Rabu (16/1), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas, dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Hak Pilih Penyandang Disabilitas dan Potensi Kecurangan Pemilu”. Diskusi diselenggarakan untuk menanggapi maraknya stigma negatif, baik dari peserta pemilu maupun masyarakat pemilih, terhadap hak pilih disabilitas mental. Hak pilih bahkan dicurigai sebagai skenario untuk mencurangi hasil pemilihan lewat daftar pemilih.
“Kami prihatin sekali atas isu di media dan media sosial yang meributkan katanya orang gila boleh mencoblos dalam Pemilu 2019. Parahnya lagi, keributan ini diikuti oleh meme dan komentar negatif yang bernada penghinaan. Jadi, kami rasa keributan ini perlu diluruskan,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, di Media Centre Komisi Pemilihan Umum (KPU), Menteng, Jakarta Pusat.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan bahwa pada Pemilu 2014, disabilitas mental yang berada di panti sosial dan rumah sakit telah menggunakan hak pilih. Tak ada mobilisasi sebagai bentuk kecurangan oleh salah satu peserta pemilihan presiden, sebab hasil penghitungan di masing-masing panti dan rumah sakit berbeda. Di Rumah Sakit Grashia Yogyakarta, pasangan calon (paslon) Joko Widodo-Jusuf Kalla menang. Namun, di RS Jiwa Sanglah, Bali, dan RS Jiwa Mataram, Lombok, yang menang adalah paslon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
“Hasil berbeda ini menunjukkan bahwa tuduhan kecurangan suara disabilitas mental untuk salah satu paslon adalah tidak terbukti,” tegas Fadli.
Fadli mengatakan bahwa dalam pemilu, tak ada pilihan yang salah. Sama seperti pemilih tanpa disabilitas, pemilih disabilitas mental memilih calon-calon yang disediakan oleh peserta pemilu, yang telah diseleksi melalui mekanisme di masing-masing partai.
“Tidak ada calon yang berpotensi membahayakan bangsa dan negara bila terpilih. Karena, setiap calon merupakan orang terbaik dari partai yang mencalonkan dan telah melalui seleksi ketat,” ujar Fadli.
Ia menambahkan, pandangan yang menilai pemberian hak pilih kepada disabilitas mental merupakan bentuk kecurangan pemilu adalah tindakan diskriminatif. Kecurangan pemilu seperti mobilisasi pemilih dapat dilakukan terhadap pemilih tanpa disabilitas. Contoh, mobilisasi dengan memanfaatkan relasi kuasa antara guru dan murid, atasan dan bawahan, orangtua dan anak, serta lurah dan warga. Kelompok masyarakat yang berada pada lapisan bawah atau berada pada subordinasi oleh pihak-pihak tertentu juga rentan terhadap politik uang.
“Jadi, sebetulnya tidak hanya disabilitas mental. Tapi kenapa hanya mereka yang dipersalahkan? Tak satupun ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang berpotensi dimanipulasi itu harus dicabut hak pilihnya,” tandas Fadli.
Menurutnya, jika ada kecurigaan akan terjadi manipulasi, maka pihak yang mesti ditindak adalah pihak-pihak yang berpotensi melakukan kecurangan atau manipulasi suara, bukan warga negara berhak pilih. Tuduhan bahwa disabilitas mental dapat mengacaukan situasi pungut-hitung di Tempat Pemungutan Suara (TPS), fakta yang terjadi pada Pemilu 2014 di panti-panti dan rumah sakit jiwa, pelaksanaan pungut-hitun berlangsung aman dan tertib.
“Tidak ada sama sekali laporan kekacauan maupun pengrusakan. Kalau misal ada gangguan ketertiban di lokasi TPS, kan ada aparat keamanan juga yang ditugaskan untuk menertibkan,” tukas Fadli.
Hak disabilitas mental
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yeni Rosa Damayanti, menerangkan hak disabilitas mental yang merupakan salah satu bagian dari masyarakat disabilitas Indonesia. Yeni menyesalkan pihak-pihak yang menyebut disabilitas mental dengan istilah orang gila, sebab Undang-Undang (UU) No.19/2011 yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas hak-hak penyandang disabilitas, dan UU No. 8/2016 menjamin kehormatan disabilitas mental dengan memberikan istilah disabilitas. Sebutan orang gila merupakan penghinaan dan sikap merendahkan disabilitas mental.
“Hukum kita secara resmi memakai istilah disabilitas mental, bukan orang gila. Istilah orang gila lebih jahat dari istilah penyandang cacat!” tegas Yeni.
Yeni kemudian menyebutkan keberadaan Pasal 77 UU No. 8/2016. Pasal ini mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin hak politik disabilitas dalam pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Disabilitas berhak didaftar sebagai pemilih, sebagaimana juga pesan dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Kovenan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Yeni meminta agar seluruh pihak menghormati hak pilih bagi disabilitas mental. Terdaftarnya disabilitas mental sebagai pemilih dalam Pemilu merupakan hasil perjuangan advokasi bertahun-tahun yang dilakukan oleh berbagai organisasi disabilitas kepada penyelenggara pemilu. Masyarakat dihimbau untuk berhenti mengeluarkan komentar yang stigmatif dan diskriminatif.
“Ini perjuangan banyak organisasi yang kita lakukan selama bertahun-tahun, agar disabilitas mental bisa mendapatkan hak politiknya. Gak minta mereka bisa mencalonkan, hanya terdaftar saja sebagai pemilih, hak politik yang paling rendah,” kata Yeni.
PJS, Perludem, dan PPUA Disabilitas berterima kasih kepada KPU yang telah memenuhi permintaan organisasi-organisasi disabilitas untuk memberikan hak pilih kepada para disabilitas. Namu demikian, KPU didorong untuk terus meningkatkan pelayanan terhadap disabilitas.
“Kami berterima kasih karena KPU selama ini sudah bersedia memberikan waktu bagi organisasi-organisasi disabilitas. Mendengarkan kami, menerima saran-saran kami,” ujar Wakil Ketua PPUA Disabilitas, Happy Sebayang.