December 11, 2024

Dinasti Politik dan Calon Tunggal Guncang Integritas Pilkada 2024

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 berpotensi terjadi berbagai praktik kecurangan yang dapat merusak integritas proses pemilu. Potensi kecurangan tersebut berupa praktik politik dinasti hingga penggunaan aparatur negara untuk kepentingan pemenangan. Themis Law Firm menemukan setidaknya terdapat 35 daerah, terdiri dari 9 provinsi, 18 kabupaten, dan 8 kota yang disokong oleh dinasti politik. Dari 35 daerah tersebut terdapat 42 figur politisi berlatar belakang keluarga politik yang berpotensi maju di Pilkada 2024.

“Di antaranya ada Sumatera Utara, Jawa Tengah, Banten, dan Kalimantan Timur. Di Banten misalnya, ada dinasti Atut dan Jayabaya, yang membuat satu daerah akan diperebutkan oleh dua dinasti politik,” kata Peneliti Themis, Hemi Lavour dalam diskusi “Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralitas ASN” di Kalibata, Jakarta Selatan (13/8).

Dalam catatan Themis, 42 calon potensial di Pilkada 2024 didukung partai-partai politik, setidaknya ada 15 partai politik yang telah menyatakan dukungan berbagai calon dari keluarga politik. Partai Golkar menjadi partai politik paling banyak memberikan dukungan dinasti politik daerah, dengan mengusung 19 calon potensial yang terafiliasi dengan dinasti politik. Disusul Partai Gerindra dengan 17 calon. Partai Demokrat 15 calon, Partai NasDem 14 calon, PKS sebanyak 11 calon. Partai lainnya, seperti PAN dan PKB mengusung 9 calon. PPP 8 calon, PDIP dan PSI, 6 calon, PBB dan Perindo 3 calon, serta Garuda, Hanura, dan PKN 1 calon dari dinasti politik.

Menanggapi temuan itu, Koordinator Bidang Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha mengatakan bahwa dinasti politik di pilkada semakin ternormalisasi sejak Presiden Joko Widodo mendukung pencalonan anaknya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2024. Eki menilai, dinasti politik sangat berbahaya bagi demokrasi, karena kooptasi kekuasaan oleh satu keluarga secara turun-temurun terkait erat dengan praktik korupsi.

Dampaknya, Egi menyebut praktik politik uang dan bantuan sosial (bansos) memiliki kecenderungan meningkat. Akhirnya politik uang tak lagi hanya ditawarkan oleh kandidat, namun menjadi permintaan pemilih. Padahal politik uang merupakan pelanggaran pemilu, namun kini semakin ternormalisasi.

“Banyak laporan yang kami terima dari berbagai daerah bahwa pemilih meminta, bukan lagi dipaksa oleh kandidat, tetapi mereka meminta mana barangnya, uangnya. Jadi, politik uang sudah menjadi normal,” ujar Egi.

Lebih lanjut, ternormalisasinya politik uang membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi semakin sulit karena warga tak lagi mau melaporkan politik uang. Egi menyebut, bentuk politik uang kini juga telah berkembang, dari uang fisik menjadi uang digital dengan nominal yang semakin besar.

Selain politik uang, ICW juga mengamati fenomena semakin maraknya bansos di pemilu dan pilkada namun tak ada penegakan hukum yang jelas. Bansos diperkirakan akan kembali digunakan untuk memenangkan kontestasi di Pilkada Serentak 2024 oleh petahana atau keluarga politik yang memiliki kontrol atas sumber daya negara. ICW juga memprediksi mahar politik tak hanya diberikan oleh bakal calon kepada partai politik untuk tiket pencalonan, namun juga agar partai tidak mengusung calon tandingan di Pilkada Serentak 2024.

“Yang kami duga terjadi, tidak hanya sebatas untuk mahar, tetapi juga untuk menjegal. Misal, tiket harganya sekian. Di luar itu, bisa naik kalau yang diberikan adalah tiket untuk tidak mencalonkan orang yang menjadi pesaing dia,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati memprediksi jumlah daerah bercalon tunggal meningkat dua kali lipat sebanyak 50 daerah, dibanding Pilkada Serentak 2020. Khoirunnisa mencatat, pada Pilkada 2020 terdapat 25 daerah dengan calon tunggal, dan hanya ada satu daerah yang dimenangkan kotak kosong sejak Pilkada Serentak 2015. Perludem menilai, elit politik hendak menghilangkan kompetisi di pilkada.

“Pilkada 2024 trennya bisa jadi dua kali lipatnya, di provinsi bahkan mau diupayakan juga kolom kosong. Masak sekelas provinsi, pemilihnya banyak, tapi calon cuma satu. Kita sebagai pemilih, dikasih buah simalakama, karena ketika 2024 ada kolom kosong yang menang, pilkadanya baru akan ada lagi tahun 2029. Jadi, seakan-akan tidak apa-apa kolom kosong menang, tapi dengan penjabat selama lima tahun,” jelas Khoirunnisa.

Prediksi Perludem sejalan dengan temuan kajian Themis terkait potensi calon tunggal di Pilkada 2024. Setidaknya terdapat empat provinsi yang berpotensi calon tunggal, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Sementara di tingkat kabupaten/kota, potensi calon tunggal ditemukan di Kutai Kartanegara, Batam dan Bima. Potensi manipulasi di Pilkada 2024 dilakukan melalui penyalahgunaan bantuan sosial, netralitas aparatur sipil negara, politik dinasti, dan calon tunggal.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan, ada enam model kecurangan yang berpotensi terjadi di Pilkada 2024. Model pertama dengan merekayasa calon tunggal, seluruh partai politik dihimpun untuk mendukung satu calon, sehingga tak menyisakan kekuatan untuk mengusung calon lain. Pemaksaan partai politik untuk mendukung salah satu calon dilakukan melalui ancaman kasus hukum yang dilakukan oleh anggota partai, dan penguasaan partai politik.

“Beli seluruh perahu, beli seluruh partai dengan maharnya, sehingga tidak ada perahu yang tersisa. Wajar diduga trennya akan meningkat, karena hampir seluruh perkara calon tunggal dimenangkan oleh calon tunggal. Artinya, semua partai tergiur untuk melakukan praktik ini,” ucap Feri pada diskusi yang sama.

Selanjutnya, manipulasi aturan main. Feri menjelaskan, jika pada Pemilu Presiden 2024 lahir Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/2023 yang memuluskan putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden, pada Pilkada 2024 terbit Putusan Mahkamah Agung No.23 mengenai syarat minimal usia calon kepala daerah, yang disinyalir memberikan ruang bagi Kaesang Pangarep untuk bertarung di Pilkada 2024.

“Sekarang ada Putusan 23 di MA, yang membuka jalan bagi calon yang belum berusia genap 30 tahun untuk bisa bertarung. Dimana-mana, syarat untuk masuk sesuatu mesti memenuhi syarat usia dulu. Saya misalnya mau jadi dosen, usia saya harus terpenuhi usia standarnya, tidak usia saat saya pelantikan. Jadi, ini bagian dari rekayasa,” tegas Feri.

Menurut Feri, Putusan MK No.100/2015 merupakan manipulasi aturan main, alih-alih membolehkan pilkada dengan satu calon, MK harusnya membatasi jumlah dukungan partai politik kepada satu calon, sebagaimana aturan di pemilu presiden. Harapannya, pembatasan dukungan akan memunculkan minimal dua pasangan calon di pilkada.

Model kecurangan selanjutnya adalah politik gentong babi. Feri menyebut, peristiwa pencurian bantuan sosial di rumah dinas Wali Kota Medan, Bobby Nasution, menjadi alarm akan digunakannya bansos pada Pilkada 2024. Ia juga menyoroti pengerahan aparatur sipil negara (ASN) dan Kepolisian, terlihat dari adanya pemindahan atau penggantian sekretaris daerah (sekda) dan kepala kepolisian daerah (kapolda) di beberapa daerah. Menurutnya, sekda merupakan jabatan ASN tertinggi di daerah yang memiliki banyak kewenangan strategis.

“Beberapa daerah ada mutasi, pergeseran dan sebagainya. Salah satu sekda yang dimutasi terjadi di Kota Medan dan Sumatera Utara (Sumut). Sekda yang dipimpin di daerah Pak Bobby dipindah ke Kabupaten Serdang Bedagai, daerah dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tertinggi di Sumut. Jadi, sekda yang dipercaya harus dipindah ke sana, dan sekda di Kota Medan diisi oleh pamannya Bobby sendiri,” urai Feri.

Selain itu, penyelenggara pilkada juga dinilai rentan disusupi kepentingan politik. Pada Pemilu 2024, masyarakat sipil menemukan kecurangan pada proses verifikasi faktual partai politik peserta pemilu. Model kecurangan lainnya yang perlu diwaspadai menurut Feri ialah sengketa hasil di MK. Perlu langkah-langkah bijaksana oleh MK untuk mengadili sengketa hasil pilkada, agar konflik kepentingan lembaga pengadilan dapat dihindari. []