September 13, 2024

E-rekap Perlu Revisi UU Pilkada Terbatas atau Cukup PKPU?

Pada diskusi “Dari Pemilu Serentak 2019 menuju Pilkada Serentak, Sebuah Evaluasi dan Rekomendasi” yang diadakan di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Menteng, Jakarta Pusat (21/8), mencuat isu penerapan rekaptulasi elektronik atau e-rekap di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 di 270 daerah. Jika Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendorong agar regulasi e-rekap dimasukkan ke dalam revisi Undang-Undang (UU) Pilkada terbatas, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif merekomendasikan KPU untuk mengaturnya cukup di Peraturan KPU (PKPU). Ketua KPU RI, Arief Budiman mengungkapkan pihaknya cenderung memandang regulasi di UU Pilkada saat ini cukup sebagai landasan untuk mengatur lebih lanjut  e-rekap di PKPU.

Revisi UU Pilkada terbatas

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menjelaskan argumentasi mengapa e-rekap perlu diatur di dalam revisi UU Pilkada. Menurutnya, Pasal 111 ayat (1) UU Pilkada No.1/2015 yang berbunyi “Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara pemilihan dilakukan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik diatur dengan Peraturan KPU” tak bisa dijadikan landasan hukum e-rekap. Istilah yang digunakan dalam norma tersebut ialan “sistem penghitungan suara secara elektronik”, sedangkan dalam terminologi kepemiluan Indonesia, penghitungan suara merupakan penghitungan suara di TPS. Istilah ini berbeda dengan rekapitulasi suara yang bermakna kegiatan tabulasi hasil penghitungan suara. Rekapitulasi suara dilakukan di luar TPS.

“Pasal 111 itu tidak membahasakan rekapitulasi elektronik. Pasal ini hadir menindaklanjuti Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan mengapresiasi Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara) karena Situng berjalan dengan baik. Jadi, memang penghitungan itu dibayangkan elektronik. Yang dibayangkan ala Filipina. Nah kalau saya membayangkan, kalau e-rekap, maka tidak harus menghilangkan apa yang kita lakukan di TPS (Tempat Pemungutan Suara),” jelas Titi sebelum diskusi dimulai kepada rumahpemilu.org.

Pada diskusi, Titi kemudian menambahkan bahwa apabila e-rekap hanya diatur di dalam PKPU, pelaksanaan e-rekap rentan dipermasalahkan oleh ihak terdampak, yakni peserta Pilkada dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Daya ikat PKPU tak sekuat undang-undang, dan terdapat preseden Bawaslu mengoreksi PKPU di Pemilu 2019.

“Jadi, ini soal daya jangkau legitimasi terhadap e-rekap. Ada sesuatu yang masih belum kokoh kalua hanya diatur di PKPU. Dia akan lebih kokoh kalau ada di UU Pilkada. Makanya, kalau mau serius, harus dijawab di UU Pilkada. KPU harus mendorong ini,” tegas Titi.

PKPU saja cukup

Berbeda pendapat dengan Titi, Ketua KoDe Inisiatif, Veri Junaidi menilai e-rekap cukup untuk diatur di dalam PKPU, karena UU Pilkada No.1/2015 telah memberikan ruang melalui Pasal 111 ayat (1). Revisi UU Pilkada membutuhkan waktu yang tak sebentar dan komitmen politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. KPU, menurut Veri, dapat melaksanakan inovasi sesuai kewenangan yang diberikan undang-undang dan berdasarkan penilaian yang logis, dapat dilakukan.

“Apakah UU Pilkada memberikan ruang pengaturan yang cukup bagi KPU? Cukup sih tidak. Tapi ada ruang di undang-undang untuk membuat regulasi e-rekap. Kalau harus nunggu undang-undang, sulit diwujudkan. Jadi, pakai saja kewenangan KPU, dan itu cukup kuat bagi KPU untuk menjalankan kebijakan terkait e-rekap,” jelas Veri.

Veri merujuk pada pengalaman di Pemilu 2019, ketika KPU gamang memulai pencetakan surat suara. Saat itu tengah berlangsung persidangan uji materi di MK, namun waktu semakin singkat untuk menyiapkan logistik di hari pemungutan suara. Kala itu, Veri mendesak agar KPU tak perlu menunggu putusan MK, melainkan mengambil tindakan sendiri yang telah diperhitungkan.

“Catatan kami, KoDe, KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilihan) waktu itu, sebaiknya KPU melakukan sesuatu yang bisa diukur oleh KPU. Karena, kalau harus menunggu putusan MK, dari sisi waktu sangat terbatas,” ujarnya.

Pendapat ini nampaknya dipilih oleh KPU RI. Dari konsultasi hukum yang telah dilakukan terhadap pakar hukum, regulasi yang ada telah cukup dijadikan landasan untuk pelaksanaan e-rekap di Pilkada 2020 di sejumlah wilayah tertentu.

“E-rekap ini memang ada perdebatan mengenai pijakan hukumnya. Kami sudah berdiskui dengan para ahli. Dan, kesimpulan kami, dasar hukum yang ada sebetulnya sudah cukup untuk ditindaklanjuti di PKPU,” tukas Arief.

Banyak hal terkait e-rekap memerlukan jawaban

Titi menegaskan bahwa sebagai masyarakat sipil, pihaknya mendorong e-rekap dan meyakini bahwa e-rekap mampu meningkatkan derajat kredibilitas penyelenggaraan pemilu. Namun, ia mengingatkan KPU agar mempersiapkan e-rekap dengan matang dan komprehensif. Sedikitnya dua pertanyaan, yakni pilihan teknologi apa yang hendak digunakan dan daya jangkau e-rekap mesti segera dijawab.

“Harus diputuskan segera. Karena penerapan teknologi artinya kita mengubah yang tadinya manual jadi elektornik. Itu membawa konsekeuensi hukum. Bukan seperti kemarin kita bisa berdalih, yang kemarin kan kita masih manual. Kalau sudah pakai e-rekap, tidak bisa begitu lagi argumennya,” tandas Titi.

Merujuk pada buku panduan yang ditulis oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Titi menerangkan bahwa dalam piramida kepercayaan penggunaan teknologi pemilu, persepsi publik akan terselenggaranya proses pemilu yang kredibel merupakan sasaran puncak. Persepsi tersebut tak akan tercapai apabila tak ada kepercayaan publik dan teknik operasi yang memadai.

“Jadi, persepsi publik yang percaya bahwa penggunaan teknologi itu akan membuat pemilunya kredibel hanya akan muncul kalau konteks teknis operasional dan konteks sosio-politiknya mendukung itu,” kata Titi.

Lebih lanjut, Titi mengutip pandangan Ben Goldsmith, pakar teknologi pemilu dari International Foundation for Electoral Systems (IFES) bahwa terdapat empat tahapan yang mesti ditempuh sebelum mengadopsi teknologi pemilu. Pada tahap awal dinyatakan, keputusan untuk menggunakan teknologi mesti menggunakan empat kriteria. Pertama, kelayakan teknis. Kedua, kemanfaatan. Ketiga, kelayakan anggaran. Keempat, penerimaan dari para pemangku kebijakan. Titi menilai, kriteria kemanfaatan memang tak perlu diragukan. Namun, KPU diharapkan mampu memenuhi kriteria pertama, ketiga, dan keempat.

“Kalau KPU tidak melengkapi wacana yang beredar dengan empat instrumen ini, maka jangan-jangan credible electoral process dan public perception sulit kita jangkau. Harus diingat, konteks edukasi publik lebih dari sekadar wacana. Jadi, instrument-instrumen yang akuntabel untuk memperkuat keputusan penerapan e-rekap harus dilontarkan oleh KPU,” tuturnya.

Kesiapan KPU belum terukur

Menjawab Perludem, Arief akhirnya menerangkan duduk soal wacana pernyataan di media bahwa KPU siap menerapkan e-rekap. Pernyataan tersebut muncul untuk pertanyaan apakah KPU siap menerapkan e-rekap. Jawaban siap didasarkan atas tiga ukuran. Satu, Situng merupakan pra e-rekap. E-rekap akan menempuh skema yang telah dimanfaatkan oleh Situng, yakni data hasil penghitungan suara di TPS diinput di tingkat kabupaten atau kecamatan. Dua, perangkat e-rekap, jika input data dilakukan di tingkat kabupaten/kota, maka telah diselesaikan. Namun, jika input data di tingkat kecamatan, pernagkat berikut pelatihan sumber daya manusia perlu dijalankan. Tiga, praktik Pemilu 2019, Situng berhasil menghimpun data rekapitulasi sebanyak 99,05 persen untuk Pemilihan Presiden dan 98,3 persen untuk Pemilihan Legislatif.

“Nah, menggunakan ukuran-ukuran itu sebetulnya bisa disimpulkan kita siap. Tapi perlu ditingkatkan soal kecepatan. Pilkada 2017 di DKI Jakarta itu membuktikan kita bisa melakukan e-rekap. Putaran pertama DKI itu dua hari selesai input data. Di putaran kedua, itu satu hari. Saya heran juga kenapa saat Pileg Pilpres malah bisa seminggu lebih mereka baru bisa menyelesaikan,” terang Arief.

Terkait anggaran, menurutnya Pemerintah Daerah (Pemda) semestinya telah menganggarkan anggaran untuk Pilkada 2020 di 2019. Merujuk UU Pilkada No.1/2016, Pemda dinilai mengetahui akan ada tahapan yang dilangsungkan di tahun 2019.

“UU Pilkada itu dibuat tahun 2016. Harusnya, semua Pemda tau bahwa tahapan Pilkada 2020 sudah mulai di tahun 2019. Harusnya mereka sudah membuat itu. Kalau itu sudah diantisipasi, bahkan untuk Pilgub (Pemilihan Gubernur) yang biayanya sungguh besar, daerah kan bisa saving,” tutup Arief.