August 8, 2024
Print

Datuak dalam Pusaran Pilkada di Sumbar

Print

PADANG – Sekira 21 orang dari 41 pasangan yang bertarung pada 13 pemilihan kepala daerah kabupaten dan kota serta 1 pemilihan gUbernur dan wakil gubernur di Sumatera Barat 9 Desember lalu, memangku gelar adat berupa datuak (penghulu).

Hasilnya, ada yang menang, dan tidak sedikit pula yang kalah. Yang berhasil menjadi pemenang antara lain, Sutan Riska-Amrizal di Pilkada Dharmasraya. Sutan Riska dengan gelar adat Tuanku Kerajaan dan Amrizal bergelar Dt. Rajo Medan, meraup suara 61.775 atau 63,75 persen suara.

Mereka mengalahkan pasangan petahana Adi Gunawan - Jonson Putra  yang hanya mendapatkan 35.122 suara atau 36,25 persen.

Lalu, Gusmal di Kabupaten Solok. Gusmal menjadi penghulu di kaumnya dengan gelar Dt. Rajo Lelo. Berpasangan dengan Yulfadri Nurdin, narapidana korupsi ini berhasil meraih suara terbanyak dengan 69.131 suara atau 46,32 persen.

Sementara yang tumbang misalnya di Pilkada Agam. Irwan Fikri dengan gelar Dt. Nagari Batuah, kalah dari Indra Catri bergelar Dt. Malako Nan Putiah. Indra Catri yang berpasangan dengan Trinda Farhan Satria meraih 93252 suara atau 53,58 persen. Sedangkan Irwan Fikri hanya meraih 80.797 suara atau 46,42 persen.

Bahkan, dalam pertarungan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat, dari empat kontestan, tiga di antaranya bergelar datuak. Yakni, Irwan Prayitno bergelar Datuk Rajo Bandaro Basa. Lawan Irwan, yaitu Muslim Kasim bergelar Datuk Sinaro Basa. Pasangan Muslim yakni Fauzi Bahar bergelar Datuk Nan Sati.

Dalam tradisi Minangkabau, datuak adalah gelar sako (kepala kaum atau suku), yang diwariskan secara matrilineal atau garis keturunan ibu. Datuak dipilih oleh kaum atau suku. Secara esensi pemimpin adat, bukan politik.

Budayawan Minangkabau, Musra Dharizal Katik Rajo Mangkuto, Selasa (15/12), menilai, sudah terjadi pergeseran makna dan nilai dalam jabatan penghulu atau datuak. Menurutnya, saat ini banyak orang berambisi memangku jabatan datuak. Sebab, ujar Musra, karena merasa kalau di Minangkabau, bergelar datuak orang akan segan.

Dengan begitu, sambung Musra, para politisi menganggap gelar datuak penting sebagai simbol paham akan adat. Gelar datuak juga penegas sebagai orang Minangkabau.

“Untuk seluruh penghulu di Minang, kini tidak bernilai. Paham adat kurang. Apalagi paham sebagai penghulu,” ujar pria yang biasa disapa Mak Katik ini.

Meski demikian, menurut Mak Katik, dengan bergelar datuak tidak mutlak bisa menjadi pemenang dalam pertarungan politik. Hal demikian, dikatakannya, bisa dilihat dalam Pilkada serentak kemarin. Ada menang dan ada pula yang kalah.

Kedepan, kata Mak Katik, kualifikasi menjadi datuak mestinya harus ada. Tidak cukup berlabel tokoh, lalu dengan gampang menjadi datuak. “Memperbaikinya, pemerintah harus menyokong. Melalui pendidikan Budaya Alam Minangkabau (BAM) di sekolah, dan penyegaran soal adat di nagari,” timpalnya.

Sementara pengamat sejarah politik Universitas Andalas Israr Iskandar mengatakan, gelar datuak menjadi laku di kalangan massa mengambang. Tapi, sambung Israr, tidak untuk pemilih di kota yang lebih rasional.

Datuak, katanya, sebagai atribut tradisional, oleh politisi, lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan menaikan popularitas.

“Tidak menjamin, tapi menjadi pendukung untuk sebagian kecil,” tukas Israr.

YOSE HENDRA