August 8, 2024
Ilustrasi Rumahpemilu.org/ Haura Ihsani

Distorsi Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) menilai perempuan Indonesia masih menemui banyak hambatan politik dalam pemilu 2024. Bahkan Pemilu 2024 dianggap mengalami kemunduran bagi keterwakilan perempuan melalui praktik pengaturan kebijakan KPU yang tidak mendukung afirmasi keterwakilan perempuan caleg dan tidak mendorong tata pemerintahan yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan.

Menurut KMPKP, saat ini masih terdapat penolakan dan hambatan sosial, budaya dan politik, baik di tingkatan partai politik, negara, maupun masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan. Mereka mencatat, hambatan itu seperti Intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap caleg perempuan terpilih serta penolakan karena jenis kelamin perempuan. Padahal sudah banyak payung hukum yang melindungi perempuan, mulai dari UUD, UU 7/1984 tentang Konvensi CEDAW, UU 39/1999 tentang HAM, hingga UU Pemilu.

“Bentuk distorsi keterwakilan perempuan itu misalnya, kuota gender tidak terpenuhi, nomor urut tidak menguntungkan caleg perempuan, kurangnya representasi perempuan dalam kepemimpinan partai politik, hingga kurangnya dukungan partai politik terhadap perempuan,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy dalam diskusi “Evaluasi Pemilu Serentak 2024: Distorsi Keterwakilan Perempuan dan Meningkatnya Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Penyelenggara Pemilu” di Menteng, Jakarta Pusat (1/7).

Olivia menyebut, kekerasan terhadap perempuan dalam pemilu terjadi di ranah personal, publik, dan negara dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, seksual, psikis, ekonomi, institusional, dan kekerasan online. Menurutnya, harusnya pemerintah dan partai politik memiliki desain sistematis, terpadu dan berkelanjutan mendukung keterpilihan perempuan dalam pemilu. Upaya itu dinilai mengurangi praktik politik dalam rekrutmen.

Lebih lanjut ia menerangkan, aktor kekerasan terhadap perempuan dalam pemilu di wilayah politik adalah pemimpin atau anggota partai, kandidat lain dalam pemilu, juru kampanye dan simpatisan partai. Di wilayah sosial meliputi keluarga, tokoh agama, dan media massa, sementra pelaku kekerasan dari pejabat negara adalah petugas dan pelaksana pemilu, polisi dan aparat keamanan.

“Korbannya itu bisa politisi dan kandidat perempuan, juru kampanye perempuan, perempuan pembela HAM, perempuan tenaga administrasi dalam pemilu, jurnalis perempuan, dan perempuan yang tengah menjabat sebagai pejabat publik,” jelasnya.

Sementara itu Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Rahmat Bagja mengatakan problem utama dalam keterwakilan perempuan di Pemilu 2024 adalah PKPU No 10/2023 Pasal 8 ayat (2) huruf a yang tidak mendukung amanat UU Pemilu terkait keterwakilan perempuan 30%. Sehingga Bawaslu meminta KPU mengoreksi 267 DCT Pemilu DPR 2024 sesuai ketentuan keterwakilan perempuan 30% pada Pasal 245 UU 7/2017.

“KPU mengabaikan Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 yang mengoreksi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023, dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil” ujar Bagja.

Secara umum, persentase keterwakilan perempuan dalam Pemilu DPR meningkat dari 20,5% pada Pemilu 2019 menjadi 22,1% pada Pemilu 2024. Namun, 17 partai dari 18 partai nasional tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% di setiap dapil pada Pemilu 2024.

Sementara itu, terkait kekerasan terhadap perempuan oleh penyelenggara pemilu, Bagja menyebut selama periode 2017 hingga 2022 sebanyak 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan 21 pemberhentian tetap dan 4 peringatan keras. Pada tahun 2022 hingga 2023, terdapat 4 kasus kekerasan seksual ditangani DKPP dengan 3 pemberhentian tetap dan 1 peringatan keras terakhir. Sedangkan pada tahun 2023 meningkat menjadi 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual oleh penyelenggara pemilu yang diadukan ke DKPP.

“Peran Bawaslu mengawal kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan 30% baik dalam susunan penyelenggara pemilu maupun kepengurusan partai politik dalam pendaftaran partai politik peserta pemilu, serta bakal calon sesuai undang-undang,” jelas Bagja.

Mantan Komisioner Bawaslu RI 2008-2012, Wahidah Suaib mengatakan, jika demokrasi mengabaikan partisipasi perempuan dan membatasi perkembangan hak-hak perempuan, maka demokrasi hanya untuk separuh warganya. Menurutnya, yang merusak demokrasi adalah aktor yang terpilih melalui proses pemilu kemudian menggunakan mandat politiknya mendegradasi demokrasi. Untuk itu, ia mendorong lebih banyak perempuan yang menjadi pembuat kebijakan dalam dan dari proses pemilu.

“Penting perempuan hadir dalam pemilu untuk mengawal proses dan hasil pemilu untuk menjaga kemurnian suara perempuan sebagai pemilih, peserta pemilu dan penyelenggara pemilu,” kata Wahidah Suaib.

Wahidah menyebut, isu ketidakadilan gender dalam pemilu berakar dari kesenjangan akses dan relasi kuasa. Menurutnya, belum semua perempuan memiliki akses informasi tentang pemilu yang memadai dan masih terdapat relasi kuasa yang mempengaruhi kemandirian perempuan dalam menentukan pilihan politik. Hal itu dampak dari rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga publik khususnya penyelenggara pemilu.

“Aturan keterwakilan perempuan masih berbunyi “memperhatikan” tidak berbunyi mewajibkan, sehingga sering dijadikan dalih bagi pihak yang tak berkomitmen memenuhi aturan keterwakilan perempuan, misalnya dalam seleksi KPU dan Bawaslu,” ujarnya.

Menurut Wahidah, minimnya keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu terlihat dari jumlah perempuan yang menjabat. Berdasarkan data Puskapol UI, Komisioner Bawaslu RI berjumlah 1 (17,3%) perempuan dan 4 laki-laki, pun demikian pada KPU RI hanya 1 (14,3%) perempuan dari 7 komisioner. Pada tingkat Bawaslu provinsi, dari jumlah total 188 orang, hanya terdapat 38 (20,2%) perempuan, di KPU provinsi dari 185 anggota, hanya terdapat 39 (21,1%) perempuan. Sementara KPU dan Bawaslu tingkat kabupaten atau kota hanya terdapat 441 (17,3%) perempuan untuk KPU, dan 315 (16,5%) anggota Bawaslu perempuan.

“Untuk itu diperlukan pedoman seleksi yang mengatur teknis afirmasi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 % pada tiap tahapan seleksi penyelenggara pemilu,” usulnya.[]