Fenomena dinasti politik atau pencalonan anggota keluarga di pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah refleksi dari penguasaan modal dan struktur partai oleh anggota keluarga atau kerabat. Penguasaan ini akhirnya membuat rekrutmen politik diatur oleh keluarga politik.
“Jadi saya menemukan korelasi antara dinasti di Pilkada dengan dinasti di partai. Praktik dinasti di partai dilanjutkan di Pilkada,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam diskusi daring “Pilkada: Antara Dinasti dan Calon Tunggal” (4/8).
Selama Pilkada 2015-2018, tercatat ada 202 orang yang punya hubungan kekerabatan dengan elite yang mencalonkan diri. Dari 202 itu, 117 orang menang dan 85 lainnya kalah. Kini 108 daerah atau 20 persen dari total daerah administrasi di Indonesia dikuasai oleh dinasti politik.
“Kenapa angka (daerah)-nya lebih kecil (dari angka individu) karena ada misalkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keduanya itu boleh dikategorikan sebagai anggota dinasti politik,” kata Yoes Kenawas kandidat doktor di Northwestern University, AS yang sedang meneliti politik dinasti di Indonesia di diskusi yang sama.
Untuk mencegah dinasti di Pilkada, Titi mendorong rekrutmen politik yang terbuka dan demokratis di internal partai. “Jadi bagaimana kita itu punya sistem pemilihan di internal partai yang kompetitif bukan hanya ditentukan secara elitis oleh segelintir orang di partai politik dan itu harus diatur di dalam undang-undang partai,” tandas Titi.