December 7, 2024

Defisit Demokrasi di Tahun Pemilu OLEH YUNARTO WIJAYA

Di penghujung 2019, sebagian dari kita cemas dengan masa depan demokrasi. Sebelumnya, di awal tahun, sebagian kita cemas dengan prospek pemilu (serentak).

Ketika Pemilu Serentak 2019 berakhir, rasa lega terasa. Seperti ada beban berat di pundak yang telah terangkat. Publik mengapresiasi. Mengacu pada beberapa hasil survei, mayoritas responden menilai pemilu telah berlangsung jurdil. Meski demikian, penyelenggaraan pemilu serentak ini bukan tanpa masalah.

Dari sederet indikator pemilu berkualitas, beberapa di antaranya perlu dapat perhatian saksama. Pertama, Pemilu Serentak 2019 mempertegas bahwa penyelenggaraan pemilu di era reformasi masih terus mencari bentuk. Kesan trial and error tak terhindarkan. Aturan mainnya tidak saja terus berubah dari satu pemilu ke pemilu berikutnya tetapi juga ditandai adanya ketidakpastian hukum. Yang terakhir ini contohnya antara lain: aturan soal napi korupsi menjadi caleg, persyaratan pencalonan DPD dan juga proses verifikasi partai peserta pemilu.

Kedua, penyelenggaraan Pemilu 2019 juga mempertegas kegagalan dalam membenahi sejumlah masalah yang sudah menahun. Di antaranya kesemrawutan penyusunan DPT, praktik politik uang yang marak tapi sangat sedikit yang bisa diproses lebih lanjut. Juga soal posisi media massa yang selalu diperdebatkan tetapi tak juga ada solusi yang diterima di kalangan pemangku kepentingan.

Kedua, penyelenggaraan Pemilu 2019 juga mempertegas kegagalan dalam membenahi sejumlah masalah yang sudah menahun.

Ketiga, pemilu serentak juga menyibak persoalan ihwal manajemen pemilu. Salah satunya terkait tenaga pelaksana penyelenggara pemilu di akar rumput. Ada problem serius terkait proses rekrutmen yang  selama ini terabaikan. Besarnya jumlah tenaga lapangan yang meninggal saat menjalankan tugas bukan saja ‘kurang hitung’ dalam soal implikasi pemilu serentak tapi juga karena tata laksana rekrutmen tak seketat di tingkatan kota. Belum lagi masalah netralitas pelaksana pemilu di tingkatan ini karena sebagian terafiliasi parpol atau jadi pendukung salah satu pasangan capres-cawapres.

Keempat, resolusi konflik sengketa pemilu kali ini jauh lebih buruk. Lebih dari sebelumnya, pengerahan aksi massanya cenderung menjadi instrumen untuk melakukan tekanan politik, alih-alih berupaya mendapat keadilan pemilu. Hal ini pada gilirannya membuka ruang bagi pihak tertentu untuk memantik kerusuhan yang untungnya berhasil diredam sebelum menjadi lebih tak terkendali.

Kelima, meski baru bersifat ‘insiden’, manuver Gerindra ‘memuluskan’ sejumlah caleg  seperti Mulan Jameela atau Sugiono masuk DPR perlu dapat perhatian. Selain soal keadilan, praktik ini ke depannya bisa jadi modus baru. Dalam hal ini, caleg tak lagi akan terfokus pada kompetisi untuk dapat suara terbanyak, tapi pada bagaimana kemampuan mereka melobi DPP sebagai faktor penentu utama. Selain berpotensi melahirkan modus transaksional baru, kondisi ini juga bisa dianggap ‘mengakali’ pemilih yang merasa suaranya jadi mubazir.

Selain berpotensi melahirkan modus transaksional baru, kondisi ini juga bisa dianggap ‘mengakali’ pemilih yang merasa suaranya jadi mubazir.

Keenam, pemilu serentak juga mengonfirmasi kecemasan lain yang selama ini kurang dapat ruang dalam diskursus publik. Yaitu, pemilu serentak membuat pileg seperti dilupakan. Pemilih tak terlalu peduli dalam memilih partai atau caleg. Mereka cenderung tak memerhatikan dengan baik apa agenda politik yang dijanjikan parpol atau caleg. Tak ada kebutuhan untuk tahu rekam jejaknya. Dalam kasus DPD, bahkan tak sedikit pemilih tak tahu siapa saja calonnya dan siapa yang layak dipertimbangkan untuk dipilih. Ibarat konser musik, pileg hanya band pembuka belaka.

Ketujuh, ambang batas pencalonan capres-cawapres yang tinggi secara tak langsung sebenarnya melucuti semangat dasar dibalik usulan pemilu serentak. Dari sisi efisiensi, dua paslon sangat tepat karena menghindari kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Namun, dari sisi pemilih, situasinya berbeda.

Pilihan terbatas membuat pemilih terpaksa menerapkan strategi “diskon”.  Secara sadar, pemilih mengabaikan situasi bahwa preferensi kebijakan dia sebenarnya relatif berjarak dengan kandidat yang dipilihnya. Sebagian pemilih, umpamanya, tetap memilih pasangan 01 walaupun dari sisi janji kampanye terkait BPJS dia merasa lebih dekat yang ditawarkan 02. Atau mengabaikan fakta bahwa mereka sebenarnya tak suka dengan pendamping pasangan yang dipilihnya. Ini secara figuratif terwakili dari ungkapan: “Saya pilih Sandi, bukan Prabowo” atau “Saya pilih Jokowi, bukan Kyai Ma’ruf’. Pilihan lain, jadi golput.

Pilihan terbatas membuat pemilih terpaksa menerapkan strategi “diskon”.  Secara sadar, pemilih mengabaikan situasi bahwa preferensi kebijakan dia sebenarnya relatif berjarak dengan kandidat yang dipilihnya.

Defisit demokrasi

Dengan melakukan diskon preferensi, pemilih telah berkorban rasa dan mungkin pula harga diri. Tapi, pasca-pilpres, sebagian pemilih dihadapkan pada situasi yang terasa ganjil: Prabowo bergabung ke Kabinet Indonesia Maju. Fenomena ini melahirkan kelakar yang tewakili melalui penjulukan seperti ‘pilpres rasa pemilihan ketua RT’. Tetapi pada saat bersamaan, polarisasi di masyarakat terus berlanjut dan cenderung kian mengkristal. Situasi ini secara telak menggugurkan dalih bahwa bergabungnya Prabowo bentuk pengejawantahan prinsip kegotongroyongan dan atau kebersamaan.

Dan, yang lebih ‘menakjubkan’, munculnya berbagai gagasan yang jika dipadatkan tak lain dari upaya mempreteli pemilu langsung. Berbagai gagasan yang terlontar pada intinya ingin mengembalikan pemilihan ke MPR (presiden) dan DPRD (kepala daerah) serta memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode. Mempreteli sesuatu yang dinilai baik tidak saja membingungkan tapi juga membangkitkan rasa cemas. Bagaimana tidak, pelaksanaan pemilu jadi penopang indikator kebebasan Indonesia sebagaimana tercermin, umpamanya, pada indeks kebebasan yang dirilis Freedom House. Menurut indeks ini, pelaksanaan pemilu di Indonesia skornya 2 (bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tidak bebas (7) pada periode 2013-2019.

Meski baru sebatas wacana, gerakan mempreteli pemilu merupakan sesuatu hal yang terlalu serius untuk diabaikan. Dalam hal ini, esensi pemilu sebagai sebuah persamaan peluang memilih dan dipilih hendak dibatasi jadi ruang elite belaka. Maksudnya, pemilu dijarah jadi sekadar ruang bagi elite memilih pemerintahan untuk mereka sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dengan begitu, gagasan mempreteli pemilu karenanya harus dipahami sebagai upaya sistematis membangun diskriminasi politik dengan mengatasnamakan efisiensi, gotong royong atau bahkan mungkin dengan dalih ‘demokrasi Pancasila’. Diskriminasi menghasilkan rasa cemas, rasa kekurangan dan frustrasi sosial. Sebab, ruang bagi masyarakat kebanyakan untuk mendorong terwujudnya persamaan sosial menjadi semakin terbatas dari sebelumnya.

Dengan begitu, gagasan mempreteli pemilu karenanya harus dipahami sebagai upaya sistematis membangun diskriminasi politik dengan mengatasnamakan efisiensi, gotong royong atau bahkan mungkin dengan dalih ‘demokrasi Pancasila’.

Gagasan mempreteli pemilu langsung bukanlah ide baru. Sebagaimana gagasan menerapkan Piagam Jakarta, gagasan ini sudah beberapa kali dilambungkan. Bahkan, dalam kasus pilkada, sudah pernah dieksekusi jadi perundang-undangan sebelum akhirnya dipatahkan kembali dengan keluarnya perppu di masa akhir pemerintahan SBY. Argumentasi tak pernah berubah: pemilihan langsung itu liberal dan karenanya tak sesuai Pancasila. Ini biasanya diimbuhi argumentasi tambahan seperti: mahal dan  lebih banyak mudaratnya. Di sebagian kalangan, pemilu langsung juga dianggap penghinaan. Bagi mereka, prinsip one man one vote cederai prinsip keahlian. “Bagaimana mungkin suara seorang ulama sama nilainya dengan suara seorang tukang becak” jadi contoh tipikal pembela gagasan pemilu tak langsung dari kalangan ini.

Sepaket dengan itu, juga mencuat gagasan mengembalikan kekuasaan politik ke MPR. Argumennya sebangun, meski tak sama. Bagi pendukung gagasan ini, MPR perwujudan pasal keempat Pancasila; mencerminkan prinsip mufakat dan kegotongroyongan. Sebagaimana tercermin di Orde Baru dan juga Orde Lama, MPR-lah yang memberi ruang berbagai kalangan duduk sebagai wakil rakyat tanpa dipilih. Mereka ditunjuk dengan mengasumsikan hak istimewa yang melekat di organisasi tertentu atau bahkan mungkin nantinya figur tertentu.

Menariknya, argumen menghidupkan MPR dan mempreteli pemilu mempertemukan dua golongan yang biasanya berseberangan: kalangan yang mendaku diri Pancasilais sejati dan golongan Islam konservatif. Keduanya sama-sama tak bahagia dengan praktik demokrasi saat ini yang mereka nilai terlalu kebarat-baratan (baca: liberal). Ketaksukaan pada sesuatu yang berbau Barat bukanlah tren baru. Sejak beberapa waktu lalu, ada kecenderungan menolak atau menetralisasi nilai-nilai demokrasi liberal: kebebasan, kesetaraan dan kontrol atas kekuasaan.

Mengacu indeks Freedom House, misalnya, sejak 2014 komponen kebebasan sipil Indonesia konsisten skornya 4 (sebagian bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tak bebas (7). Survei SMRC (Mei-Juni 2019) mengonfirmasi hal yang sebangun: perasaan takut berekspresi juga meningkat tajam. Survei LSI (September 2019) mengonfirmasi kecenderungan intoleransi juga meningkat.  Dalam literatur politik, situasi ini disebut illiberal democracy. Istilah ini secara karikatural bermakna “pemilu yes, nilai-nilai demokrasi liberal no”. Singkatnya, demokrasi di negeri ini hendak kembali dibonsai. Dan, jalan itu sangat mungkin terjadi. Sebagaimana diingatkan Foa dan Mounk (2017), proses konsolidasi demokrasi bukanlah jalan satu arah ke depan. Terbuka peluang untuk stagnan dan atau mundur. Dekonsolidasi terjadi ketika publik mulai tak percaya pada aturan main yang dihadap-hadapkannya dengan kehendak rakyat; ketika daya tahan aturan main demokrasi melemah dan warga mulai tertarik ide otoritarian.

Sebagaimana diingatkan Foa dan Mounk (2017), proses konsolidasi demokrasi bukanlah jalan satu arah ke depan. Terbuka peluang untuk stagnan dan atau mundur.

Dalam kasus Indonesia, penggerak utama dekonsolidasi adalah elite politik. Berkat medsos, gagasan ini dipompakan sedemikian rupa sehingga sebagian masyarakat memberikan toleransi dan bahkan mendukung terjadinya pembatasan kebebasan seperti ditunjukkan ketika pemerintah dengan santainya memblokir situs dan mematikan akses internet. Sebagian masyarakat berdiam diri atau malah menganjurkan diskriminasi sebagaimana pada kasus sulitnya membangun rumah ibadah, pilih kasih penggunaan pasal karet terkait penghinaan tokoh politik atau penodaan agama.

Sebagai catatan, pertama, tindakan membatasi kebebasan atau perlakuan diskriminatif tak hanya dilakukan aparatur pemerintah tetapi juga kelompok-kelompok sipil. Kedua, praktik yang cenderung membatasi dan atau melanggar aturan main demokrasi terutama diarahkan ke anggota masyarakat biasa. Ini berbeda dengan pola dalam sistem otoritarian kompetitif di mana pemerintah yang berkuasa cenderung melakukan pembatasan, persekusi, kriminalisasi, manipulasi dan sejenisnya kepada pihak oposisi (Levitsky dan Way, 2002).

Singkatnya, kebebasan sipil kita mengalami kemerosotan dan ini sepertinya ingin digenapkan dengan juga membonsai pemilu. Yang terakhir ini, meski baru sebatas gagasan sudah lebih dari cukup memicu rasa cemas. Sikap Jokowi dan juga Partai Demokrat yang belakangan menegaskan posisinya membela pemilu langsung tak dengan sendirinya mempupus rasa cemas itu. Pasalnya, apa yang terjadi selama 2019 ini menunjukkan bahwa elite politik bisa melakukan apapun yang dalam perkiraan normal tak akan berani mereka lakukan. Secara khusus, ada semacam trauma sosial setelah UU KPK direvisi dan janji Jokowi untuk mengeluarkan perppu tentang revisi UU KPK tak jadi dilaksanakan.

Apakah dengan demikian demokrasi kita dalam bahaya? Mengikuti Erdmann (2011), saat ini kita tengah mengalami penurunan kualitas demokrasi. Kita mungkin saja terus berada dalam situasi ini. Tapi, seperti diingatkannya, kemungkinan secara perlahan masuk fase hibridisasi (kombinasi otoritarian dan demokrasi) atau gerak cepat menuju pemutusan dari demokrasi juga terbuka. Dalam hal ini, peringatan Alexander dan Wezel (2017) penting diperhatikan. Menurut mereka, dekonsolidasi demokrasi punya peluang besar ketika polarisasi kelas menajam dan marginalisasi masyarakat bawah terus berlanjut. Dalam konteks Indonesia, persepsi dominasi asing/aseng jadi bahan bakar yang efektif membangun sentimen negatif terhadap kondisi ekonomi secara umum.

Mengikuti Erdmann (2011), saat ini kita tengah mengalami penurunan kualitas demokrasi. Kita mungkin saja terus berada dalam situasi ini. Tapi, seperti diingatkannya, kemungkinan secara perlahan masuk fase hibridisasi (kombinasi otoritarian dan demokrasi) atau gerak cepat menuju pemutusan dari demokrasi juga terbuka.

Ini ditambah dengan kuatnya persepsi bahwa ekonomi dan dunia usaha cenderung melemah dan harga-harga makin mahal, termasuk juga yang terakhir soal kenaikan iuran BPJS yang dinilai terlalu memberatkan peserta. Kepahitan ekonomi memungkinkan publik berpaling dan mengadopsi gagasan otoritarian atau sekurang-kurangnya menerima situasi jika nyatanya harus menjalani realitas ‘diet demokrasi’.

Belum berakhir

Sekali lagi, demokrasi kita tengah defisit. Para penyokong degradasi demokrasi sepertinya beranggapan kurva demokrasi bisa sedikit diturunkan demi mencapai stabilitas yang diasumsikan akan membantu percepatan investasi yang dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian. Asumsinya, demokrasi dapat dinaikkan kembali kualitasnya jika kondisi ekonomi sudah memungkinkan. Padahal, ada kemungkinan, gerak balik itu akan jauh lebih sukar dari yang bisa mereka bayangkan. Terlebih, ada sebagian penyokong degradasi demokrasi punya obsesi lebih jauh lagi: menyingkirkan demokrasi secara penuh.

Di titik ini mencuat sebuah kesadaran: kita kekurangan pembela demokrasi, khususnya di kalangan elite politik sendiri. Meski (pernah) diuntungkan oleh demokrasi, sebagian elite politik kini merasa demokrasi terlalu menguras sumber dayanya. Tingkat keuntungan berdemokrasi tak lagi menarik. Para elite memilih tak setia pada demokrasi karena mereka juga mulai merasa publik sepertinya tak terlalu keberatan dengan pemangkasan kebebasan ataupun ketidaksetaraan yang dilanggengkan.

Di titik ini mencuat sebuah kesadaran: kita kekurangan pembela demokrasi, khususnya di kalangan elite politik sendiri. Meski (pernah) diuntungkan oleh demokrasi, sebagian elite politik kini merasa demokrasi terlalu menguras sumber dayanya.

Jelaslah sudah, 2019 mungkin bukanlah tahun terbaik bagi Indonesia dari sisi politik. Tapi, setidaknya tahun ini memberikan satu tanda penting tentang demokrasi kita. Jika diibaratkan klub sepakbola di liga Inggris, posisinya sudah terperosok di zona degradasi. Tapi, demokrasi di negeri ini masih punya peluang kembali ke zona aman karena musim kompetisi belum berakhir. Kita tak perlu bermimpi bisa ikut kompetisi tingkat Eropa karena untuk bisa masuk klasemen papan tengah saja sudah bisa dibilang pencapaian yang luar biasa. Jadi, mari selamatkan demokrasi kita. Dan, untuk itu, zona nyaman para elite politik harus diganggu. Tanpa itu, mereka akan berpikir bahwa masyarakat tak ubahnya kerbau yang dicocok hidungnya belaka.

(Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia)

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas https://kompas.id/baca/opini/2019/12/18/defisit-demokrasi-di-tahun-pemilu/