Kata demokrasi, sebagaimana sering dikutip di banyak tulisan, berasal dari kata demos dan kratos yang bermakna pemerintahan atau kekuasaan oleh rakyat. Sementara itu, kata deliberatif berasal dari kata deliberatio yang berarti konsultasi atau musyawarah atau menimbang-nimbang. Teori demokrasi deliberatif dicetuskan oleh Jurgen Habermas, yang juga banyak menulis perihal ruang publik. Habermas mendefinisikan demokrasi deliberatif sebagai jalan alternatif bagi masyarakat sipil untuk dapat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan politik melalui berbagai ruang publik. Demokrasi deliberatif bertujuan untuk mendekatkan kebijakan pada kepentingan masyarakat terdampak, dan mengembalikan makna kuasa rakyat, alih-alih kuasa elit sebagai akibat dari proses demorkatisasi politik yang lamban, dan bahwa demokrasi tak diimbangi dengan demokratisasi ekonomi.
Di Indonesia, fenomena penciptaan ruang publik untuk menjalankan demokrasi deliberatif dapat dilihat dari gerakan–gerakan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas). Gerakan buruh menjalankan demokrasi deliberatif melalui serikat-serikat buruh untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Gerakan perempuan mewarnai ruang publik dengan mengarusutamakan wacana pentingnya perempuan untuk secara cukup terwakili di parlemen. Dalam tulisan ini, rumahpemilu.org menyoroti demokrasi deliberatif ala masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah ormas yang lahir dari arus perlawanan masyarakat sipil terhadap perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di daerah.
“AMAN adalah warisan dari gerakan lingkungan dan HAM saat itu. Dulu WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), yang banyak menangani kasus lingkungan, korban dari perusakan lingkungan dan pengambilan tanah secara sepihak oleh negara adalah masyarakat adat. Maka, kami dulu payungnya di situ, lalu kemudian menjadi ormas,” jelas Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi, pada dialog umum AMAN bertema “Dua Dekade Gerakan Masyarakat Adat dan Proyeksi Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf” di pelataran aula Taman Ismail Mardzuki, Cikini, Jakarta Pusat (9/8).
Sebelum Kongres Pontianak tahun 2007, advokasi AMAN tersekat ke dalam pengorganisasian tingkat wilayah. Setelahnya, organisasi memiliki koordinator tingkat pusat. Adanya koordinator di tingkat pusat mempermudah konsolidasi dan memperkuat posisi dalam ruang demokrasi yang seringkali menagih kuantitas suara. Kepengurusan pusat menjamin tersambungnya suara dari seluruh wilayah dan teradvokasi menjadi isu nasional.
“Jadi, organisasi menjadi terpimpin, berubah dari sekwil (sekretaris wilayah) menjadi sekjen (sekretaris jenderal). Kenapa AMAN bersatu? Karena memang selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka, masyarakat adat terus mengalami berbagai bentuk penindasan. Kita ingin ingatkan negara, jika negara tidak mengakui kami, kami tidak mengakui negara,” kata Rukka.
Rukka menegaskan pentingnya untuk berkelompok agar suara lebih nyaring didengar. Dalam demokrasi deliberatif yang memang menggunakan ruang-ruang yang disediakan oleh hukum, kelompok adalah aktor politik yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Kepentingan masyarakat adat
Ketua AMAN Wilayah Halmahera Tengah, Munadi Kilikoda menceritakan masalah yang dialami oleh masyarakat adat di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Perampasan tanah adat dan peralihan sistem ekonomi dari tradisional menjadi modern menjadi masalah yang dihadapi masyarakat.
“Masyarakat adat haknya dirampas. Di situ ada tambang, perkebunan, kehutanan, macam-macam ekspolitasi sumber daya alam,” tukas Munadi.
Masalah yang sama disebutkan oleh Syafrin, tokoh pemuda Suku Sakai, Kepulauan Riau. Syafrin melaporkan bahwa pembangunan di ruang hidup Suku Sakai mencemari sumber air bersih masyarakat. Dampaknya, menurutnya, merusak reproduksi biologis perempuan Sakai. Syafrin juga mengeluhkan gentrifikasi yang tak dianggapnya menyulitkan.
“Dulu di Riau itu, hutannya masih banyak. Sekarang sudah jadi hutan buatan. Kami ini hidup dengan lingkungan yang alami. Tapi kemudian banyak program-program modern. Program modern ini merubah kebiasaan lama kami dan sangat sulit bagi kami. Apalagi kami minim pendidikan. Ekonomi kami minimlah. Populasi penduduk pun berkurang terus per tahunnya. Ibu-ibu banyak yang keguguran, dan sekarang banyak yang tidak punya keturunan. Saya rasa, penyebabnya karena kerusakan lingkungan,” kisah Syafrin.
Aktivis lingkungan dan masyarakat adat dari Timor Tengah Selatan, Aletta Baun, menegaskan kembali kepentingan masyarakat akan kedaulatan SDA sebagai sumber ekonomi masyarakat. Masyarakat adat melestarikan tanah, air, dan tanaman untuk menopang kehidupan.
“Yang disuarakan masyarakat adat adalah bagaimana menjaga tanah, air, batu, dan hutan. Masyarakat adat ini kan tidak dapat gaji. Mereka punyanya SDA. Kalau SDA itu aman, maka mereka hidupnya nyaman. Kepentingan mereka itu bagaimana mereka tidak diganggu dengan SDA mereka. Air jangan diganggu, batu jangan diganggu, hutan jangan diganggu,” ujar perempuan yang akrab disapa Mama Aletta.
Penuturan Munadi dan Syafrin senada dengan yang disampaikan oleh Sekjen AMAN, Rukka, yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat adat Toraja, Sulawesi Selatan. Rukka menuturkan ekonomi masyarakat adat menurun sejak tanah-tanah adat dialihkan untuk pembangunan industri dan tambang. Sebagai contoh, dengan dijadikannya hutan adat sebagai taman nasional, masyarakat adat yang tinggal di dalamnya tak dapat mengakses hutan untuk mencari penghidupan. Penebangan yang dilakukan bahkan dipandang sebagai kegiatan ilegal dengan resiko hukuman penjara. Terlebih lagi, masyarakat adat di dalam hutan tak terjamah layanan administrasi negara. Negara tak memberikan layanan seperti pemberian kartu tanda penduduk, dan dengan demikian hak pilih, selama masyarakat adat tersebut tak pindah ke wilayah yang diakui sebagai wilayah administrasi negara.
“Sistem ekonomi yang dijalankan masyarakat adat lebih kuat daripada sistem ekonomi yang dirubah oleh negara. Pendapatan pribadi masyarakat adat dengan akses langsung terhadap sumber ekonomi lebih besar dibandingkan sekarang, saat izin justru diberikan kepada perusahan-perusahaan besar yang merampas ruang hidup masyarakat adat dan memiskinkan masyarakat adat,” tegas Rukka.
Masuk ke politik formal
2007 merupakan titik tolak perubahan perjuangan masyarakat adat yang tergabung di dalam AMAN. Setelah sebelumnya berjibaku di lapangan mencegah aparat pemerintah pemegang senjata untuk alih fungsi lahan, AMAN menempuh jalur politik. Ketiadaan perwakilan masyarakat adat di parlemen disadari sebagai penyebab absennya kepentingan masyarakat adat di dalam produk undang-undang. AMAN mengirim utusan-utusannya ke berbagai partai politik guna mengikuti pemilu dan menjadi bagian dari pembentuk kebijakan. AMAN juga mengusung anggota dan pengurusnya pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Pilihan ini dianggap AMAN tepat, karena hingga 2019, telah ada 70 produk hukum yang menjamin hak-hak masyarakat adat.
“Undang-undang yang ada adalah undang-undang yang selalu merampas tanah masyarakat adat. Kenapa ada undang-undang yang buruk? Karena kita tidak ada utusan. Makanya ada perluasan partisipasi politik. Kita utus teman-teman kita masuk ke parpol. Masuk ke dalam, jadi kepala desa, bupati, anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Supaya kita bisa berbuat. Kami kira ini keputusan yang tepat,” pungkas Rukka.
Pada Pemilu 2019, 34 utusan AMAN terpilih sebagai anggota DPR dan DPR Daerah (DPRD). Munadi Kilikoda merupakan salah satu kawan AMAN yang terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Halmahera Tengah. Munadi mengikuti Pemilu 2019 dengan niat mewakili masyarakat adat di Halmahera Tengah agar kebijakan yang disusun DPRD bersama Pemerintah Daerah (Pemda) tidak senantiasa merugikan masyarakat daerah.
“Yang dialami oleh masyarakat adat itu yang meneguhkan komitmen untuk masuk ke partai politik. Kami ingin jadi pengambil kebijakan untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara itu berpihak pada hak-hak dan kepentingan masyarakat adat,” kata Munadi.
Telah berpengalaman, Aletta Baun, mantan anggota DPR RI dari Timor Tengah Selatan mengungkapkan sulitnya mengawal kepentingan masyarakat adat di undang-undang. Ragam latar belakang dan kepentingan anggota DPR, serta minimnya utusan masyarakat adat membuat kepentingan masyarakat adat seringkali tak sesuai harapan. Namun sepertinya, Aletta memakluminya.
“Ketika masuk dalam mekanisme, banyak aturan. Apalagi kalau hanya satu orang yang punya aspirasi. Maju DPR ini kan banyak orang yang latar belakanya beda. Tidak semua orang berpikir tentang masyarakat adat, walaupun diutus oleh rakyat. Jadi, tidak bisa mentang-mentang ini mengatakan harus jadi. Kita harus berpikir juga bagaimana negara,” ungkapnya.
Pemilu di mata masyarakat adat
Munadi dan Syafrin menyambut baik pemilu dan demokrasi, meski diakui pemilu seringkali dibajak oleh politik uang yang biasanya dilakukan oleh kandidat-kandidat yang tak dekat dengan masyarakat. Munadi mengatakan agar masyarakat adat berpartisipasi aktif dalam pemilu, semua pihak, baik penyelenggara pemilu, partai politik, maupun pegiat pemilu mesti mengedukasi bahwa pemilu dapat merubah nasib masyarakat adat.
“Kalau melihat pemilu sebagai kebutuhan, maka partisipasinya tinggi. Tapi kalau melihat hanya sebagai rutinitias, dibohongi oleh janji-janji politik, rendah. Nah, kemarin di Halmahera Tengah partisipasinya tinggi. Masyarakat adat di sini saling membantu menyelenggarakan pemilu dan ramai juga,” kata Munadi.
Di masyarakat Sakai, sebagaimana diakui Syafrin, tak ada kandidat atau partai politik yang pernah datang menyapa. Masyarakat Sakai mengenal kandidat dari pembacaan di media dan kegiatan pemerintahan. Adapun penyelenggara pemilu pernah melibatkan masyarakat Sakai untuk menjadi penyelenggara pemilu di tingkat bawah.
“Sakai pernah dilibatkan dalam pemilu. Menjadi KPPS di pelosok-pelosok,” tukas Syafrin.
Di sisi lain, Aletta mengingatkan agar masyarakat adat tetap solid menjalankan demokrasi deliberatif dengan berkelompok. Sebagaimana kesaksian salah satu pendiri AMAN, Rukmini, perjuangan kelompok yang diwadahi AMAN telah berhasil membuka relasi ekual antara masyarakat adat dengan pemerintah. Tak ada pencanangan program baru tanpa konsultasi dan restu masyarakat adat.
“Pemerintah dulu mengatakan, kalau untuk pembangunan tidak boleh melawan. Padahal kita sudah sakit hati sekali. Dan pemerintah itu bikin kegiatan saja, tidak perlu kami hadir atau tidak. Masyarakat adat hanya sebagai objek. Sekarang, kalau kau mau buat kegiatan di daerah saya, tanpa proses konsultasi, selesai. Jadi sekarang, kalau ada pembangunan, masyarakat adat adalah orang pertama yang hadir dari prakondisi sampai pembangunan itu jadi,” tutup Rukmini.