November 27, 2024

Demokrasi dan Ancaman dari Dalam

Di beberapa negara, demokrasi disebut mengalami stagnasi atau terancam mengalami kemunduran. Ancaman itu muncul dari dalam—institusi-institusi demokrasi, khususnya partai politik, tak lagi mampu menjamin kedaulatan rakyat.

Demokrasi telah berkembang dalam kurun tahun 1970 hingga 2000. Ia telah membuka jalan bagi rakyat untuk terlibat dalam kehidupan politik.

Namun kini, di tahun 2017, demokrasi tampak rapuh di beberapa negara. Korupsi makin marak dan membajak proses perumusan kebijakan yang seharusnya melibatkan rakyat. Politisi mempertahankan kekuasaan dengan memanipulasi peraturan pemilu, membatasi kebebasan berpendapat, dan mengubah konstitusi untuk memperluas dan memperpanjang kewenangan kekuasaan yang dilakukan dalam framework yang demokratis.

Hal tersebut membuat rakyat frustasi dan kepercayaan pada demokrasi makin rendah. Dalam kemandekan itu, gerakan populis baru muncul dan mengancam hak-hak minoritas.

Dalam laporan The Global State of Democracy 2017 terbitan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), salah satu ancaman yang bisa membuat demokrasi mundur justru muncul dari dalam: partai politik yang tak menjalankan nilai demokrasi.

Demokrasi bersandar pada representasi yang efektif. Pemimpin politik yang dipilih rakyat harus bisa merancang kebijakan yang menampung kepentingan rakyat. Pada kenyataannya, di beberapa negara dengan demokrasi yang telah mapan, kemampuan partai politik dalam membuat kebijakan untuk menangkal tantangan dan krisis itu dipertanyakan.

Paikiasothy Saravanamuttu, Direktur Eksekutif Center for Policy Alternatives Sri Lanka, menyebut, kinerja partai yang buruk di negaranya membuat kepercayaan publik pada partai sangat rendah.

“Partai politik diasosiasikan sebagai tempat bersarangnya korupsi dan pemufakatan jahat,” katanya dalam diskusi “Tantangan Demokrasi Abad ke-21” di Kolombo, Sri Lanka (13/12).

Di Indonesia, ketidakpercayaan publik pada partai politik disebabkan oleh ketidakmampuan partai melalui wakil-wakilnya di parlemen dalam menyerap dan mengartikulasi kepentingan rakyat. Rakyat akhirnya berdemonstrasi sebagai alternatif lain dalam menyuarakan kepentingan. Phillip Vermonte, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, menyebut Indonesia mengalami fenomena weak state strong society.

Watak buruk partai politik yang paling mengancam demokrasi adalah manajemen internal yang tidak dijalankan dengan nilai-nilai demokratis—baik pada saat pemilu maupun setelah pemilu melalui anggotanya yang terpilih duduk di parlemen. Elite politik menguasai institusi demokrasi dan melemahkan kedaulatan rakyat.

“Tata kelola partai politik tidak dijalankan secara demokratis,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada diskusi yang sama di Kolombo (13/12).

Keterputusan antara rakyat sebagai pemilih dan politisi partai politik yang dipilih di parlemen juga ditunjukkan oleh Rowena Guanzon, komisioner Commission on Elections Philippine. Di negaranya, ada 25 persen perempuan senator dan 30 persen perempuan anggota parlemen. Namun, perempuan ini muncul dari dinasti politik. Ketika aturan untuk membatasi dinasti politik diusulkan, mereka hanya mendengar tanpa mengambil inisiatif. Keinginan rakyat agar perempuan terpilih benar-benar merepresentasikan kepentingan perempuan tidak didengar oleh anggota parlemen.

International IDEA, dalam laporannya, menyebut akar ketidakpercayaan publik pada partai dapat diatasi dengan menerapkan transparansi secara penuh dalam pengelolaan partai. Partai didorong untuk membuka laporan keuangan, informasi anggota dan pencalonannya dalam pemilu, serta mekanisme tata kelola internal.