Maret 28, 2024
iden

DPR: Pembagian Jenis Verifikasi di PKPU No.11/2017 Jadi Sumber Masalah

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendgri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan rapat kerja guna mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan verifikasi kepada seluruh partai politik calon peserta pemilu. Di dalam rapat, definisi verifikasi menjadi bahasan utama sekaligus titik acuan menuju solusi yang disimpulkan oleh DPR.

Diawali oleh Fandi Utomo, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, definisi verifikasi diperdebatkan. Fandi mengatakan, masalah verifikasi faktual yang membuat gaduh penyelenggara pemilu karena keterbatasan waktu tindak lanjut disebabkan oleh kesalahan definisi verifikasi yang dimuat KPU di dalam Peraturan KPU (PKPU) No.11/2017. Tak ada verifikasi faktual di dalam Undang-Undang (UU) No.7/2017 atau UU Pemilu . KPU yang membuat aturan tentang penelitian administrasi dan verifikasi faktual.

“Di Pasal 174 ayat (2), UU hanya mengamanatkan agar penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan oleh KPU dipublikasikan melalui media massa. Ayat 3-nya, ketentuan mengenai tata cara penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan diatur dengan PKPU. Jadi, verifikasi faktual ini adalah terminologi yang diteruskan dari PKPU lama,” kata Fandi pada rapat kerja di gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan (16/1).

Bersepakat dengan Fandi, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Yandri Susanto, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Baidowi, dan anggota Fraksi Partai NasDem, Tamanuri, kompak menilai bahwa pengisian data dan pengunggahan dokumen di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), serta penelitian administrasi yang dilakukan oleh KPU telah memenuhi substansi verifikasi yang dimaksud oleh UU Pemilu Data yang diisi di Sipol dapat terverifikasi secara otomatis dan KPU telah memeriksa dokumen administrasi secara detil dan ketat.

“Semua partai yang ada di Komisi 2 ini repot kok ngisi Sipol. Kita sampai lembur untuk menyiapkan berkas-berkas yang diminta KPU. Itu pun tidak langsung diterima KPU, melainkan dikonfirmasi dulu kebenarannya. Jadi, tidak perlu perlu dibelah antara administratif dan faktual. Kan diperiksa semua. Rekeningnya ada, alamatnya ada, orangnya ada. Saya rasa itu sudah faktual,” jelas Yandri.

Lebih lanjut, Fandi dan Baidowi menandaskan, verifikasi faktual yang diatur oleh KPU menyandera partai-partai politik dan menyebabkan “kerepotan politik” yang sebenarnya tidak diperlukan. Putusan MK dinilai mengembalikan makna verifikasi di dalam UU Pemilu dan bertujuan memudahkan partai politik.

“Putusan MK sebetulnya mau memudahkan, termasuk empat partai baru yang sedang diverifikasi faktual. Mereka akan tertolong dengan Putusan MK. Ini membuat kita bekerja secara sederhana,” tukas Fandi.

Makna verifikasi di UU Pemilu menjadi solusi

Tamanuri mengatakan bahwa dengan kembali merujuk pada makna verifikasi di Pasal 172 hingga 179 UU No.7/2017, KPU diselamatkan dari beban kerja verifikasi faktual yang diaturnya di PKPU No.11/2017.  KPU tak perlu melanggar putusan MK dengan memberlakukan putusan secara surut, sekaligus tak perlu melanggar Pasal 179 ayat (2) UU a quo yang menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu mesti ditetapkan paling lambat 14 bulan sebelum hari pemungutan suara.

“KPU terlalu ngejelimet, membedakan antara verifikasi administrasi dengan verifikasi faktual. Kalau semula gak ada ini, gak ada masalah. Maka saya sepakat, kembali ke makna verifikasi UU Pemilu,” ujar Tamanuri.

Ketua Komisi II, Zainudin Amali, meminta KPU melakukan penyesuaian PKPU No.7/2017 dan No.11/2017 dengan Pasal 172 hingga Pasal 179 UU Pemilu. KPU tak perlu memasukkan aturan mengenai verifikasi faktual, sebab verifikasi administrasi telah cukup merepresentasi keinginan UU.

“Verifikasi administrasi terhadap sembilan persyaratan di Pasal 173 ayat (2) itu sudah cukup. Jadi, verifikasi sudah selesai dilakukan sebenarnya. Tinggal nanti PKPUnya disesuaikan sehingga tidak ada lagi penambahan anggaran dan waktu (untuk verifikasi faktual),” tegas Zainudin.

Selanjutnya, Zainudin mengatakan bahwa verifikasi faktual yang tengah dilakukan kepada empat partai politik baru dapat segera dihentikan. Empat partai politik telah dinyatakan lolos verifikasi melalui mekanisme Sipol dan dengan demikian memenuhi persyaratan sebagai partai politik peserta pemilu.

Hal ini, menurut Zainudin, bersesuaian dengan argumentasi MK yang menghendaki agar tak ada diskriminasi terhadap partai baru dan partai lama. Keduanya telah melalui tahap pengisian Sipol dan penelitian administrasi.

“Makna verifikasi itu administrasi dan penerapan Sipol. Jadi, mereka sudah lolos. Maka, bisa dipastikan kalau terjemahan tentang verifikasi itu sama (dengan yang ada di UU), peserta pemilu menjadi 16 partai,” kata Zainudin.