September 13, 2024

Demokrasi Tersandera Pragmatisme Elite Politik

Strategi Pemerintah Tidak Jelas

JAKARTA, KOMPAS — Konsolidasi kelembagaan demokrasi di Indonesia melalui pemilihan umum tersandera pragmatisme jangka pendek elite partai politik yang terus menjadikan revisi undang-undang pemilu sebagai momentum menyelamatkan diri. Indonesia pun terjebak pada demokrasi prosedural.

Hingga Jumat (16/6), Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Penyelenggaraan Pemilu DPR masih menggelar rapat di tim sinkronisasi untuk menyatukan pasal-pasal dalam RUU tersebut. Namun, fraksi-fraksi masih belum mencapai kata sepakat untuk lima isu krusial, yakni ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, magnitude daerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode konversi suara.

Sementara itu, pemerintah juga punya posisi keras untuk isu ambang batas pencalonan presiden. Pemerintah mewacanakan menarik diri dari pembahasan karena opsi ambang batas pencalonan presiden yang diusulkan pemerintah, yakni 20-25 persen, belum juga disepakati secara bulat oleh fraksi-fraksi. Di tengah polemik itu, tahapan Pemilu 2019 sudah semakin mendekat, hanya tinggal hitungan bulan.

Dalam catatan Kompas, kebuntuan dalam pembahasan RUU Pemilu sebagai imbas dari tarikan-tarikan kepentingan partai politik tidak hanya sekali ini terjadi. Pembahasan revisi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga berkutat pada isu yang sama. Kompas pada Januari hingga April 2012 juga memberitakan kebuntuan pada empat isu krusial, yakni sistem pemilu, ambang batas parlemen, alokasi kursi di daerah pemilihan, dan metode penghitungan suara. Hanya isu ambang batas pencalonan presiden yang saat itu tidak dibahas karena tidak termasuk dalam pembahasan UU Pemilu Legislatif.

“Kondisi hari ini seperti siklus lima tahunan. Pada tahun 2012 lalu juga yang muncul soal isu-isu krusial itu. Pembahasan tahun 2017 juga ternyata pengulangan dari tahun 2012,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini di Jakarta.

Pengulangan

Peneliti senior politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan, perulangan tarikan kepentingan partai politik pada setiap revisi undang-undang pemilu itu menyebabkan Indonesia terjebak pada demokrasi prosedural. Hampir setiap menjelang pemilu, DPR hanya memperbaiki UU secara tambal sulam.

Syamsuddin mendorong masyarakat sipil lebih kencang lagi menyuarakan pendapatnya agar pada masa mendatang hal yang sama tidak terus berulang. Menurut dia, pembahasan RUU Pemilu kali ini berlangsung dengan buruk. Waktu pembahasan tidak tepat karena baru dimulai Oktober 2016.

Selain itu, pemerintah sebagai penyusun naskah RUU Pemilu tidak punya politik kepemiluan yang jelas. Padahal, pemilu merupakan infrastruktur demokrasi. “Sejak awal juga pemerintah tidak punya strategi untuk memperjuangkan pilihan (politik kepemiluan) di Senayan. Akhirnya dilepas begitu saja naskah mentah dimangsa ‘macan-macan’ Senayan,” kata Syamsuddin.

Pembahasan RUU Pemilu yang tersendat itu, menurut peneliti politik dari Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, disebabkan RUU Pemilu itu dijadikan alat partai politik untuk bertahan dalam kontestasi politik. Partai memilih berpikir pragmatis soal bagaimana bisa bertahan dengan memilih metode dan sistem yang menguntungkan masing-masing. Imbasnya, demokrasi Indonesia tidak didorong oleh kepentingan jangka panjang, tetapi didorong oleh pragmatisme jangka pendek elite partai politik.

“Seharusnya sistem pemilu yang baik berkontribusi pada kepentingan kolektif publik, bagaimana masyarakat bisa dekat dengan wakilnya dan bisa menyampaikan aspirasinya,” katanya.

Produk RUU Pemilu yang tengah dibahas oleh Pansus DPR, kata mantan komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, selain punya banyak masalah dalam hal pembahasan, juga punya persoalan secara substansi. Rancangan itu belum bisa menjawab hal penting, seperti bagaimana membuat proses penyelenggaraan pemilu lebih demokratis, menghindari kecurangan, ataupun bagaimana aturan hukum ditegakkan jika terjadi kecurangan.

Masih dibahas

Partai-partai politik di DPR berharap pemerintah tidak mundur dari pembahasan RUU Pemilu yang masih belum ada kesepakatan tentang lima isu penting, termasuk presidential threshold.

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menuturkan, Senin pekan depan akan kembali digelar rapat kerja pansus dan pemerintah. Saat itu, setiap fraksi juga akan memberikan pendapat terkait RUU Pemilu. Dia berharap enam paket kombinasi lima isu krusial itu bisa semakin mengerucut. Lobi antarfraksi masih berlangsung.

Menurut dia, terkait dengan ambang batas pencalonan presiden, pemerintah, PDI-P, Golkar, dan Nasdem masih bertahan di ambang batas 20-25 persen dari Pemilu Legislatif 2014. Sementara fraksi-fraksi lain menginginkan tidak ada ambang batas pencalonan presiden.

“PDI-P menolak voting isu per isu. Masih ada kesempatan sampai 20 Juli. Itu batas akhir paripurna apakah kesepakatan berdasarkan musyawarah mufakat atau tidak,” kata anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo.

Pemerintah di sisi lain terus menanti kesepakatan yang muncul dari lobi-lobi intensif pimpinan partai politik anggota Pansus RUU Pemilu. “Pemerintah tetap berpikir positif dan optimistis karena sebenarnya semangat teman-teman di pansus adalah bermusyawarah,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Tjahjo mengatakan, dari ribuan daftar isian masalah yang diurai dalam proses pembahasan RUU Pemilu, telah terjadi kesepakatan pada 562 pasal. Dari 15 isu krusial yang berhasil dipetakan juga kini hanya tersisa lima masalah. “Seharusnya semua bisa berpikir untuk kepentingan bangsa yang lebih besar,” ujarnya.

Pada saat yang sama, Tjahjo memastikan, posisi pemerintah tetap pada usulannya mengusung ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR dan 25 persen perolehan suara nasional. (GAL/MHD)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/kompas/2017/20170617kompas/#/3/