Akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengubah aturan pencalonan demi keikutsertaan dua partai bersengketa—PPP dan Golkar—di Pilkada 2015.
Partai dengan kepengurusan ganda boleh mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah, asalkan partai sepakat mengusung satu calon yang sama. Aturan ini menjadi pilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar dua partai dengan konflik kepengurusan yang tak kunjung usai -Golkar dan PPP- bisa mengikuti Pilkada Serentak 2015.
Sebelumnya KPU hanya memberikan dua pilihan, yaitu menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau sepakat berdamai dan mendaftarkan kepengurusan hasil perdamaian ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kumham). Tetapi, KPU tampaknya melihat tidak mungkin aturan ini dijalankan mengingat tahapan pendaftaran calon tinggal menghitung hari. Pleno KPU pada Rabu malam lalu (15/7) salah satunya memutuskan mengubah aturan pencalonan.
“Senin lalu, kan, posisinya masih gagasan, tapi akhirnya tadi malam kami sudah putuskan dalam pleno, agar gagasan itu kita realisasikan,†kata anggota KPU, Hadar Nafis Gumay (16/7).
Jika mengikuti aturan pencalonan, yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tentang Pencalonan, butuh waktu lama menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau sampai hasil pengadilan tidak bisa digugat lagi di pengadilan diatasnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem ), Fadli Ramdhanil, pada awal Mei lalu pernah memprediksikan setidaknya butuh waktu 90 hari sampai putusan pengadilan tetap oleh Mahkamah Agung (MA) dikeluarkan. Lamanya proses penyelesaian sengketa lewat peradilan sejak awal memang sudah diperkirakan akan melewati batas waktu pencalonan.
Pertemuan antara ketua KPU, Husni Kamil Manik dengan MA beberapa hari lalu membenarkan perkiraan itu. Meski MA bersedia memenuhi permintaan prioritas penyelesaian sengketa kedua partai bisa dikebut, ternyata mekanisme itu belum cukup singkat untuk menuntaskan sengketa sebelum masa pendaftaran dimulai.
“Untuk mengajukan memori kasasi bagi penggugat itu ada 14 hari, kemudian nanti jawaban dari pihak tergugat, 14 hari. Itu saja sudah 28 hari. Ini jelas akan melampaui tanggal 26 sampai dengan 28 Juli,†kata Ketua KPU RI, Husni Kamil Manik, di Gedung MA, Jakarta Pusat (13/7).
Komisi II DPR RI juga pernah mengusulkan agar KPU menggunakan putusan terakhir pengadilan. Tetapi KPU bersikukuh pada aturan yang telah mereka tetapkan. KPU menolak usulan tersebut sebab putusan pengadilan terakhir di pengadilan masih bisa digugat. Akan muncul masalah baru jika putusan terakhir ternyata berbeda dengan putusan pengadilan tetap.
Saat ini posisi terakhir konflik partai Golkar, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) telah membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan SK Kubu Agung Laksono. Sementara bagi PPP, PTTUN juga membatalkan putusan PTUN Jakarta yang membatalkan SK Kubu M Romahurmuziy. Dua putusan ini masih bisa digugat di pengadilan akhir, yaitu MA.
Penyelesaian lewat pengadilan memang bukanlah jalan satu-satunya yang disediakan KPU. Ada opsi islah yang ditawarkan. Proses pengadilan boleh tetap jalan, tetapi partai didorong berdamai dan membentuk satu kepengurusan. Kepengurusan hasil damai kemudian didaftarkan ke Menkumham. Sampai pada akhirnya tidak ada satu partai pun yang menjalankan opsi islah tersebut, KPU menawarkan solusi lain, yakni islah pencalonan atau islah terbatas.
Tidak Sesuai UU
Islah terbatas tidak perlu menunggu adanya satu kepengurusan partai yang mengusung calon. KPU tidak lagi berpatokan pada SK Kemenkumham sebagai alat untuk menverifikasi partai mana yang sah kepengurusannya ketika pendaftaran calon dilakukan. Kedua kubu boleh mengajukan pasangan calon dengan syarat calon yang diusung haruslah sama.
Menurut KPU, keputusan ini diniatkan untuk memberikan ruang partisipasi bagi setiap partai politik sebagai pengusung calon kepala daerah. Meski terlihat ideal, nyatanya aturan tersebut menabrak sejumlah aturan perundang-undangan. Pengajuan pasangan calon dari partai yang masih memiliki kepengurusan ganda dianggap menabrak UU No 2/2011 tentang partai politik dan UU No 8/2015 yang mengatur pemilihan kepala daerah.
Fadli menjelaskan menurut UU No 2/2011 keabsahan kepengurusan partai politik ditentukan oleh Surat Keputusan Menkumham. Tentu saja SK menteri tersebut diterbitkan hanya untuk satu kepengurusan yang dianggap sah menurut AD/ART masing-masing partai politik. Atau, dengan kata lain, tidak mungkin Menkumham menerbitkan SK berlaku untuk dua kepengurusan dalam satu partai politik.
Selanjutnya UU No 8/2015 menyatakan, bahwa partai politik yang berhak mencalonkan pasangan kepala daerah adalah partai politik yang kepengurusannya disahkan melalui SK Menkumham. SK Menteri itulah yang harus dilampirkan pada saat partai politik atau gabungan partai politik di daerah mengajukan pasanngan calon kepala daerah.
“KPU mau merujuk SK Kemenkumham yang mana kalau mau dua kepengurusan? Partai politik pengurusnya dibelahan dunia manapun cuma satu. Itu melanggar UU berarti,†kata Fadli.
Kebijakan KPU untuk mengakomodasi kepengurusan ganda partai politik dalam proses pencalonan kepala daerah, juga menyalahi prinsip islah yang hendak ditegakkan melalui PKPU No 9/2015. Hal ini juga bisa dipandang KPU melanggengkan konflik internal partai sebab belum tuntas ketentuan islah dipraktekkan oleh partai, KPU sudah membatalkannya, yakni dengan mengakomodasi kepengurusan ganda.
Alhasil, jika mengikuti jalan yang ditawarkan KPU maka akan turut memicu sengketa pencalonan dan sengketa hasil. Partai yang tidak puas dengan keputusan KPU akan membawa masalah ini ke ranah sengketa terutama terkait dengan keabsahan pencalonan oleh partai-partai yang mengalami dualisme kepengurusan. Potensi sengketa hasil besar karena bisa jadi dianggap perlakuan khusus bagi parpol-parpol bersengketa.
Gagasan Mandiri KPU
Setiap kebijakan yang diambil oleh KPU tentu memiliki resiko. Jika bersikukuh pada aturan awal, maka dua partai tersebut jelas tidak memenuhi syarat untuk ikut pilkada. Sementara pilihan islah terbatas resiko terburuknya berpotensi sengketa. Tetapi atas nama tanggung jawab sebagai penyelenggara pemilu yang berkewajiban melayani seluruh peserta, KPU akhirnya memilih islah terbatas.
Hadar menekankan, opsi islah terbatas adalah gagasan mandiri KPU. Ia mengatakan gagasan itu telah ada sejak lama dan lahir tanpa tekanan pihak lain. Untuk kemudian mengambil gagasan itu sebagai pilihan, KPU telah berkonsultasi dengan berbagai pihak, yaitu pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Gagasan untuk cari jalan ini idenya memang dari kami. Sebenarnya sudah lama, hanya saja pada waktu itu, kami perkirakan bahwa mereka (partai-partai yang berselisih) akan mencari upaya damai,†kata Hadar.
Pengaturan tentang islah terbatas sudah dimasukkan ke dalam Peraturan KPU (PKPU), dan menjadi PKPU No 12. Saat ini draf perubahan revisi tersebut telah disampaikan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. KPU tinggal menunggu Menkumham mengundangkannya dan setelah itu PKPU tersebut akan berlaku sebagai pedoman pencalonan di 269 daerah yang akan menggelar Pilkada. [Debora/Bagus]