Aplikasi rekapitulasi elektronik (sirekap) atau e-rekap menjadi topik penting menjelang pilkada di saat pandemi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlihat mempersiapkan implementasi e-rekap ini secara serius. Namun, inisiatif KPU ini dapat tentangan dari banyak pihak, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pimpinan Bawaslu Mochammad Afifuddin menilai seyogianya rekapitulasi elektronik hanya diterapkan sebagai alat bantu rekapitulasi (Kompas, 27/8).
”Trust”
Idealnya, pemilihan elektronik dilakukan pada keseluruhan proses tahapan pemilihan, termasuk pada penyusunan daftar pemilih, di mana penyusunan daftar pemilih dilakukan secara otomatis berlandaskan e-KTP. Kondisi ini mensyaratkan akuratnya basis data e-KTP.
Setelah itu proses-proses tahapan, seperti pemungutan suara, penghitungan suara, rekapitulasi, dan penentuan pemenang, juga seharusnya dilakukan secara elektronik. Dengan demikian, pemilu elektronik akan mencakup e-voting dan e-counting sekaligus. Hal ini berarti juga terjadi langkah memindahkan pengawasan penghitungan suara dan rekapitulasi dari manual ke otomatis.
Kondisi ini mensyaratkan akuratnya basis data e-KTP.
Semua langkah tersebut hanya bisa berjalan jika satu syarat dasar terpenuhi, yaitu trust atau kepercayaan. Proses-proses otomatis yang dilakukan mesin harus dipercaya publik. Bagaimana agar proses-proses mesin bisa dipercaya publik?
Syaratnya adalah algoritma dan program komputer untuk menerima dan mengolah suara rakyat harus transparan. Algoritma yang merupakan alur logika yang akan menjadi dasar dari pemrograman pemilu harus diperlihatkan dan dipresentasikan di depan publik. Masyarakat harus mengetahui setiap alur dan arus perintah dalam algoritma tersebut.
Selain itu, setelah algoritma ini ”ditanamkan” ke dalam program komputer dengan memakai bahasa pemrograman tertentu, masyarakat, terutama masyarakat teknologi informasi (TI), harus memiliki akses, tentunya secara terbatas, berupa hanya dapat melihat program yang sudah disusun. Akses ini amat penting guna meyakinkan publik tak ada proses yang salah atau merugikan di mesin.
Akses informasi publik pada algoritma dan program itu jadi penentu apakah proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi yang dilakukan secara elektronik ini dapat dipercaya. Jika ini tak dilakukan, pemilu elektronik selamanya akan memunculkan kecurigaan. Keinginan menerapkan pemilu elektronik selamanya akan berupa utopia. Trust tak akan muncul tanpa adanya transparansi pada proses mesin
Apakah sekarang ini tepat waktunya menerapkan TI berupa e-rekap pada Pilkada 2020? Jika kondisi normal, pandangan Afifuddin tepat. Penerapan rekapitulasi secara elektronik sebaiknya melalui proses uji coba lebih dulu. Untuk itu, rekapitulasi elektronik hanya diterapkan sebagai alat bantu rekapitulasi terlebih dahulu sebelum dijadikan sistem rekapitulasi sesungguhnya.
Penerapan TI dalam pemilu dan pilkada sebenarnya sudah diwacanakan, juga di ujicobakan sejak lama. Bahkan, wacananya bukan hanya e-rekap, melainkan sudah e-voting dan e-counting. Artinya, penerapan TI sudah diwacanakan untuk diterapkan pada serangkaian tahapan dalam pemilu, bukan hanya tahapan rekapitulasi.
Penerapan TI dalam pemilu dan pilkada sebenarnya sudah diwacanakan, juga di ujicobakan sejak lama.
Menjelang Pemilu 2014, misalnya, pernah dilaksanakan uji coba penerapan pemilu elektronik. Penulis pernah menyaksikannya dalam pemilihan tingkat desa di suatu desa di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. E-voting yang dilakukan berjalan lancar, menghasilkan pemimpin desa terpilih.
Urgensi penerapan TI dalam pemilu atau pilkada menjadi terasa saat kita sedang dalam pandemi karena rekapitulasi manual akan membentuk kerumunan dalam waktu lama.
Meminjam perkataan Presiden Jokowi, kondisinya sedang memerlukan tindakan luar biasa. Kebijakan harus dilatarbelakangi kesadaran yang diwarnai sense of crisis. Karena itu, gagasan KPU tentang sirekap atau e-rekap ini jika dimungkinkan secara teknis untuk dilaksanakan sebaiknya dilaksanakan di Pilkada 2020. Ini untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa manusia.
Teknologi tak terhindarkan. Saat pandemi, tingkat urgensinya menjadi semakin tinggi. Apalagi selama ini kita mengharapkan terciptanya pemilu/pilkada yang demokratis sekaligus murah dan efisien.
Peran pengawas pemilu
Dalam pemilu elektronik, peran Bawaslu dalam melakukan pengawasan sedikit berbeda. Bawaslu perlu menguasai berbagai proses yang berbasis TI. Untuk itu, Bawaslu perlu memiliki SDM yang andal. Bawaslu perlu memiliki akses penuh ke dalam sistem TI dalam tahapan pemilu yang dilaksanakan secara elektronik. Jika diperlukan, sampai ke akses pengubahan berbagai kode program yang terlihat masih memiliki logika yang belum lurus.
Tentu ini dilakukan dengan koordinasi bersama antara Bawaslu, pemantau pemilu, KPU, dan jajaran TI yang bertanggung jawab atas program komputer itu secara keseluruhan.
Pengawas pemilu juga harus memiliki akses untuk melakukan pengecekan program secara berkala selama rekapitulasi elektronik. Pengecekan program ini bisa dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik.
Teknologi merupakan cara manusia untuk hidup lebih baik. Dalam konteks pilkada, teknologi bisa menghindarkan dari kecurangan, biaya mahal, dan proses yang lama dan kurang akurat. Saat pandemi ini, teknologi juga bisa menyelamatkan hidup manusia. Namun, teknologi dalam pemilu elektronik tidak bebas potensi kerawanan.
Namun, teknologi dalam pemilu elektronik tidak bebas potensi kerawanan.
Meskipun proses yang dilakukan oleh mesin ini mampu menghilangkan kecurangan yang biasa terjadi pada rekapitulasi manual (dengan catatan proses di dalam mesin transparan dan terlihat oleh mata massa secara keseluruhan), masih terdapat kerawanan lain yang mungkin muncul, yaitu tidak adanya kepercayaan. Ini bisa diatasi dengan transparansi.
Sebagai rekomendasi, perlu kiranya dipikirkan untuk menerapkan pengolahan data pemilihan dengan menyertakan pengolah data pembanding. Artinya, proses yang dilakukan server resmi juga didampingi oleh setidaknya dua server pembanding. Dua server pembanding ini bisa dikelola oleh pihak yang tepercaya.
Dengan adanya dua server pembanding ini, kesalahan kode program, baik karena ketidaksengajaan maupun karena kecurangan, dapat dihilangkan. Dengan demikian, masalah kepercayaan publik yang menyebabkan implementasi pemilu elektronik tidak pernah bisa terwujud dapat diselesaikan.
Pemilu, baik nasional maupun daerah, ke depan dapat dilakukan secara demokratis, cepat, dan relatif lebih murah. Apalagi dalam kondisi pandemi yang amat berbahaya ini, rekapitulasi elektronik menemukan urgensinya, yaitu demi keselamatan rakyat.
TOTO SUGIARTO, Analis politik pada Exposit Strategic.
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 9 September 2020 di halaman 7 dengan judul “E-rekap demi Keselamatan Rakyat”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/09/09/e-rekap-demi-keselamatan-rakyat/