December 7, 2024

Demokrasi Semu Presiden Tiga Periode

Seorang seniman Serbia, Marina Abramovic menampilkan pertunjukan yang ia beri nama “Rhythm 0” (1974). Ia berdiri di tengah keramaian dan membiarkan orang melakukan apapun kepadanya. Banyak orang kemudian memberikannya bunga, memeluknya hangat, hingga melemparkan beberapa koin. Namun selang beberapa jam, penonton yang tidak melihat perlawanan Marina, mulai tak terkendali. Mereka mulai melecehkan Marina secara seksual, melemparinya, bahkan menyilet lehernya. Melihat penonton yang semakin menggila, seorang ibu menyelamatkannya dari kerumunan.

Dengan aksi kontroversial ini, Marina mengajak kita untuk menyadari, bahwa kekuasaan yang semakin besar, membuat orang menjadi gila. Eksperimen ini turut membuktikan adagium terkenal dari Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Marina Abramovic dan Lord Acton, memberikan gambaran jelas tentang kekuasaan yang besar dengan waktu lama, akan menimbulkan kesewenang-wenangan.

Sisi gelap manusia tersebut, juga dibuktikan para diktator di berbagai belahan dunia. Kepemimpinannya memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam waktu yang lama, kemudian bertindak sewenang-wenang. Transisi kepemimpinan melalui pemilu selalu ada di pergantian periode pemerintahan, tetapi semu. Dominasi kekuasaan terus menghasilkan pemenang pemilu yang sama.

Konyolnya, beberapa waktu lalu muncul wacana memperpanjang jabatan presiden Indonesia menjadi tiga periode. Wacana ini sempat masif akibat didengungkan oleh para pendengung. Tentu saja wacana ini mengancam agenda reformasi yang belum selesai.

Hal itu tak mengherankan, reformasi hingga hari juga masih dijalankan setengah-setengah. Aktor-aktornya juga masih sama, yang dahulu juga mendapat tempat di Orde Baru atau turunannya. Karenanya, wacana konyol tersebut terus mendapat perhatian para elite, terutama yang mendapatkan keuntungan dari rezim yang berkuasa.

Kemunduran

Wacana presiden tiga periode, walau isunya mulai mereda, menandakan kemunduran demokrasi Indonesia. Wacana tersebut tentu bukan jadi indikator utama dalam melihat kemunduran demokrasi. Beberapa persoalan seperti ancaman kebebasan berpendapat, kebebasan akademik, korupsi, hingga politik dinasti, juga menjadi ukuran penting dalam melihat demokrasi yang semu. Perlu pula dilihat bagaimana jalannya demokrasi di Indonesia lewat beberapa indikator. Misalnya, berdasarkan catatan World Justice Project (2021), pada 2014-2020, Indeks Negara Hukum yang dimiliki Indonesia, sebagai salah satu indikator demokrasi, stagnan diangka 0,52-0,53. Angka ini diakibatkan tingginya korupsi dan akses terhadap keadilan yang belum memadai.

Selain itu, menurut catatan Freedom House (2021), status kebebasan Indonesia adalah partly free. Pada 2021 Indonesia mendapatkan skor 59/100, menurun dari skor sebelumnya yakni 61/100. Angka tersebut, disusun oleh dua komponen yakni hak politik dan kebebasan sipil. Skor hak politik cukup tinggi, yakni 30/40, sedangkan kebebasan sipil, skornya anjlok hingga 29/60. Memang, Indonesia sangat menjamin hak politik, terutama hak untuk memilih dan dipilih sehingga skor yang didapat di atas rata-rata. Tetapi, dalam hal kebebasan sipil, yang di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat, dan lainnya, tidak dijamin secara serius oleh negara.

Menariknya, bila komponen skor dilihat lebih jauh, porsi kebebasan sipil lebih besar dibanding hak politik. Kebebasan sipil yang merepresentasikan demokrasi substantif, dipandang sebagai tujuan utama, setelah diupayakan melalui penjaminan hak politik seperti Pemilu, yang sifatmya prosedural. Lebih lanjut, dalam kategori kebebasan sipil, terdapat beberapa indikator seperti perlakuan yang setara, prinsip equality before the law, hingga kebebasan akademik dan imparsialitas peradilan, di mana Indonesia memiliki skor kecil. Ini menandakan kedaulatan rakyat hanya dijalankan secara prosedural, dan tidak menyentuh gagasan yang lebih substantif. Di sisi bersamaan, konteks prosedural sebagai upaya menjamin demokrasi yang komprehensif, ternyata tidak berjalan sesuai tujuan.

Peran Pemilu

Melihat data di atas, rasanya tak mengherankan bila wacana presiden tiga periode menyeruak. Kultur serta aktor politik masa Orba, ternyata masih hinggap di pemerintahan pasca-reformasi. Namun, bila bersandar pada penilaian Freedom House, terutama terkait jaminan hak politik dan jalannya prosedur demokrasi seperti pemilu, rasanya Indonesia masih punya harapan.

Dalam konteks demokrasi, pemilu tentu memainkan peran yang determinan. Pemilu memiliki beberapa fungsi dalam menjalankan kedaulatan rakyat seperti, sarana masyarakat mementuk pemerintahannya sendiri, sebagai sirkulasi elit, hingga mekanisme yang ampuh bagi masyarakat untuk menghukum para pejabat politik. Namun, bila dilihat dari perspektif top-down, pemilu juga menjadi sarana penguasa untuk mencari legitimasi. Oleh karenanya, pengaturan pemilu menjadi krusial karena ia bagaikan pisau bermata dua, yang bisa menjadi bumerang bila salah menggunakannya.

Namun, beberapa persoalan masih membaluti pemilu sehingga kesulitan untuk menjamin keterwakilan masyarakat. Misalkan isu dana kampanye dan peredaran uang di tiap pemilu yang sangat besar, sehingga menyaring para kandidat hanya berdasarkan kemampuan finansial. Kemudian dalam konteks pemilihan presiden, angka ambang batas pencalonan yang tinggi, ikut menyaring kandidat-kandidat yang kompeten dan menyisakan kandidat yang mampu merangkul parpol secara pragmatis saja. Dua persoalan ini memberikan pilihan yang tidak variatif kepada masyarakat. Ditambah lagi, kurang variatifnya kandidat, yang terkesan itu-itu saja, dan tertutupnya kesempatan bagi calon-calon yang kompeten, turut mengeskalasi wacana tiga periode.

Artinya, pengaturan pemilu harus membuka ruang pada tiap orang tanpa terkecuali. Ini bertalian dengan prinsip free and fair election. Keadilan pemilu perlu dilihat bukan hanya dalam konteks pertarungan pada saat menjadi kontestan, namun juga proses menjadi kontestan. Karenanya, kedua isu di atas perlu diselesaikan dengan visi yang matang.

Selain itu, kebijakan afirmatif juga diperlukan untuk menggerek keterwakilan kaum rentan seperti perempuan, disabilitas, hingga identitas yang minoritas. Bila pilihan variatif dan keterwakilan yang beragam dapat terwujud, niscaya kedaulatan rakyat yang semu tak lagi menjadi soal. Selain itu, wacana-wacana yang tidak demokratis seperti penambahan masa jabatan presiden juga dapat dihalau, sehingga demokrasi dapat berjalan dengan substantif, konsisten, dan sungguh-sungguh. []

KAHFI ADLAN HAFIZ

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)