December 26, 2024
Ilustrasi Rumahpemilu.org/ Haura Ihsani

Diskriminasi Hak Pilih Disabilitas Mental di Pusat Rehabilitasi

Hari pencoblosan suara Pilkada 27 November mendatang akan terasa berbeda bagi Rusdi, sebut saja demikian. Untuk pertama kalinya, pria paruh baya ini terancam tak bisa menyalurkan hak pilihnya.

“Waktu Pemilu Februari saya masih nyoblos di TPS dekat rumah,” katanya.

Kini, ia merupakan warga binaan Panti Rehabilitasi Mental Yayasan Al-Fajar Berseri, Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Ketika bersua dengan Parboaboa pada suatu siang Selasa (5/11) pekan lalu, baru sepekan ia menjadi penghuni di sana.

Rusdi dirawat di pusat rehabilitasi mental itu lantaran mengidap skizofrenia, gangguan mental yang membuatnya kesulitan membedakan khayalan dengan realitas. Sebelumnya ia menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol.

Rusdi merupakan warga Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Tidak terdata dalam daftar pemilih tetap di lingkungan sekitar Yayasan Al-Fajar, ia terancam tidak berpartisipasi dalam Pilkada 2024.

“Saya maunya pulang aja. Tapi kontrak rehabilitasinya di sini kan tiga bulan,” ujarnya merujuk durasi masa rehabilitasi yang harus dijalaninya di Yayasan Al-Fajar.

Ia bisa saja mengurus prosedur “pindah memilih” agar bisa menyalurkan suara di TPS terdekat dari panti rehabilitasi. Hanya saja, urusan administrasi yang perlu diurus cukup merepotkan. Rusdi merelakan saja hak suaranya hilang di Pilkada 2024. Orang dengan disabilitas mental yang menghuni Yayasan Al-Fajar akan bernasib serupa.

Jumlah mereka sekitar 400 orang, kebanyakan berdomisili di luar Tambun. Penghuni panti tidak pernah mendapat kesempatan untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

Budi, bukan nama sebenarnya, warga binaan Yayasan Al-Fajar Berseri sejak tiga tahun lalu, misalnya. Pada pemilu presiden dan legislatif Februari lalu, pria 64 tahun ini tidak mencoblos karena tak terdaftar di daftar pemilih tetap setempat.

Marsan Pengelola Yayasan Al-Fajar Berseri tak paham bagaimana mengurus “pindah memilih” bagi penghuni pantinya. Terlebih, jumlah warga binaannya banyak. Ia tak sanggup kalau harus mengurusnya satu persatu. Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bekasi juga pasif. Selain melalui prosedur “pindah memilih”, warga panti sebenarnya punya opsi lain untuk bisa tetap memilih. Caranya dengan pembentukan TPS Khusus di panti.

Hal itu sesuai Pasal 57 Ayat (5) Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2024. Syarat mendirikan TPS khusus ialah terdapat pemilih yang pada hari pemungutan suara tidak dapat menggunakan hak pilihnya sesuai dengan alamat KTP; pemilih tersebut terkonsentrasi di suatu tempat; dan jumlah pemilih paling sedikit satu TPS.

Namun, pengelola panti tidak pernah mendapat tawaran untuk mendirikan TPS khusus. Petugas Pilkada 2024, menurut Marsan, bahkan tidak pernah datang ke pantinya untuk mendata atau mengedukasinya agar hak pilih disabilitas mental tetap terakomodasi.

“Ke mana ngadunya? Kita kan enggak paham. Panitianya siapa?” ucap Pak Haji, sapaan akrab Marsan. Ia pun berharap, “Kita pengennya mereka dihargai. Kan gak semua ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) ini enggak ngerti ya, pasti kan ada yang ngerti juga, dia punya hak.”

KPU Kabupaten Bekasi membantah mengabaikan hak pilih disabilitas mental. Ali Rido, Ketua KPU Bekasi, mengatakan pihaknya intens melibatkan disabilitas bukan hanya sebagai pemilih, juga sebagai petugas jasa sortir lipat surat suara.

“Momentum lain kami juga libatkan sebagai pemantau saat pemilu, dan kegiatan-kegiatan lain,” ujar Ali saat dihubungi Parboaboa, Rabu (6/11).

Ketika ditanya lebih detail pemenuhan hak pilih disabilitas mental di Yayasan Al-Fajar Berseri, Ali tak merespons pesan lagi. Ia hanya mengirim tautan pemberitaan yang memuat kegiatan sosialisasi Pilkada oleh KPU Kabupaten Bekasi bersama organisasi disabilitas.

Komisioner KPU RI, Betty Epsilon Idroos juga tak menjawab gamblang pertanyaan Parboaboa perihal komitmen penyelenggara Pilkada dalam memastikan hak pilih disabilitas mental.

“Panti sosial yang mana? Boleh detail informasinya? Saya cek dulu lokasi yang dimaksud,” ucap Betty ketika dikonfirmasi permasalahan yang terjadi di Yayasan Al-Fajar Berseri.

Annisa Kirana, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyayangkan apa yang terjadi di Yayasan Al-Fajar. Ia menilai, seharusnya KPU bisa mendirikan TPS khusus di sana.

“Banyak sekali voters di sana, 400 itu angka yang cukup signifikan dan saya rasa bisa dibikin TPS di sana,” ujar Annisa kepada Parboaboa, Jumat (8/11/2024).

Ia mengatakan, KPU mestinya proaktif mendata pemilih disabilitas mental yang berada di panti-panti rehabilitasi. Annisa menegaskan bahwa disabilitas mental memiliki hak pilih yang sama dengan non-disabilitas. Hak itu dijamin dalam konstitusi. Terlebih, norma regulasi terkait hak pilih kelompok disabilitas mental juga sudah ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan nomor 135/PUU-XII/2015.

Menurut Annisa, hambatan kelompok disabilitas mental dalam menggunakan hak politik bermuara pada ketidaktahuan masyarakat. Publik masih belum menyadari bahwa orang dengan disabilitas mental sebenarnya mempunyai hak pilih.

“Jangan-jangan KPU sendiri enggak tau bahwa disabilitas mental ini punya hak untuk memilih,” Annisa berujar.

Ia berharap KPU RI melakukan bimbingan teknis (Bimtek) atau sosialisasi perihal hak pilih disabilitas mental kepada KPU daerah. Apalagi persoalannya tidak hanya terjadi di Yayasan Al-Fajar.

Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Fatum Ade, menemukan fenomena serupa di banyak panti rehabilitasi yang ada di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemenuhan hak pilih disabilitas mental kerap tersandung batu besar bernama stigma. Ade menyebut, kelompok disabilitas mental sering dihinggapi stigma “tak cakap hukum” sehingga diabaikan hak pilihnya.

“Cara orang melihat orang yang disebut ‘gila’ tadi akan berbeda gitu: ada pengucilan, ada penyingkiran, termasuk dalam pemilu,” tegas Ade saat ditemui di kantornya di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, akhir Oktober lalu.

Meski konstitusi telah menjamin hak pilih disabilitas mental, tetapi menurut Ade, stigma itu masih menghinggapi tubuh penyelenggara pemilihan umum. Ia tak melihat KPU serius memfasilitasi hak pilih disabilitas mental yang ada di panti rehabilitasi.

“Belum ada upaya dari KPU membuat program-program atau edaran atau semacam bagian dari mendorong afirmasi agar disabilitas mental bisa dipastikan mendapatkan suaranya,” jelasnya.

Menurut Ade, KPU mestinya proaktif mendata disabilitas mental dan mengedukasi panti rehabilitasi mental. Itu untuk memastikan penyandang disabilitas mental dapat menyalurkan hak suara.

Jumlah pemilih disabilitas mental, menurut data KPU 2024, berjumlah 162.794 orang dan disabilitas intelektual sebanyak 67.133 pemilih. Ade mengatakan, orang dengan disabilitas mental tidak sepanjang waktu mengalami fase relapse, kondisi tak sadarkan diri atau lepas kontrol.

Fase relapse bersifat episodik. Intensitas serangannya bisa ditekan dengan menjalani terapi, minum obat, dan konseling. “Kadang-kadang orang masih mikir kita setiap hari gila. Maksudnya, setiap hari itu kita relapse gitu, seolah-olah,” ia mengimbuhi.

Achmad Rizki Muazzam, Jurnalis Parboaboa

Liputan ini telah terbit di Parboaboa merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.