

Masalahnya, adakah jaminan bahwa pada hari-H pemungutan suara dan tahapan pilkada lainnya, mereka aman dari pandemi Covid-19? Adakah jaminan ada pihak yang bertanggung jawab untuk dapat mencegah ketidakdisiplinan setiap orang, di mana protokol kesehatan Covid-19 benar-benar bisa diberlakukan dan selalu ada pihak yang mengawasi.

Pertimbangan kedua ialah pertimbangan politik. Lanjut atau tidaknya Pilkada 2020 tergantung dari kemauan baik pemerintah, DPR, maupun penyelenggara pilkada. Pilihannya tidak banyak. Pertama, pilkada ditunda secara keseluruhan hingga pandemi Covid-19 mereda. Atau pilihan kedua, penundaan dilakukan secara proporsional disesuaikan dengan zonasi kasus pandemi Covid-19.

Atau pilihan kedua, penundaan dilakukan secara proporsional disesuaikan dengan zonasi kasus pandemi Covid-19.

Kalau zonasi yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Covid-19 bisa menjadi kriteria, artinya Pilkada 2020 hanya aman diselenggarakan pada daerah dengan zonasi kuning dan hijau. Sementara pada daerah yang tergolong zonasi merah (merah tua—bahkan hitam) perlu pertimbangan khusus.

Masalahnya, hingga saat ini, zonasi pandemi Covid-19 belum menjadi pertimbangan utama karena secara peraturan perundang-undangan, peran dan keterlibatan Gugus Tugas Covid-19 pada Pilkada 2020 masih sebatas memberi pertimbangan situasi yang sifatnya tidak mengikat.

Kriteria penundaan Pilkada 2020 dihubungkan dengan situasi darurat Covid-19 masih belum ada pengaturannya. Siapa yang berhak menentukan kriteria penundaan ini, apakah rekomendasi dari Gugus Tugas Covid-19 tingkat pusat atau daerah, ataukah KPU secara berjenjang bisa menetapkan penundaan berdasarkan pada perkembangan situasi pandemi Covid-19 melalui rekomendasi Gugus Tugas Covid-19?

Idealnya, penyelenggaraan pilkada perlu mengatur aspek kepastian hukum sebagai payung hukum yang integral antara pilkada sebagai proses demokrasi dan kriteria perkembangan Covid-19 sebagai indikator keamanan kesehatan. Payung hukum ini mencakup kriteria provinsi dan/atau kabupaten/kota yang memungkinkan untuk tidak menyelenggarakan Pilkada pada 9 Desember 2020 dari kriteria pandemi, bukan dari sisi kriteria teknis penyelenggaraan pilkada.

Untuk kebutuhan itu, Presiden Joko Widodo perlu segera mengeluarkan perppu atau semacam peraturan presiden yang sekurang-kurangnya mengatur dua hal mendasar, yakni, pertama, Gugus Tugas Covid-19 pusat dan daerah diberi kewenangan mengevaluasi perkembangan situasi pandemi Covid-19 yang berdampak pada penundaan Pilkada 2020.

Selain itu, kedua, Gugus Tugas Covid-19 berwenang membuat aturan teknis penerapan protokol kesehatan Covid-19 bagi peserta, penyelenggara dan pemilih, serta rekomendasi sanksi yang dapat dijatuhkan secara adil.

MOCH NURHASIM, Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 23 September 2020 di halaman 6 dengan judul “Darurat Pilkada 2020”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/09/23/darurat-pilkada-2020/