Tak seperti yang diharapkan oleh para pakar dan pegiat pemilu, pemilu serentak yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 tak memisahkan antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Sebagai akibatnya, pada 17 April 2019, pemilih mesti memilih lima kandidat dari lima pemilihan secara bersamaan, yakni Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemilihan Anggota DPR Daerah (DPRD) provinsi, dan Pemilihan Anggota DPRD kabupaten/kota.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, juga peneliti senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengkritik desain pemilu serentak yang diterapkan pada 2019. Menurut Titi, beban penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 amat berat bagi penyelenggara pemilu di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Di dapil (daerah pemilihan) saya, Ciputat dan Pamulang, DPR ada 10 kursi. Sekarang ada 16 partai politik. Misal, satu partai ada 8 calon saja, 8 kali 16 ada 128 caleg DPR. Lalu DPRD provinsi, di dapil itu juga ada 10 kursi. Di DPRD Tangerang Selatab,12 kursi. Satu TPS ada 300 pemilih yang berdasarkan simulasi KPU, satu pemilih memakan waktu 8 hingga 9 menit. Nah ini, ditambah calon DPD, bisa dibayangkan beban KPPS seperti apa untuk menghitung suara lebih dari 400 calon pada satu hari yang sama,” jelas Titi pada diskusi “Evaluasi Politik Tahun 2018 dan Proyeksi Politik Tahun 2019” yang diadakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Selatan (13/12).
Beban itu belum seberapa sebab KPPS diminta untuk mengisi sejumlah formulir. Tuntutan profesionalisme dari seluruh pihak di tengah beban penyelenggaraan pemilu yang berat, dinilai Titi tak masuk akal.
“Cara kita mengadministrasikan pemilu kita, memberikan beban tidak logis kepada penyelenggara. Tapi lalu kita meminta profesionalisme dan integritas kepada mereka. Teman saya cerita, dia hanya bisa menandatangani formulir secara sadar itu hanya empat formulir pertama,” tukas Titi.
Beban besar terhadap KPPS itulah yang menjadi tantangan profesionalitas dan integritas penyelenggaraan Pemilu. Pengalaman Pemilu 2014, banyak terjadi pemungutan suara ulang (PSU) akibat banyak petugas KPPS yang tak bekerja secara profesional.
Kegagapan penyelenggara pemilu di level atas
Selain tantangan pada penyelenggara pemilu di level bawah, Pemilu 2019 juga menghadapi tantangan terkait manajerial dan kesigapan penyelenggara pemilu di level atas. Masa adaptasi terhadap regulasi baru yang singkat dinilai Titi sebagai penyebab kegagapan penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan Pemilu Serentak 2019. Hal ini bertambah parah ketika muncul beberapa aturan baru yang menginterupsi tahapan yang telah dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai contoh, aturan baru yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terkait verifikasi partai politik calon peserta pemilu.
“Demi mematuhi aturan yang keluar di tengah tahapan yang sedang berjalan, penyelenggara pemilu jadi kompromis terhadap waktu dan keadaan. Masa verifikasi faktual dilakukan kepada sampel-sampel yang dipilih oleh partai politik sendiri? Ini kan bentuk kompromis penyelenggara terhadap aturan baru, yang padahal aturan itu dipandang publik kurang adil,” tandas Titi.
KPU diharapkan dapat menyusun prioritas kerja secara memadai dan tak mengulang kegagapan penyelenggara Pemilu 2009, saat MK juga menginterupsi penyelenggaraan dengan mengeluarkan kebijakan sistem proporsional daftar terbuka. KPU hari ini harus memberikan sosialisasi inklusif kepada seluruh pemilih mengenai cara memilih dalam konsep pemilu serentak dan hal-hal yang mesti diketahui publik terkait hak pilih.
“2009 itu, kita seperti hujan gugatan. Caleg sesama partai bertarung berdarah-darah. Itu karena sistem pemilu yang kompleks dan popular vote tidak diantisipasi oleh penyelenggara di lapangan. Nanti pemilu serentak, KPU harus mengantisipasi kegagapan pemilih dengan memberikan mereka informasi mengenai bagaimana cara memilih yang benar,” ujar Titi.
Selain itu, Titi juga mengkritik KPU yang tidak memberikan respon cepat terhadap tuntutan publik atas keterbukaan data dan informasi melalui situs yang dikelolanya dan terhadap berita bohong yang dialamatkan kepada KPU. Respon cepat dibutuhkan untuk menghindari tertumpuknya kabar bohong yang dapat digoreng oleh pihak yang kalah untuk mendelegitimasi proses dan hasil Pemilu di kemudian hari.
“KPU mesti membebaskan pemilih dari informasi bohong dan menyesatkan. Pengalaman saya, KPU belum bisa cepat menangani kabar bohong. Mereka cenderung tidak menganggap isu yang menyasar mereka sebagai isu yang tidak perlu direspon dengan cepat,” kata Titi.
Titi mengingatkan agar KPU menyadari bahwa berbagai persoalan yang timbul dan berpotensi timbul pada Pemilu 2019 merupakan masalah serius. Sebagai penanggungjawab akhir penyelenggaraan Pemilu, KPU diharapkan tanggap dan aktif mengatasi berbagai isu yang dapat menciderai kemurnian suara pemilih.
“Ada banyak masalah di Pemilu kita. Ada persoalan banyaknya KTP (Kartu Tanda Penduduk) elektronik palsu. Ini kalau KPU tidak merespon cepat, bisa jadi fenomena gunung es pemilu,” ucap Titi.
Langkah mengantisipasi dead lock dalam Pemilu 2019 diperlukan
Mendukung seluruh argumentasi Titi, Syamsuddin mendesak agar Pemerintah, penyelenggara pemilu, dan parlemen segera menyusun langkah untuk mengantisipasi potensi dead lock dalam Pemilu 2019. Undang-Undang (UU) Pemilu tak menyediakan antisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk dalam penyelenggaraan pemilu serentak yang pertama kalinya diterapkan di Indonesia.
“Kalau satu orang 8,5 menit, artinya butuh 42 ,5 jam untuk pemungutan suara. Belum penghitungan. Maka penting untuk ketiga pihak menyediakan langkah antisipasi dead lock. Hati-hati pada semua hal yang bisa mendelegitimasi pemilu kita,” tandas Syamsuddin.