Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, menjelaskan bahwa verifikasi keanggotaan partai politik dilakukan dengan sistem sensus dan sampel. Jika partai politik calon peserta pemilu melampirkan seratus anggota di suatu kabupaten, maka dilakukan sensus, yakni verifikasi faktual secara keseluruhan. Namun, jika seribu anggota, maka dilakukan metode sampling atau verifikasi faktual berdasarkan nomor acak.
“Misal Tangerang dengan jumlah penduduk tujuh juta. Partai punya keanggotaan di Kabupaten Tangerang seribu atau lebih. Itu kita tidak melakukan sensus, tapi sampling yang mekanismenya sama persis dengan yang dulu,” jelas Arief pada rapat dengar pendapat di Senayan, Jakarta Selatan (28/8).
Metode sampling yang akan digunakan pada verifikasi partai politik peserta Pemilu 2019 telah didiskusikan kepada para ahli statistik. Metode dinyatakan valid untuk memastikan kecukupan jumlah keanggotaan. Metode sampling juga diklaim memudahkan kerja KPU dan partai politik.
“Di UU kan ada dua metode sebenarnya jika merujuk frase seribu dan seperseribu. Seribu itu sensus, dan seperseribu itu sampling. Nah, sampling ini ilmiah kok untuk menarik kesimpulan. Ini yang dulu kita lakukan untuk peserta Pemilu 2014,” kata Arief.
Metode sampling ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammad Lukman Edy, berpendapat bahwa metode sampling dapat menyebabkan margin error dan tak sesuai dengan original intent Undang-Undang Pemilu No.7/2017.
“Metode ini gak bisa mewakili faktual sensusnya. UU menyatakan verifikasi faktual itu sensus, bukan sampling! Kalau tujuannya untuk efisiensi, sudah kita lakukan dengan tidak memverifikasi ulang partai yang sudah diverifikasi di 2014,” tegas Lukman.