KPU menjanjikan akses Sipol bagi publik setelah tahap pendaftaran usai. Apa saja data yang sebaiknya dibuka?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbilang terlambat membuka akses Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) pada kalangan luas. Pada hari pertama pendaftaran partai politik calon peserta pemilu Selasa (3/10) lalu, Sipol hanya terbuka bagi kalangan terbatas—hanya partai dan operator KPU. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saja baru diberi akses pada hari ketiga pendaftaran (5/10) setelah sebelumnya mengeluh tak bisa mengawasi Sipol. KPU kemudian menjanjikan Sipol bisa diakses luas oleh publik setelah tahap pendaftaran usai (17/10).
Beberapa pemerhati pemilu menyayangkan langkah KPU ini. Karena publik tidak diberi akses sejak awal, proses pendaftaran tidak partisipatif. Publik tidak bisa mengetahui status atau perkembangan pendaftaran. Bisa saja publik ragu pada prosesnya. Maka, membuka data Sipol sebaiknya jangan ditunda-tunda.
Yang sebaiknya dibuka
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), memandang semua data yang jadi persyaratan partai untuk menjadi peserta pemilu dibuka dan boleh diakses publik. “Semestinya semua data yang jadi persyaratan dalam Pasal 173 ayat (2) UU No. 7/2017, sepanjang tidak dikecualikan dalam UU KIP, mestinya dibuka dan boleh diakses publik,” kata Titi Anggraini saat dihubungi (13/10).
Mengacu pada Pasal 173 ayat (2) UU No. 7/2017 dan Pasal 13 ayat (2) PKPU No. 11/2017, Rumah Pemilu mengelompokkan data-data yang (seharusnya) ada di Sipol dan dapat diakses publik. Data tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua: data profil partai serta data kepengurusan dan keanggotaan.
Dalam kelompok data profil partai, setidaknya ada lima data yang mesti ditampilkan. Data tersebut adalah—pertama—nama, lambang, dan tanda gambar partai. Kedua, salinan status badan hukum partai yang sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang partai politik. Ketiga, salinan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) partai. Keempat, nomor rekening partai di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Kelima, alamat lengkap kantor tetap partai di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Data kepengurusan dan keanggotaan yang diterima KPU mencakup daftar nama pengurus dan anggota partai beserta salinan kartu tanda anggota (KTA) dan KTP elektronik. Untuk data pengurus, KPU bisa menampilkan nama-nama yang sesuai dengan surat kepengurusan setiap partai pada setiap tingkatan. Data ini juga perlu dilengkapi dengan jenis kelamin untuk mengetahui apakah partai tersebut memenuhi syarat 30 persen perempuan pada kepengurusannya.
Disembunyikan
Sementara untuk data keanggotaan, daftar nama anggota sebaiknya tidak dipublikasikan. KPU cukup membuka data jumlah dan sebaran wilayahnya. Data pribadi anggota harus dilindungi. Publikasi data tersebut dinilai akan membahayakan dan memudahkan target politik uang.
“Data pribadi anggota harus dilindungi. Ini juga untuk menghindari intimidasi atas pilihan politik. Lebih baik sikap politik orang ditunjukkan secara alamiah atas kemauannya sendiri. NIK dan sampai alamat menurut saya tak perlu ditampilkan. Ini juga untuk mendukung kerahasiaan pilihan kelak di bilik suara,” kata Titi Anggraini.
Jika nama anggota dipublikasikan, ia bisa menjadi target intimidasi dari pihak lain. Intimidasi tersebut bisa berupa ancaman untuk tidak mengaku sebagai anggota partai saat ada verifikasi faktual. Atau lebih jauh, data nama anggota ini bisa dimanfaatkan untuk menentukan target politik uang saat hari pemungutan suara. Nama-nama ini bisa diserang politik uang hanya agar mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara sebab pilihannya berbeda dengan pihak yang memberi uang.
Meski nama-nama anggota tidak dipublikasikan, publik masih bisa berpartisipasi memantau dan mengecek keanggotaan partai. “Tugas verifikasi itu cukup dilakukan oleh KPU yang nasional, tetap, dan mandiri. Kita bisa memantau dengan, misalnya, menguji klaim jumlah anggota partai di suatu desa dengan menggunakan metode survey oleh pihak yang berkepentingan,” tandas Titi.